Judul buku: Subjek Sunda
Penulis: Holy Rafika Dhona
Jumlah halaman: 142 hlm
Tahun terbit: 2024
ISBN: 978-602-0788-62-3
Dedi Mulyadi namanya. Pria yang kerap menggunakan ikat kepala putih ini membawa-bawa visi-misi bernama “Sosiologi Sunda” dalam debat Pilkada Jawa Barat pada (16/11/24). Didampingi oleh wakilnya, Erwan Setiawan, Dedi dengan mantap menggaungkan konsep-konsep gagasannya terkait Sosiologi Sunda.
Di pembuka presentasinya, Dedi menekankan pentingnya masyarakat Jawa Barat memahami “ciri sabumi, cara sadesa, jawadah tutung biritna, sacarana-sacarana, lain tepak sejen igel”. Artinya dalam bahasa Indonesia, manusia itu terlahir bersenyawa dengan tanahnya, terlahir bersenyawa dengan airnya, terlahir bersenyawa dengan panas mataharinya, dan terlahir bersenyawa dengan udaranya. Sederhananya, seperti menjalani kehidupan yang peduli dan mafhum akan relasinya terhadap alam, baik budaya, politik, maupun ekonomi.
Pun dalam sesi berbeda, Dedi kembali menukil hal seputar Sunda. Melansir Kompaspedia, calon gubernur Jawa Barat nomor urut 4 itu menekankan falsafah ala Sunda yang ia tafsirkan, bahwa masyarakat Sunda perlu memiliki sikap saling mengasihi (silih asih), saling memperbaiki diri (silih asah), serta saling melindungi atau menjaga alam dan kehidupan manusia (silih asuh).
Identitas Sunda yang ditekankan oleh Dedi tersebut, kiranya menjadi salah satu strategi untuk mendongkrak elektabilitasnya sebagai calon gubernur Jawa Barat — yang notabene merupakan sentral kebudayaan Sunda. Terbukti, Dedi Mulyadi bersama wakilnya Erwan Setiawan, memenangkan pemilu dengan memperoleh 14,13 juta suara atau setara 62,22% hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat.
Menariknya, bila dikritisi, gagasan Dedi di atas mencerminkan konstruksi berpikir ala kolonialisme yang langgeng hingga kini. Mengapa begitu? Dalam buku Subjek Sunda karya Holy Rafika Dhona, mencoba menelisik lebih jauh perihal ke-Sundaan berdasarkan konteks genealogi kewilayahan hingga corak kelahiran budaya Sunda.
Holy berusaha merekonstruksi kebudayaan Sunda dan melihatnya dalam perspektif Foucauldian. Buku ini juga berfokus pada analisis wacana dari naskah kuno kerajaan-kerajaan di Sunda, catatan kolonialisme Portugis, Inggris, dan Belanda, hingga koran Sunda Papaes Nonoman (1914-1918).
Wilayah, Bahasa, dan Kebangsaan
Sebelum menuju ke gagasan kolonialisme, berbicara Sunda tentu punya lekatan dengan sejarah perkembangan masyarakat. Dimulai dari sistem kerajaan, acap kali batas wilayah kerajaan dipandang kaku dengan memiliki batas-batas wilayah teritorial—formal. Logika semacam ini identik dengan sebuah negara. Misalnya Indonesia, memiliki batas teritorial formal dengan negara lain, baik di darat, laut, maupun udara.
Namun, buku ini malah menyajikan sesuatu yang lain. Logika batas kenegaraan pada dewasa ini tidak dapat disandingkan dengan konteks kerajaan pada masa lampau. Penulis buku rasanya ingin mempertanyakan kemapanan konstruksi wacana besar tentang posisi asli atau batas-batas wilayah Jawa Barat yang menurutnya absurd.
“Uniknya, istilah “Barat” ini tidak menunjuk teritorial yang tetap. Ia adalah “Barat” yang mengambang, tak jelas batas-batasnya,” (halaman 18).
Agaknya, dalam melihat persoalan ihwal batas kewilayahan, peran sentral justru dibatasi oleh raja. Membayangkan raja, sama seperti Tuhan. Walhasil, batas teritorial kerajaan Jawa Barat dipengaruhi oleh kawula atau rakyat yang bernaung pada kerajaan, bukan batas teritorial-formal yang ditetapkan oleh raja.
Tidak heran dalam melihat persebarannya, kebudayaan Sunda cenderung acak. Di satu sisi kita mengenal Sunda yang berada di Jawa Barat. Namun di sisi lain, Sunda bisa berada di Banten, Cirebon, bahkan Lampung sekalipun. Dengan kata lain, kerajaan menganut dinamika kepercayaan kosmologis seperti menghamba pada Zat Maha Esa untuk menentukan batas kewilayahannya.
Sementara dalam konteks kebudayaan, relasi Jawa-Sunda juga tidak mengalami ketimpangan perihal relasinya. Semisal, memposisikan kebudayaan Jawa lebih agung dan luhur ketimbang Sunda. Dalam menerawang hal ini, kondisi berbahasa harus diperhatikan.. Kala itu, subjek Sunda — orang yang terbentuk dan melekat bersama kebudayaan Sunda — memandang sebuah bahasa, baik itu bahasa Sunda ataupun bahasa lain seperti bahasa Jawa, Tiongkok, maupun bahasa lainnya harus dikuasai.
Merujuk pada teks Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1440), subjek tidak dibatasi bahasa karena akan membuat tidak nyaman ketika bepergian ke berbagai daerah. Dengan kata lain, bahasa menjadi senjata untuk mendapatkan pengetahuan. Oleh karena itu, subjek Sunda memandang penting dalam menguasai bahasa-bahasa asing.
