Pemilu 2024 melahirkan serentetan isu yang membuat gaduh koridor demokrasi Indonesia. Menanggapi hal tersebut, civitas akademika kampus dengan idealismenya menyatakan deklarasi untuk menjaga demokrasi tetap pada jalurnya.
Pemilihan Umum 2024 turut dihiasi kegaduhan oleh berbagai golongan dan elemen masyarakat sipil, sepanjang jalan pelaksanaannya menimbulkan kontroversi. Di tahun ini, hal tersebut menjadi salah satu bola liar yang menggelinding dan menjadi isu panas. Bahkan, membekas di dalam sejarah Pemilu Indonesia.
Sebelum melaju ke Pemilu 2024 terdapat serangkaian isu besar yang menyertai pesta demokrasi ini. Di antara lain, Putusan MK Terhadap Pencalonan Wakil Presiden, Kampanye Presiden, Politisasi Bansos, Keterlibatan Lembaga Negara Dalam Memenangkan Salah Satu Calon Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemberian Gelar Jenderal Kehormatan Pada Prabowo.
Panasnya isu Pemilu 2024 ini menimbulkan respon dari berbagai kelompok masyarakat sipil. Salah satunya, ombak pergerakan bergemuruh di tataran civitas akademika kampus. Dalam formasi pergerakannya, aksi ini dimotori oleh para guru besar di berbagai kampus dengan cara membuat naskah petisi. Sejauh ini terdapat 13 naskah petisi yang berasal dari berbagai perkumpulan guru besar universitas di seluruh Indonesia.
Sumber: dari berbagai kanal berita yang dihimpun oleh Tim Didaktika
Gerakan guru besar dipelopori oleh kampus biru yang mengeluarkan “Petisi Bulaksumur” pad 31 Januari 2024. Dalam petisinya civitas academica UGM mendesak Jokowi dan seluruh aktor politik yang bergerak di baliknya untuk kembali kepada koridor demokrasinya. Serta mendesak DPR dan MPR untuk bersikap.
Petisi Bulaksumur menjadi pemantik dari rentetan petisi-petisi lainnya. Setelahnya 1 Februari 2024 muncul “Pernyataan Sikap Civitas Academica UII, Indonesia Darurat Kenegarawanan”. Civitas academica UII dalam petisinya menyatakan banyaknya penyelewengan penggunaan kekuasaan terutama oleh presiden Joko Widodo dalam pemilu kali ini.
Sehari setelahnya UI, Unhas, dan ULM serentak membunyikan petisi yang masing-masing berjudul “Seruan Kebangsaan Kampus Perjuangan”, “Unhas Bergerak Untuk Demokrasi”, “Penyampaian aspirasi sitas akademika Universitas Lambung Mangkurat”. Ketiganya satu suara mendesak aparat negara untuk bertindak netral dalam Pemilu.
Selang tiga hari, tiga petisi muncul dari UIN Syarif Hidayatullah, ITB, ITS dengan masing-masing tajuk: Seruan Ciputat, Berintegritas: Mencegah Kemunduran Demokrasi, dan Pernyataan Sikap Keluarga Besar ITS Peduli Negeri untuk Disampaikan kapata Preda Republik Indonesia. Tak jauh berbeda dengan petisi-petisi sebelumnya, tiga petisi ini juga mengkritisi gejolak pemilu 2014.
Pada tanggal 6 Februari 2024 beberapa dosen dan guru besar dari Universitas Negeri Jakarta berkumpul di depan Plaza UNJ untuk menyerukan petisi “Deklarasi Rawamangun” yang dipimpin oleh Hafidz Abbas dan Ubaidillah Badrun. Dalam petisi ini civitas academica UNJ mengkritisi kecurangan yang dilakukan oleh salah satu paslon pada Pemilu 2024.
Terakhir disusul dengan munculnya petisi Hang Lekir dari Universitas Moestopo (beragama) dengan tajuk “Moestopo Menggugat, Demokrasi tidak baik baik saja”. Petisi menyampaikan keprihatinan civitas akademika Moestopo dengan gejolak Pemilu 2024.
Semua petisi keluar sebelum Pemilu, hanya ada satu petisi muncul setelahnya, yaitu “Seruan Salemba” yang terbit 14 maret 2024. Di dalam petisi ini kumpulan akademisi dan guru besar se-Jabodetabek mendesak supaya pemerintah dapat menegakkan konstitusi, memulihkan hak kewargaan dan kembali menjadi bangsa yang beradab.
