Memasuki bulan November, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Jakarta melakukan ritual tahunannya. Berupa kegiatan Pelatihan Kememimpinan Mahasiswa. Dilaksanakan dalam tingkatan prodi (PKMP), fakultas (PKMF), bahkan universitas (PKMUN).
Pelatihan kepemimpinan mahasiswa ini dimaksudkan, menjalankan regenerasi di tubuh BEM. Karena, syarat utama menjadi anggota BEM dengan mengikuti pelatihan kepemiminan, mahasiswa serta memiliki sertifikat kelulusan agenda tersebut.
Agenda tersebut dilegetimasi BEM sebagai sebuah kewajiban, bahkan tak jarang dengan menghadirkan kebohongan serta paksaan kepada semua mahasiswa baru (MABA). Terbukti ketika penulis menjadi maba. Narasi “Tidak bisa mengikuti wisuda ketika tidak mendapatkan sertifikat pelatihan kepemimpinan mahasiswa” yang setiap tahunnya terus digaungkan.
Sontak saja untuk mahasiswa yang baru merasakan kehidupan kampus, sangat kelimpungan mendengar narasi tersebut. Tak ayal banyak yang bertanya-tanya apakah wajib hukumnya mengikuti agenda tersebut? Atau apa sebegitu besar dampaknya ketika kita tidak mengikutinya? Bahkan, apakah pelatihan kepemimpinan mahasiswa ini dapat menjamin kita mampu menjadi pemimpin?
Maka tak mengherankan mahasiswa baru terus menanyakan pertanyaan-pertanyaan diatas, mengenai pelatihan kepemimpan akhir-akhir ini. Hal tersebut sebetulnya lumrah dan bahkan tak asing terdengar di telinga kita.
Seperti beberapa mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial, belum lama ini bercerita kepada penulis. Bahwa dirinya diwajibkan mengikuti pelatihan kepemimpinan, dan apabila tidak mengikutinya. Tak akan mendapatkan kartu tanda mahasiswa (KTM), serta jas almamater hal tersebutlah disampaikan oleh BEM selaku panitia PKMP.
Padahal, alamamater dan kartu tanda mahasiswa (KTM) merupakan hak yang wajib diberikan oleh kampus. Serta tidak ada sama sekali hubungannya dengan pelatihan tersebut. Fenomena-fenomena seperti di atas sebetulnya sangat membebankan dan menyengsarakan khususnya bagi mahasiswa baru kedepannya.
Ditambah agenda tersebut dalam pelaksanaanya mahasiswa baru harus mengeluarkan biaya yang tak sedikit. Apalagi ditengah situasi biaya Pendidikan yang semakin hari semakin tinggi dan ditambah pengeluaran lainnya. BEM sendiri menutup mata terhadap hal tersebut, biasanya mereka hanya mengatakan untuk meminjam uang atau menabung kepada mahasiswa baru.
Hal-hal tersebut adalah bentuk “pemaksaan” yang dilakukan BEM. Bahwa semua mahasiswa baru wajib hukumnya mengikuti agenda, yang tujuannya sebagai wahana kaderisasi BEM. Dalam hal ini terlihat jelas Badan Eksekutif Mahasiswa, tidak mampu membuat dirinya menjadi organisasi yang menarik. Tercermin dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan hanya sekedar, program kerja yang dilakukan setiap tahunya.
Dengan cara-cara rekrutmen yang terkesan memaksa, menyebabkan banyak organisasi-organisasi dinihilkan eksistensinya oleh BEM. Seperti yang kita ketahui banyak organisasi-organisasi atau komunitas-komunitas yang tidak diberikan pengakuan berupa surat keputusan (SK) oleh pihak kampus.
Padahal organisasi atau komunitas sejenis itu biasanya berdasarkan hobi maupun ketertarikan individu masing-masing. Semisal bagi mereka yang tertatik dalam dunia aktivisme, ada organisasi Solidaritas Pemoeda Rawamangun (SPORA). Bagi penggemar kendaraan vespa terdapat perkumpulan Scooter Pendidikan (SPD). Jika tertarik pada klub sepak bola khususnya Persija Jakarta yaitu The Jak Mania UNJ.
Bahkan terdapat komunitas yang berdasarkan solidaritas prodinya masing-masing. Di Teknik Sipil ada Flamboyan, di Teknik Elektro RNR, di Teknik Mesin ada Mesin Care dan banyak lainnya. Komunitas-komunitas serta organisasi tersebut justru lebih, mewadahi serta mengedepankan kebutuhan setiap anggota nya bukan sekedar menjalankan program-program kerja tua yang tidak relevan bahkan tidak dibutuhkan. Bahkan sampai menggunakan cara pemaksaan untuk mencari kader-kader selanjutnya.
Penulis: Ramli (Divisi Jaringan Solidaritas Pemoeda Rawamangun)