Judul: Di Bawah Lentera Merah
Penulis: Soe Hok Gie
Penerbit: Yayasan Bentang Budaya
Tahun Terbit: 1999
Jumlah Halaman: xv + 158 halaman
ISBN: 979-3472-73-1
Buruh atau pekerja di Indonesia kerap kali mengalami ketertindasan di dalam tempat bekerja. Bentuk penindasan yang banyak dijumpai berkaitan dengan upah yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup layak, jam kerja panjang, beban kerja berlebih, hingga tidak ada kepastian kerja/hanya menjadi buruh kontrak.
Belum lagi, lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja melegitimasi praktik penindasan buruh oleh pelaku usaha. Misalnya, dalam Pasal 88 UU Cipta Kerja, pelaku usaha di sebuah industri/perusahaan diberi hak untuk menetapkan besaran upah buruh. Dampaknya, pelaku usaha kerap mengabaikan pengupahan secara adil dan berlandaskan kebutuhan hidup layak. Kebijakan tersebut, secara eksplisit, hanya menguntungkan pemilik modal dan mengebiri hak dan kepentingan buruh.
Alhasil, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 61/PUU-XXI/2023, sebanyak 21 pasal di dalam UU Cipta Kerja —termasuk Pasal 88— dinyatakan inkonstitusional dan wajib diubah. Walaupun MK sudah membatalkan sejumlah pasal bermasalah, praktik penindasan buruh masih jamak ditemui. Sebagai gambaran, aliansi serikat buruh di Morowali, Sulawesi Tengah menolak penetapan upah 2025 yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup layak. Selain itu, buruh di Yogyakarta berdemonstrasi perihal hal yang sama.
Walaupun pemerintah berdalih UU Cipta Kerja sudah dirancang dengan mengafirmasi kepentingan kelas pekerja, namun kritik tajam hingga demonstrasi perihal regulasi tersebut selalu digaungkan. Sebagai gambaran, pada peringatan Hari Buruh tempo lalu, gerakan kelas pekerja bersama dengan elemen masyarakat lainnya menuntut pemerintah mencabut UU Cipta Kerja yang merampas kesejahteraan buruh.
Namun, perjuangan buruh untuk melawan kebijakan dan praktik yang jelas merugikan kesejahteraannya bukan hanya terjadi pada dewasa ini. Sebagaimana terekam melalui buku Di Bawah Lentera Merah karya Soe Hok Gie, menjelaskan dinamika organisasi Sarekat Islam dalam mengorganisir buruh untuk melakukan perlawanan terhadap kebijakan kolonial Belanda yang menindas.
Sarekat Islam dan Dinamika Perjuangannya
Dalam bukunya, Gie menjelaskan pada medio 1905, sebuah organisasi dagang terbentuk, yakni Sarekat Dagang Islam (SDI). Sebagai pendiri, H. Samanhudi ingin pedagang Muslim dapat meningkatkan taraf ekonominya dari dominasi para pedagang Tionghoa yang saat itu menguasai perdagangan batik.
Dalam perkembangan SDI, Tirto Adhi Soerjo — seorang jurnalis dan pendiri Medan Prijaji — turut membawa pengaruh besar dalam organisasi itu. Tirto mengupayakan penyebaran pendidikan politik terhadap masyarakat pribumi Hindia Belanda agar memiliki kesadaran kritis untuk melakukan perlawanan atas ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan kolonial Belanda. Untuk memasifkan gagasannya itu, Tirto juga menggunakan media cetak sebagai alat memperluas gagasan perlawanannya.
Lebih lanjut, SDI kembali menunjukan tajinya ketika H.O.S. Tjokroaminoto bergabung ke dalam SDI pada 1912. Tjokro membawa SDI dari gerakan ekonomi pedagang Muslim menjadi gerakan sosial-politik. Perubahan ini ditegaskan dalam Kongres Nasional pertama dengan mengubah nama menjadi Sarekat Islam (SI).
SI semakin berkembang dan anggotanya tidak hanya berasal dari kalangan pedagang, melainkan kalangan buruh dan petani turut menjadi anggotanya. Sebabnya, orientasi perjuangan SI juga menyinggung konteks ketertindasan buruh dan petani pribumi akibat penjajahan Belanda.
Selain itu, Tjokro menggunakan Volksraad atau Dewan Rakyat tingkat rendah bentukan Belanda untuk memperjuangkan nasib rakyat kelas bawah lewat jalan diplomasi. Ia mengajukan petisi, menuntut kebijakan yang lebih adil, dan kooperatif dengan pihak kolonial. Hal itu dilakukan untuk menghindari konfrontasi dengan Belanda demi menjaga pengaruh SI di tingkat nasional.
Namun, strateginya itu menimbulkan kritikan keras dari beberapa anggota SI, misalnya Semaoen. Strategi Tjokro yang kooperatif itu dengan anggap terlalu lunak dan tidak efektif dalam menghadapi kolonial yang bertindak represif. Semaoen menilai, Volksraad hanyalah alat Belanda dan tidak berpihak pada rakyat pribumi.