Baca juga: Geliat Gerakan Masyarakat Sipil dan Peredamannya
Dari ke 13 naskah, Tim Didaktika menyortir beberapa kata yang sering dipergunakan di dalamnya. Di antara lain bentuk kata yang bersifat substantif, bersinggungan dengan isu Pemilu 2024 adalah Demokrasi (62), Presiden (53), Pemilu (53), dan Negara (46). Sedangkan kata lain yang diluar substantif adalah, yang (172), untuk (75), dengan (58), dalam (53), kami (46), dan sebagai (33).
Sumber: Berbagai kanal berita yang dihimpun oleh Tim Didaktika
Menurut keterangan Guru Besar UGM, Koentjoro, penyusunan naskah petisi Bulaksumur wajar saja jika tendensi dari teks berpacu dalam isu Pemilu 2024, terkhusus pada tema demokrasi. Hal ini dikarenakan, kata Koentjoro, Pemilu 2024 menimbulkan banyak kesemrawutan yang merusak marwah demokrasi. Baginya, kesemrawutan ini disebabkan oleh aktor yaitu Presiden Joko Widodo yang tidak memandang dirinya lagi sebagai kepala negara di dalam isu Pemilu 2024.
Koentjoro menilai Presiden Joko Widodo malah menjadi Ayah dari Gibran yang mau melegalkan segala cara agar anaknya bisa masuk lingkaran kekuasaan. Maka dari itu dalam penegasannya, ia berujar naskah petisi Bulaksumur adalah bentuk “pengingat.” Supaya, Presiden Joko Widodo tidak bermain dengan demokrasi demi menciptakan dinasti atau politik kekeluargaan.
Tidak hanya petisi Bulaksumur (31/1/2024), civitas akademika UGM juga berkumpul kembali di Balairung (12/2/2024) untuk melanjutkan gerakan bersifat moral dengan nama Kampus Menggugat. Sama seperti petisi Bulaksumur, gerakan Kampus Menggugat juga menjadi “pengingat,” kepada Presiden Joko Widodo.
“Jadi kita melaksanakan berbagai gerakan berasal dari cinta kasih dengan bahasa ilmiah untuk Presiden, sekaligus alumni UGM, Joko Widodo. Namun, nyatanya, aksi kita tidak digubris sama sekali. Menurut saya, Presiden Joko Widodo sedang lupa karena mengejar ambisi membantu anaknya jadi calon Wakil Presiden,” katanya, (7/5/2024).
Berpindah dari Yogyakarta ke Jakarta, Guru Besar Emeritus STF Driyarkara, Franz Magnis Suseno, menjelaskan juga sebab dijalankannya Seruan Jembatan Serong (27/11/2023). Magnis mengatakan, Seruan Jembatan Serong dilatarbelakangi sebab berupa beberapa masalah etika dalam persiapan pemilu 2024. Karena itu, ia menyimpulkan Pemilu 2024 merupakan pemilihan terburuk semenjak tahun 1955.
Baca juga: Uang Kuliah Tak Adil
Katanya, pada Pemilu 2024 kemarin hukum seolah hanya dijadikan alat kekuasaan, berpihak pada elit politik dengan cara menihilkan etika. Ia menambahkan, wajar saja masyarakat tidak percaya pada pemerintahan negara karena hukum sendiri bersifat absurd. Magnis menegaskan kekuasaan tanpa etika yang tidak taat pada hukum sama dengan mafia.
Kemudian, Magnis bilang jika Seruan Jembatan Serong merupakan sikap untuk mengembalikan makna demokrasi ke dalam semangat Reformasi. Menurut pendapatnya, Reformasi adalah warisan penting yang perlu dibela karena mengandung semangat kemanusiaan berasaskan Pancasila.
“Saya harap kampus tidak membatasi diri dan terpaku pada dunianya saja. Tetapi, kampus harus selalu memperhatikan nasib bangsa. Civitas akademiknya harus mau terlibat secara politik. Saya berpendapat kalau kampus masih potensial ketika bergerak. Namun, hari ini belum saatnya untuk membuat revolusi,” tuturnya, (10/5/2024).
