“Itu rumah kita sendiri. Masa Tumpang Pitu ditambang, kita yang kena dampak diam saja?”

Sambil menggaruk-garuk kepala, Ahmad (65) mengingat-ingat kejadian 25 tahun silam. Tepatn­ya pada 1994, ketika Dusun Pancer, Sumberagung, Pesanggaran, Banyu­wangi diterjang tsunami setinggi 13,9 meter. Kejadian itu menghancurkan pemukiman penduduk, kapal nelayan, dan menelan 200 korban jiwa.

Pria yang sehari-hari disapa Mad tersebut, menghentikan ceritanya se­jenak. Ia memutar badannya ke arah kiri, sambil menunjuk sebuah gunung. “Itu yang namanya Tumpang Pitu, ba­hasa Indonesianya ‘Gunung Tujuh’,” ucap Mad.

Mad mengatakan, daerahnya bu­kan hanya dianugerahi dengan keinda­han pantainya saja, tapi juga jajaran pegunungan yang menjadi benteng pengaman saat terjadi bencana alam. Menurutnya, jika bukan karena Tump­ang Pitu, Pancer, dan sekitarnya mun­gkin akan lebih porak-poranda akibat diterjang tsunami.

“Masyarakat sangat butuh gunung itu (Tumpang Pitu), sebab kehadirann­ya menjadi benteng alami Desa Pancer. Bagi saya dan kawan-kawan yang ber­profesi sebagai nelayan, adanya Tump­ang Pitu berguna sebagai penunjuk arah ketika ingin kembali ke daratan,” terang Mad.

Dengan nada tegas ia melanjutkan, “Maka dari itu, sampai kapanpun juga. Saya akan terus menolak tambang yang menghancurkan Tumpang Pitu.”

Iklan

Ihwal pertambangan yang dika­takan Mad, sebenarnya bermula dari eksplorasi yang dilakukan PT Hakman Metalindo, tepatnya enam tahun pas­ca terjadinya tragedi tsunami. Ketika itulah diketahui bahwa Gunung Tujuh menyimpan cadangan emas melimpah. Maka di tahun yang sama, pihak peru­sahaan langsung mengajukan kontrak karya tambang kepada pemerintah Jember dan Banyuwangi.

Setelah berjalan selama enam ta­hun, tepatnya di tahun 2006, eksplor­asi Tumpang Pitu yang dilakukan perusahaan tersebut dihentikan oleh Bupati Banyuwangi kala itu. Ratna Ani Lestari menerbitkan surat bernomor 545/513/429.002/2006, berisikan sudah berakhirnya izin eksplorasi pertamban­gan tersebut.

Namun, penghentian izin tersebut bukanlah akhir dari kegiatan pertam­bangan di Tumpang Pitu, malahan menjadi pembuka dari eksploitasi per­tambangan berkelanjutan di sana. Se­babnya di tahun yang sama, Ratna Ari memberikan izin kepada PT Indo Multi Niaga (IMN) untuk melanjutkan aktivi­tas di kawasan Gunung Tujuh. Awaln­ya, PT IMN memohon izin melakukan penyelidikan umum di Kecamatan Pe­sanggaran Banyuwangi. Barulah pada November 2006, mereka mengajukan peningkatan kuasa pertambangan ke tahap eksplorasi.

Menurut Mad, perusahaan tersebut rencananya akan membuka tambang di Jember. Namun, gagal terlaksana karena warga di sana bersatu menolak kehadiran tambang. Sehingga, mereka akhirnya berpindah ke Banyuwangi karena mendengar adanya cadangan emas di Tumpang Pitu.

Seingat Mad, pada 2009 telah ter­jadi proses produksi oleh PT IMN, meskipun belum secara terang-teran­gan. Ia menjelaskan, hasil pertamban­gan berupa emas kemudian diboyong menggunakan helikopter menuju An­tam, guna diperjualbelikan. Selain itu, turut dilakukan kegiatan pembalakkan hutan di kawasan Tumpang Pitu, yang tujuannya untuk memperluas daerah eksplorasi tambang.

Gunung Tumpang Pitu yang digunakan sebagai lokasi tambang emas.
Gunung Tumpang Pitu yang digunakan sebagai lokasi tambang emas.

Pada tahun yang sama, menurut ket­erangan Mad, telah terjadi penolakan secara masif oleh warga setempat terha­dap aktivitas pertambangan. Puncaknya ketika warga dari kecamatan Muncar, Tegal Delimo, Pesanggaran melakukan demo besar-besaran di depan kantor DPRD Banyuwangi. Mereka menuntut pemerintah kabupaten untuk mencab­ut surat izin eksplorasi tambang yang dinilai tak sesuai prosedur karena telah melakukan kegiatan produksi. Namun menurut Mad, warga hanya memper­oleh jawaban bahwa laporannya akan ditindaklanjuti.

