Peringatan Hakordia 2021, berbagai elemen masyarakat soroti buruknya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) diperingati setiap tanggal 9 Desember. Sehari berselang, peringatan Hakodia, tepatnya pada Jumat (10/12/2021), Indonesia Corruption Watch (ICW) menggelar diskusi publik dengan tema Habis Gelap Tak Kunjung Terang, Runtuhnya Pemberantasan Korupsi, Saatnya Kita Bergerak.
Beberapa panelis turut hadir dalam diskusi tersebut, seperti Asfinawati selaku Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Benedictus Siumlala selaku Mantan Pegawai KPK. Selain itu, diskusi ini juga turut mengundang Melanie Subono sebagai seniman, serta Egi Prayogha selaku Peneliti ICW.
Salah satu fokus utama diskusi tersebut perihal KPK yang semakin melemah dalam menghadapi pemberantasan korupsi. Benedictus Siumlala menganggap kondisi KPK hari ini merupakan cerminan dari pengkhianatan semangat reformasi dan anti korupsi.
“KPK dilemahkan karena tidak sesuai dengan keinginan rezim yang ada,” ungkapnya.
Pria yang akrab disapa Beni itu pun menyoroti kinerja KPK di tahun 2021. Tercatat sepanjang 2021, KPK hanya melakukan 5 kali Operasi Tangkap Tangan (OTT). Berbeda dengan tahun 2019, saat kemunculan Revisi UU KPK yang mencapai 21 kali OTT.
Tak lupa, Beni juga menyoal pendidikan antikorupsi kepada masyarakat. Beni meyakini bahwa KPK, selain melakukan pendidikan juga berperan dalam praktik-praktik perilaku antikorupsi.
“Sekarang bagaimana pendidikan antikorupsi dan kesederhanaan bisa diterapkan KPK, sedang ketuanya (Firli Bahuri) ketahuan sewa helikopter untuk ziarah,” sindirnya.
Sementara Asfinawati, menyoroti bagaimana pelemahan KPK serta kasus korupsi bantuan sosial (bansos), menjadikan Hakordia 2021 sebagai yang terkelam dalam sejarah reformasi.
“Orang yang aktif melakukan peberantasan korupsi, seperti Beni dan kawan-kawan justru dikeluarkan dari lembaga tersebut,” ujar Asfinawati.
Dirinya juga sangat menyayangkan, disaat kondisi penegak hukum yang belum bersih dari perilaku koruptif, komisi yang seharusnya menjadi tulang punggung pemberantasan korupsi malah dilemahkan.
Baca Juga: Gelapnya Pemberantasan Korupsi
Senada dengan Asfinawati, Yoga Prayogha menganggap negara sudah tidak berpihak pada pemberantasan korupsi, dengan munculnya beragam peraturan yang justru menguntungkan oligarki, seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja.
“Dalam situasi seperti ini, rasanya kita tidak berhak merayakan hari anti korupsi sedunia, mungkin hanya sebagai peringatan,” ungkapnya.
Yoga juga mengatakan merosotnya upaya pemberantasan korupsi berimbas pada memburuknya etika serta integritas pejabat publik. Praktik-praktik rangkap jabatan publik dan korupsi bansos di masa pandemi, dapat dikatakan sebagai bentuk konkret melemahnya tata kelola pemerintahan sejak Revisi UU KPK dibumikan.
Selanjutnya, Melanie Subono mengatakan pemberantasan korupsi hari ini sudah tidak bisa mengharapkan KPK. Dirinya menekankan pentingnya pemberantasan korupsi pada taraf individu serta peran masyarakat, seperti penanaman pendidikan antikorupsi sejak dini.
“Pemberantasan korupsi harus dilakukan dari tahap kecil dulu, ibarat kita menyalakan lilin di dunia yang gelap gulita, mungkin satu tidak berpengaruh tapi jika bersama akan terang dunia,” ungkapnya.
Berbeda dengan Melanie, Asfinawati yang sudah lama berkecimpung di dunia hukum, mengatakan salah satu usaha yang bisa dilakukan untuk melakukan perjuangan melawan korupsi adalah menuntut pelaku untuk mengembalikan kerugian yang dialami korban, dalam hal ini masyarakat.
“Upaya seperti ini bagus untuk memberi efek jera bagi pelaku, meskipun tidak pernah diimplementasikan oleh kejaksaan, setidaknya kita punya usaha untuk memiskinkan koruptor,” ujarnya.
Dirinya juga mengatakan sudah tidak ada harapan lagi bagi pemberantasan korupsi jika diserahkan pada negara atau pemerintah.
Penulis : Izam Komaruzaman
Editor : Sonia Renata