Ketua Senat UNJ, Hafid Abbas, turut pula angkat bicara mengenai terbentuknya Deklarasi Rawamangun (6/2/2024). Ia menuturkan dengan dilaksanakannya kegiatan ini yang bersamaan dengan deklarasi lain, menandakan sinyal kemarahan publik terhadap isu Pemilu 2024. Menurutnya, masyarakat sipil kecewa terhadap berbagai pelanggaran menjelang Pemilu 2024 yang menciderai demokrasi di Indonesia.
Melalui Deklarasi Rawamangun, dapat juga dikatakan sebagai kegiatan membersamai dan memperingati masyarakat sipil dalam mengawal isu Pemilu 2024. Baginya, kampus memiliki kewajiban untuk mempunyai idealisme. Dalam penuturannya, idealisme kampus dapat tercipta karena bekerja dengan asas-asas universal, berusaha mencari kebenaran ilmiah.
Terkhusus di UNJ, Hafid Abbas berpandangan idealisme ini dapat dibuktikan sepanjang koridor sejarah para civitas akademika kampus. Beberapa rektor dari zaman Institusi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta hingga beralih nama menjadi UNJ yang pernah menjabat dikatakan progresif bagi Hafid Abbas. Di antara lain rektor bersikap progresif yang membekas dalam ingatannya adalah Deliar Noer (IKIP Jakarta 1967-1974), Winarno Surakhmad (IKIP Jakarta 1975-1980), dan Conny Semiawan (IKIP Jakarta 1984-1992).
“Tugas para civitas akademik kampus adalah untuk menjelaskan realitas-realitas yang tidak tampak di depan mata. Kemudian memprediksinya dengan diskursus ilmiah supaya mendapatkan kebenaran,” pungkasnya (17/5/2024).
Baca juga: Solusi Semu Pinjaman Mahasiswa
Berpindah ke Mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah 2021 UNJ, Nugroho Taufik Yusron, menyatakan kondisi politik Pemilu 2024 ini sarat akan kepentingan satu pihak yang memegang kekuasaan. Dirinya berpendapat, pihak kekuasaan terus mendominasi berjalannya panggung Pemilu 2024 tanpa melibatkan rakyat. Tegasnya, hal inilah yang mengkerdilkan kedaulatan bangsa, elit kekuasaan hanya asik di panggungnya sendiri.
Dalam memandang Deklarasi Rawamangun, Nugroho mengatakan memang seharusnya gerakan oleh intelektual kampus itu dilakukan. Malahan, dirinya mengkritik para civitas akademika yang tidak pernah mau terlibat di dalam gerakan. Baginya, civitas akademika diberikan kemewahan untuk dapat mengakses ilmu pengetahuan, cukup disayangkan ketika mereka tidak menjadi pelopor atau sekurangnya turut bersolidaritas.
“Karena itu, deklarasi ini penting sebagai penyadar bahwasanya kaum intelektual tidak hanya berkutat pada buku. Namun, turut menengok realitas sosialnya dan ikut mempelopori serta merancang strategi gerakan untuk menuju cita-cita rakyat yang berdaulat,” ujarnya (28/5/2024).
Kemudian, Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia 2022, Alya Rachmadilah, menuturkan bahwa pemilu tahun ini cenderung berpihak pada satu kelompok. Berdasarkan pengalamannya, hal ini bisa dilihat dari masifnya sebaran informasi yang berasal dari aplikasi Tik-tok. Katanya, Pemilu tahun ini dapat dikatakan tidak netral.
Dalam menyoroti Deklarasi Rawamangun, ia menyatakan civitas akademika sudah berada di jalan yang benar. Baginya, wajar saja para civitas akademika kampus bersuara menyampaikan kritik karena memiliki pengetahuan untuk menyatakan benar dan salah. Selain itu baginya, Deklarasi Rawamangun juga berdampak baik karena mengajak masyarakat luar kampus untuk terlibat.
“Dengan bersikap melalui Deklarasi Rawamangun, kita bisa mempelajari ekosistem Pemilu yang bersih dan tidak berpihak pada satu kelompok itu seperti apa,” pungkasnya (28/5/2024).
Reporter/Penulis: Asybabur Riyasy dan Arrneto Byliss
Editor: Ihsan Dwi Rahman