Baca juga: Reruntuhan Ide Kolonialisme Subjek Sunda: Langgengnya Konstruksi Etnis dalam Pilkada Jabar 2024
Walhasil, Semaoen dengan tegas tidak sepakat dengan strategi tersebut dan memilih jalan non kooperatif dan radikal. Misalnya, dengan mengorganisir buruh untuk berdemonstrasi dan mogok kerja.
Efek domino perselisihan itu, pada Kongres ke-4 pada 1919, SI terbagi menjadi dua kubu, yakni SI Merah yang dipimpin Semaoen dengan ideologi perlawanan kelas berbasis marxisme, dan SI Putih di bawah Tjokroaminoto yang menempuh jalan diplomatis.
SI Merah, di bawah kepemimpinan Semaoen, berusaha menyadarkan para buruh dan petani bahwa ketidakadilan yang mereka alami bukanlah sesuatu yang harus diterima begitu saja. Dalam situasi yang penuh ketidakpastian, buruh dan petani didorong untuk melawan ketidakadilan sistem kolonial yang menjadikannya hidup melarat dan penuh penderitaan.
Penindasan buruh kala itu terlihat dari rendahnya upah , panjangnya jam kerja, dan kondisi kerja yang tidak manusiawi. Menanggapi hal ini, Semaoen mengorganisir aksi mogok besar, seperti di pabrik gula dan perusahaan kereta api pada 1920-an. Melalui mogok, pidato agitasi, dan penyebaran pamflet, ia membangun kesadaran kelas buruh untuk bersatu melawan ketidakadilan sistem kolonial.
Semaoen juga memanfaatkan media cetak Sinar Hindia untuk menyebarkan propaganda perlawanan atas ketidakadilan dan ketertindasan yang dialami pribumi. Selain itu, dalam pewartaan Sinar Hindia, Semaoen menyisipkan keberhasilan mogok kerja dengan tujuan menyatukan solidaritas dan membakar semangat kelas buruh untuk sama-sama berjuang melawan Belanda.
Namun, perjuangan pengorganisiran tidak berjalan mudah. Banyak kalangan elite dan pedagang lokal memilih menjaga stabilitas ekonomi mereka daripada terlibat dalam perlawanan. Contohnya adalah beberapa pengusaha pribumi yang lebih memilih bekerja sama dengan pihak kolonial demi mempertahankan jaringan bisnisnya. Mereka khawatir, keterlibatan dalam gerakan buruh akan mengancam posisi mereka sebagai pebisnis.
Selain itu, kalangan birokrat lokal seperti kepala desa mendapatkan keuntungan dari kebijakan kolonial juga enggan mendukung perlawanan. Sikap pasif dan oportunis ini menunjukkan bagaimana kepentingan pribadi atau kelompok sering kali menjadi penghalang dalam perjuangan melawan penindasan yang lebih besar.
Dari penjelasan historis di atas, pada dewasa ini, pentingnya solidaritas buruh dan petani untuk menuntut keadilan dan kesejahteraan ekonomi sangatlah relevan. Melalui solidaritas yang mengkristal lewat serikat buruh/tani, dapat memperjuangkan upah layak, pengurangan jam dan beban kerja berlebihan. Selain itu, persatuan serikat buruh/tani dapat menciptakan sebuah aksi yang besar dan sikap saling mendukung sesama kelas buruh/petani.
Baca juga: Tali Simpul Kerentanan Pekerja Informal: Sebuah Catatan dari Kapitalisme Pinggiran
Perihal media sosial, dapat dimanfaatkan sebagai corong propaganda perlawanan dan/atau solidaritas terhadap ketertindasan kelas buruh. Misalnya, dengan membuat petisi ataupun konten di media sosial yang menyentuh rasa simpati dan solidaritas pengguna media sosial. Berkaca pada penolakan revisi UU Pilkada di media sosial pada Agustus lalu, dapat menggugah rasa simpati masyarakat dan menggerakkannya untuk melakukan demonstrasi.
Dari sinilah, Gie mengingatkan bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan membutuhkan keberanian dan kesadaran kolektif. Bila tidak, perjuangan hanya akan berakhir tanpa perubahan nyata.
Buku ini menarik untuk dibaca karena dapat menambah wawasan seputar pentingnya organisasi sebagai wadah perjuangan. Namun, kekurangan buku ini terlalu memakai bahasa akademis, sehingga terasa sulit untuk dipahami pembaca.
Dengan begitu, Di Bawah Lentera Merah tidak hanya mencatat sejarah, tapi juga mengingatkan kita agar tidak terjebak dalam kenyamanan pribadi yang mengorbankan hak kolektif. Masa lalu memberi kita pelajaran bahwa ketika kesadaran sosial dan keberanian bersuara ada di tengah-tengah kita, perlawanan terhadap penindasan bisa diwujudkan, termasuk di era digital saat ini.
Penulis : Hanum Al Khansaa R
Editor : Lalu Adam Farhan Alwi