“Orang saat itu ada ribuan. Kalau dihitung nominal, pengeluarannya su­dah ratusan juta itu untuk sewa truk menuju ke DPRD. Masa cuma dijawab “ya” aja, gitu? Kepastiannya belum tahu seperti apa,” tutur Mad.

Satu tahun setelahnya, tepatnya pada 2010, menjadi babak baru perjala­nan eksploitasi tambang. Sebab, Bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari digan­tikan oleh Abdullah Azwar Anas. Pria yang kini menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) terse­but, nantinya akan mengajukan izin pe­rubahan status kawasan hutan lindung milik Tumpang Pitu menjadi kawasan produksi. Inilah yang menjadi alasan mengapa pertambangan di sana bisa berjalan mulus hingga hari ini.

Benar saja, Anas akhirnya menga­jukan perubahan fungsi kawasan hutan lindung seluas 9.743,28 hektar menja­di kawasan produksi, yang terletak di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Sukamade, Kecamatan Pe­sanggaran Banyuwangi. Barulah pada 19 November 2013, Zulkifli Hasan yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kehutanan, mengabulkan permohonan Anas. Namun, ia hanya memberikan izin seluas 1.942 hektar.

Satu tahun sebelum keluarnya keputusan alih fungsi hutan tersebut, PT IMN mengajukan permohonan pengalihan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada Anas. Sehingga pada 9 Juli 2012, keluarlah surat keputusan Bupati Banyuwangi terkait perpinda­han IUP ke PT Bumi Suksesindo (BSI) yang merupakan anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold. Dalam surat itu, tertulis bahwa izin diberikan sampai Januari 2014 dan terus diperpanjang hingga kini. Sesuai keputusan berno­mor 188/547/KEP/429.011/2012 itu, PT BSI turut diberikan izin penggunaan lahan seluas 4.998 hektar.

Iklan

Sejak saat itu, PT BSI terus melan­jutkan kegiatan eksplorasi untuk tujuan pertambangan di Tumpang Pitu. Sunti­kan dana dari para investor memulus­kan jalan perusahaan tersebut. Salah satunya berasal dari perusahaan milik Sandiaga Uno, PT Saratoga Investa­ma Sedaya dengan kepemilikan saham 17,61% per tahun 2022.

Meskipun demikian, warga Pancer dan sekitarnya tetap gencar melakukan penolakan. Tujuan utama mereka tentu untuk mengusir maling yang menghan­curkan lingkungannya. Walaupun di samping itu, banyak tindakan perusa­haan yang bertujuan untuk mengintim­idasi dan memecah perjuangan warga.

Menolak Tunduk kepada Penghan­cur Lingkungan

Tahun 2014 menjadi tahun meng­gembirakan bagi Budi, salah satu warga Sumberagung. Saat itu, ia mengetahui istrinya tengah mengandung. Namun, hal itu tidak membuatnya larut dalam kesenangan lalu melupakan apa yang sedang ia perjuangkan, yaitu menolak kehadiran tambang yang mengancam kelangsungan hidupnya dan warga sekitar.

“Itu yang pertama kali kita hadang, yaitu mobil-mobil yang membawa kebutuhan tambang. Hampir setiap malam saya tidur di pertigaan depan pintu masuk tambang (sebelum akhirn­ya dipindahkan pada 2016 -red). Waktu itu baru dapat kabar juga istri saya baru mengandung,” ujar Budi Pego.

Menurutnya, dari 2014 sampai 2015, warga melakukan aksi penolakan di sana tiap seminggu sekali. Selain itu, turut dilakukan kegiatan jaga malam untuk menghadang mobil-mobil yang membawa peralatan pembangunan tambang.

Seingat Budi, saat itu tambang se­dang memasuki tahap prarekonstruksi pertama, yaitu persiapan infrastruktur penunjang produksi, seperti pembangu­nan jalan untuk akses masuk ke pabrik.

Budi Pego seorang aktivis penolak tambang Tumpang Pitu
Budi Pego seorang aktivis penolak tambang Tumpang Pitu

Saat jaga malam bersama warga, Budi menemukan kejanggalan dari ke­giatan keluar-masuknya mobil ke daer­ah pertambangan. Menurutnya, kend­aran-kendaraan berat tersebut selalu datang pukul satu malam dan dikawal ketat oleh aparat kepolisian. Ditambah suatu waktu, ketika ditanyakan perihal surat tugas pengawalan oleh warga, polisi malah kelimpungan menjawabn­ya. Warga pun menyuruh mereka putar balik ke Kota Banyuwangi.