“Dengan begitu, tidak ada yang istimewa dari Jawa dan relasinya dengan Sunda. Jawa memang berbeda dengan Sunda, tetapi demikian juga halnya bahasa-bahasa lain bagi orang Sunda,” (halaman 23).
Konstruksi Etnis dan Pemikiran Progresif
Seiring dengan masifnya gerakan kolonialisme di Nusantara, berbagai macam pengetahuan yang memaksa dan menetapkan kebenaran tunggal mulai bermunculan. Pada mulanya, pada abad ke-18, Thomas Stamford Raffles yang baru saja menjejakkan kaki di Jawa memulai segelintir penelitian, yang nantinya menjadi cikal-bakal buku History of Java (1817).
Dalam bukunya itu, Raffles membagi bahasa yang ada di Jawa menjadi empat. Diantaranya adalah Jawa, Sunda, Madura dan Bali. Namun, karena bahasa Jawa lebih dominan digunakan dan memiliki banyak literatur kebudayaan, alhasil bahasa Sunda menjadi nomor dua.
Kemudian, Raffles juga menyatukan wilayah yang semula dari Vorstenlanden (daerah kerajaan Jawa) dan Java’s Noordoost kust (wilayah pesisir Jawa), menjadi satu, yakni “Jawa”. Sementara Sunda, memiliki pembagian wilayahnya sendiri. Raffles merasionalisasikan hal tersebut dengan landasan adanya perbedaan bahasa, fisik, dan sifat yang terdapat pada orang-orang Sunda.
Misalnya berkaitan dengan kondisi fisik, subjek Sunda cenderung berpostur pendek dan ramping. Untuk warna kulit, subjek Sunda lebih cerah dan memiliki ekspresi yang periang. Sementara dalam alunan berbahasa, subjek Sunda lebih dinilai bernada melodis dan berirama.
“Orang Sunda menunjukkan banyak ciri dari sebuah ras pegunungan. Mereka lebih pendek, gemuk, lebih keras dan aktif dibandingkan dengan penghuni pantai dan distrik Timur. Dalam beberapa hal mereka menyerupai orang Madura yang tubuhnya lebih tegap dan mandiri dan berani bergerak daripada penduduk asli Jawa,” (halaman 41).
Pembentukan spesialisasi kelompok etnis Sunda ini juga ditambahkan pula oleh munculnya wacana modernisasi yang dibawa oleh Belanda. Pada kemunculan Politik Etis (1901), segala hal yang berbau Eropa, baik dari budaya atau pengetahuan ditiru habis-habisan. Jika tidak ditiru akan distigma ketinggalan zaman.
Baca juga: Angan-Angan Poros Maritim Dunia
Di sini lah kemenarikannya. Seolah sedang di dalam film roman cinta segitiga, subjek Sunda menilai kebudayaan Jawa lebih dicintai oleh Belanda. Kecemburuan ini dapat dilihat dari maraknya persebaran pengetahuan lewat gerakan dan pendidikan praktis di tanah Jawa. Oleh sebab itu, subjek Sunda merasa diduakan, sehingga bersikap untuk menjaga jarak dengan kebudayaan Jawa, namun tetap memandang Belanda sebagai pusat kemajuan.
Pasca peristiwa ini, subjek Sunda merasa tidak perlu lagi mempelajari bahasa yang lain, terutama Jawa. Sikap kebudayaan ini tentu berbeda dari nilai-nilai sejarah lampau yang memang mengharuskan subjek Sunda cakap berbahasa luar daerahnya. Pada akhirnya, subjek Sunda lebih baik mempelajari bahasa Belanda karena dinilai lebih efektif untuk mengejar “mimpi kemajuan”.
“Dengan wacana kemajuan, subjek Sunda sadar bahwa kemajuan mempunyai apa yang disebut sebagai “kiblat kemajuan” dan mensyaratkan “keharusan” berbahasa sesuai dengan “kiblat kemajuan” itu,” (halaman 67).
Sayangnya, hati dari Subjek Sunda semakin dikoyak-koyak dan terhianati oleh Belanda. Sebabnya, saat pembentukan Volksraad atau dewan rakyat tingkat rendah, perwakilan dari subjek Sunda hanya berjumlah satu orang. Sementara perwakilan yang berasal dari Jawa jauh lebih banyak, yakni berjumlah 10 orang.
Bersemayamnya perasaan kecewa subjek Sunda diledakkan kepada Belanda setelah masuknya ideologi Marxisme. Hal ini tertuang dalam potret tulisan di Papaes Nonoman dalam kurun waktu 1918. Salah satu penulis beraliran Sunda kiri ini bernama Soetisna Senjaya. Selain itu, rata-rata penulis Marxian Sunda tersebut terafiliasi dengan Sarekat Islam (SI).
“Pertentangan kelas ala Marxis barangkali berjasa menyadarkan orang-orang Sunda bahwa masalahnya adalah hubungan antara “yang memerintah dan yang diperintah,” bukan melulu soal kemajuan seperti pada 1914,” (halaman 122).
Buku setebal 142 halaman ini menghidangkan analisis yang menarik karena berusaha keluar dari batas-batas kaku mengenai wilayah, relasi, dan kontinuitas sejarah. Namun, buku ini juga kurang menghadirkan analisis yang mendalam mengenai antropologi kemunculan kebudayaan Sunda. Boleh jadi, hal ini bisa dijadikan petunjuk lebih untuk memperkaya alam relasi sosial lewat bahasa kala itu.
Penulis: Arrneto Bayliss
Editor: Lalu Adam Farhan Alwi