Kejadian tersebut mengundang per­hatian pihak PT BSI. Budi dan warga yang melakukan penolakan akhirnya diundang untuk mediasi di kantor Ke­camatan Sumberagung. Dalam acara tersebut, selain memberi kejelasan adanya penghadangan, Budi turut me­mersoalkan penebangan pohon di ka­wasan Tumpang Pitu yang kala itu ma­sih berstatus hutan lindung.

Dalam mediasi tersebut, Cahyono Seto selaku Direktur PT BSI memberi tawaran kepada Budi untuk masuk ke dalam tambang dan melihat langsung proses di dalamnya. Ia disuruh mencari tujuh warga lain, guna menemaninya dalam acara kunjungan itu. Namun, menurut penuturan Budi, dia bersa­ma tujuh warga lainnya hanya diajak memutari pagar sekitar tambang. Hal ini tentunya menimbulkan rasa tidak puas karena tidak sesuai dengan yang disepakati.

“Waktu itu sudah ditentukan jamn­ya, saya sudah siap dengan tujuh orang. Di pos itu sudah disiapkan sepatu dan helm. Eh, ternyata cuma keliling di pinggir pagar saja,” terangnya.

Ketidakjelasan tersebut pun menyu­lut amarah warga. Warga dari kawasan Pulau Merah dan Pancer akhirnya ber­temu untuk membicarakan strategi per­juangan berikutnya. Mereka sepakat untuk melakukan aksi damai dan mem­bentuk organ aksi yang dikoordinatori oleh Budi.

Budi mengisahkan, aksi yang terja­di pada 2015 tersebut dilakukan dengan mengitari kampung sembari berorasi lewat pengeras suara. Massa aksi peno­lak tambang hari itu berjumlah hampir seribuan orang yang terdiri dari tiga kelompok warga.

Pertama, mereka yang menolak tambang karena tidak mendapat peker­jaan. Kedua, mereka yang berdampak pada profesinya dan meminta kompen­sasi ganti rugi. Terakhir, mereka yang memperjuangkan tambang untuk di­tutup sepenuhnya. Meski terdapat pengelompokan di kalangan warga, semuanya tetap membawa satu tuntut­an bersama, yaitu penutupan tambang.

Pada aksi itu, pihak PT BSI meng­utus manajer humas untuk menemui warga. Dia meminta waktu seminggu untuk memproses tuntutan penutupan tambang. Selang beberapa lama dari aksi tersebut, warga pun diundang dalam pertemuan di Hotel Bei, Jajak Banyuwangi yang dihadiri Kapolres Banyuwangi dan Direktur PT BSI.

Pertemuan tersebut akhirnya men­jadi letupan besar yang memantik am­arah warga. Sebab, Kapolres waktu itu mengatakan bahwa warga Banyuwangi tidak beretika dan tidak berpendidikan karena terus menolak tambang. Aki­batnya, warga memilih keluar dari ho­tel dan mengakhiri pertemuan secara sepihak.

Sekembalinya dari hotel, Budi melihat kebanyakan warga sudah ber­kumpul di bibir pintu masuk tambang. Beberapa tiang listrik dan telepon tel­ah dirubuhkan oleh warga yang mar­ah. Menjelang sore, kondisi semakin memanas karena kebanyakan warga memutuskan untuk menerobos masuk ke dalam daerah tambang.

“Sore harinya, polisi datang dan langsung melepaskan tembakan per­ingatan untuk membubarkan warga. Waktu itu, ditembaki pakai peluru ta­jam, bukan peluru karet,” ungkap Budi menjelaskan kejadian tersebut.

Malam harinya, pihak kepolisian melakukan sweeping ke rumah-rumah. Budi bersama beberapa warga lainnya akhirnya diangkut untuk dibawa ke Polres setempat. Keesokannya, ratusan warga turut diperiksa dengan tuduhan terlibat penghancuran tambang.

Akibat aksi polisi yang membabi buta tersebut, delapan orang terkena tembakan peluru tajam dan mengalami cacat seumur hidup. Kemudian, Budi dan kawan-kawannya melaporkan peristiwa tersebut ke Komnas HAM. “Namun, ketika pihak sana (Komnas HAM) datang ke sini, warga tidak ada yang berani mengaku kena tembak karena diintimidasi oleh pihak perusa­haan,” seloroh Budi.

***

Setelah kejadian di penghujung ta­hun 2015 tersebut, aksi penolakan yang dilakukan warga sempat mereda karena maraknya intimidasi, seperti sweeping oleh kepolisian yang dilakukan setiap hari. Seingat Budi, daerahnya sempat tidak ada laki-laki sama sekali karena mereka mengungsi agar tidak diangkut oleh polisi.

Selang beberapa bulan kemudian, tepatnya pada 26 Februari 2016, tam­bang yang dimiliki oleh PT BSI ditetap­kan sebagai objek vital nasional oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui surat keteta­pan bernomor 651/K/30/MEM/2016. Hal ini semakin memperkuat posisi tambang di daerah tersebut. Pasalnya dari kebijakan barusan, tambang dapat menurunkan aparat keamanan jika merasa mengalami “gangguan” oleh warga.

Terlebih lagi, warga juga merasa dihantui oleh kehadiran Pasal 162 UU Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pertam­bangan Mineral dan Batu Bara (Min­erba). Sebab, pasal tersebut mengatur hukuman paling lama satu tahun penja­ra dan denda 100 juta rupiah bagi orang yang menghalangi kegiatan usaha per­tambangan.

Budi sendiri mengaku, selama ter­libat aktif menolak tambang, tindakan kriminalisasi dari perusahaan terus datang tanpa henti. Setidaknya sejak 2014, dirinya telah puluhan kali di­panggil oleh pihak kepolisian. Ia bia­sa dijerat dengan pasal mengganggu jalannya pertambangan.

Bahkan hingga saat ini, Budi ma­sih mendapat kasasi dari Mahkamah Agung akibat kasus spanduk bergam­bar palu arit yang terjadi pada 2017 lalu. Dirinya menuturkan, semuanya bermula dari rencana pemasangan spanduk di sekitar pertambangan. Saat itu, warga berkumpul di rumahnya un­tuk membuat spanduk. Kegiatan mer­eka pun tak lepas dari pantauan aparat kepolisian.

Sialnya, tidak tahu darimana, terse­bar foto tiga orang memegang spanduk berlogo palu arit di Facebook. Malam harinya, Budi dihubungi oleh pihak Koramil dan Kodim setempat untuk meminta spanduk tersebut. Dirinya menjelaskan, belum ada sama sekali spanduk yang dilepas oleh warga. Ia bahkan tidak mengenali orang-orang dalam foto tersebut.

Meskipun demikian, Budi tetap digiring untuk dimintai keterangan oleh pihak kepolisian. Alasannya, ke­tiga orang dalam foto itu mengaku mengenal Budi. Sayangnya, saat ber­langsungnya pengadilan, saksi-saksi yang diminta kehadirannya oleh Budi tidak turut dihadirkan.

“Waktu itu, saksi yang dihadirkan justru dari pihak perusahaan, naman­ya Syamsul Arifin. Padahal, dia juga mendapat foto itu hasil mengkopi dari temannya ke flashdisk dan kemudian diserahkan ke humas tambang,” ung­kap Budi.

Selain upaya-upaya kriminalisa­si tersebut, Budi juga kerap ditawari sogokkan oleh perusahaan. Tentunya, hal ini dilakukan untuk “menidurkan” semangat juang Budi. Salah satu con­tohnya ketika ia ditawari uang sekan­tung plastik hitam besar dan dijanjikan pergi haji. Di situ, ia menolak karena enggan melihat kampung halamannya hancur oleh tambang.

Terlepas dari itu semua, Budi tidak pernah menyerah. Menurutnya, me­nolak tambang adalah bentuk tanggu­ng jawab dirinya terhadap daerahnya. “Itu rumah kita sendiri. Masa Tumpang Pitu ditambang, kita yang kena dampak diam saja?” tegas Budi menutup cerit­anya.

Hancurnya Lingkungan Hidup

Kabar terbaru dari akun Insta­gram forbanyuwangi pada Sabtu (27/08/2022) lalu, tim survei dari PT Merdeka Copper Gold bersama 50 personel polisi berusaha memasuki kawasan Gunung Salakan. Warga ti­dak tinggal diam, sebanyak 200 orang berkumpul sejak pagi di Tikungan Mbah Marwah, Kampung Rowojam­be, Dusun Pancer, Sumberagung untuk melakukan penghadangan.

Selain ditetapkan menjadi objek vital nasional, PT BSI turut menerima Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IP­PKH) dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal seluas 794 hektar.

Dua hal tersebut akhirnya memu­luskan langkah PT BSI melakukan aktivitas pertambangan. Perusahaan itu pertama kali melakukan produksi pertanggal 1 Desember 2016 sebagai simbol peralihan dari tahap pembangunan sebelumnya. Tiga bulan kemu­dian, pada 17 Maret 2017, PT BSI telah memroduksi sebanyak 25.063 oz emas dan 6.420 oz perak.

Pasca proses produksi pertama kali oleh PT BSI, dampak lingkungan yang ditakutkan warga pun benar-benar ter­jadi. Daerah Sumberagung mengalami banjir lumpur berisikan material tam­bang dan mengecilnya debit air di su­mur-sumur sekitar.

“Banjir lumpur berisi material tam­bang itu terus mengalir ke sungai-sun­gai,” ujar Budi.

Dayat, salah satu warga Sumber­agung, turut menjabarkan imbas dari operasi tambang. Pria yang sehari-hari berprofesi sebagai petani buah naga dan peternak kambing tersebut mengung­kapkan, kehadiran tambang berakibat pada kesuburan tanah dan ketersediaan air bersih untuk bertani.

Kebanyakan warga Sumberagung, khususnya yang tinggal di sekitar ka­wasan Tumpang Pitu dan Gunung Salakan, memang berprofesi petani seperti Dayat. Sehingga selain kedua dampak tersebut, ketersediaan lahan turut men­jadi masalah utama. Sebab, luasnya kawasan konsesi pertambangan yang didapatkan oleh PT BSI pada akhirnya merenggut lahan-lahan bertani mas­yarakat sekitar.

Dampak lingkungan yang diakibat­kan oleh tambang bukan hanya dira­sakan oleh petani, tapi juga nelayan. Mad harus berlayar jauh dari daratan untuk mendapat ikan. Berbeda dengan kondisi ketika belum ada aktivitas per­tambangan, ikan masih mudah didapa­tkan di dekat daratan.

Malahan, menurut pengakuan Mad, salah satu profesi warga Pancer yaitu nelayan pencari kerang Kremis turut menghilang. Sebab, pembuangan lim­bah tambang membuat kerang terse­but sudah tak lagi ditemukan. Selain itu, ketinggian Gunung Tumpang Pitu yang makin berkurang, turut membuat nelayan sulit mencari patokan untuk kembali ke daratan.

Bahkan, Mad berujar bahwa kehad­iran tambang tidak ada gunanya sama sekali bagi nelayan. Kebanyakan dari mereka sudah hidup sejahtera dari ha­sil melaut. Makanya, jika klaim perusa­haan membuka lapangan pekerjaan, hal itu tidak bisa diterima olehnya. “Saya bertahun-tahun sudah merasa cukup dari hasil melaut,” seloroh Mad.

Berbagai dampak kerusakan lingkungan yang muncul, dibantah oleh PT BSI. Melalui website-nya, perusa­haan tersebut mengklaim telah men­jalankan praktik Green Mining. Konsep tersebut dikatakan telah memerhatikan pemantauan lingkungan, konservasi sumber daya alam dan batu-batuan, serta pengolahan limbah produksi. PT BSI juga mengaku telah mengantongi Analisis Mengenai Dampak Lingkun­gan (Amdal).

Klaim tersebut pun dibantah oleh Mad dan Budi. Keduanya mempunyai cerita tersendiri untuk mengatakan bahwa klaim-klaim tersebut merupa­kan isapan jempol belaka. Mad berki­sah, pernah suatu ketika ia menulusuri pipa pembuangan tambang. Namun, dirinya tidak mendapat titik terang dari pihak perusahaan. Malahan, dia bersa­ma warga lainnya menemukan aliran pembuangan di kawasan Pulau Merah dijaga ketat oleh personel Tentara An­gkatan Laut.

Sedangkan Budi, mengaku belum pernah melihat secara utuh dokumen Amdal yang diklaim perusahaan. “Bah­kan, saya taunya ketika di Jakarta, dan itu (Amdal) hanya sebagian-sebagian saja,” ungkap Budi.

Namun, di tengah banyaknya in­timidasi dan tipu muslihat perusahaan yang memecah gerakan, semangat juang warga Pancer dan Sumberagung tidak pernah padam. Tujuannya adalah menjaga lingkungan hidup mereka dari kerusakan. Sebab, sebelum adanya tam­bang, kehidupan warga berjalan normal dan tanpa ketakutan sama sekali.

“Ya benar, karena kita ingin lingkungan hidup di wilayah ini tetap aman dan tidak ada masalah. Ya, tapi karena ada tambang, jadi banyak per­masalahan disini,” tegas Budi.

 

Reporter/Penulis: Abdul

Editor: Ahmad Qori