Judul Buku : Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera
Cetakan : 1995
Jumlah Halaman : 319
ISBN : –

Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) bukan sekadar cerita kematian enam jenderal yang jasadnya ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Peristiwa tersebut menjadi awal politik domino yang merusak kehidupan bangsa Indonesia. Sebab, secara biadab masyarakat yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) diperlakukan layaknya sampah dan serangga.

Kebiadaban tersebut menyebabkan terjadinya pembantaian yang membabi buta. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) mengklaim jumlah korban tewas pasca G30S lebih dari 3 juta orang.

Selain itu, dalam rangka membersihkan tubuh pemerintahan dan masyarakat dari ideologi komunisme, rezim Orde Baru pun mengadakan rehabilitasi. Rehabilitasi itu dilakukan dengan cara memasukkan para tokoh yang diduga terlibat G30S ke dalam Rutan Tahanan Chusus (RTC) Salemba.

Setelah empat tahun mengurung para tokoh itu di RTC Salemba, Soeharto mengirim mereka ke Pulau Buru untuk menjalani masa pembuangan. Hidup di tanah yang antah berantah, para tahanan politik (Tapol) disuruh bertahan hidup dengan pekerjaan membangun Pulau Buru tanpa diupah sesen pun.

Salah satu Tapol yang mengalami kekejaman tersebut ialah Pramoedya Ananta Toer. Sebelum dibuang ke Pulau Buru, sastrawan peraih Norwegian Author’s Union Award itu digelandang dari rumahnya di Rawamangun ke RTC Salemba pada 13 Oktober 1965. Pram diringkus akibat keterlibatannya di dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dinilai sebagai organisasi sayap PKI.

Iklan

Hari-hari Pram di Pulau Buru tidaklah mudah, ia ditugasi pekerjaan yang bukan bidang keahliannya. Profesi Pram yang semula merupakan pengarang hebat berubah menjadi kuli jalanan. Meskipun demikian, Pram tetap menulis, ia pun bisa menghasilkan empat karya novel sejarah masyhur yang dikenal sebagai Tetralogi Pulau Buru.

Pram juga merekam penderitaan yang diperolehnya selama menjadi Tapol di Pulau Buru dengan tulisan. Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu merupakan karyanya yang menggambarkan secara kronologis dan gamblang kehidupan kelam para Tapol di Pulau Buru.

Pada 17 Agustus 1969, para Tapol diberangkatkan dari RTC Salemba menuju Pelabuhan Sodong, Nusakambangan. Dari tempat itu, mereka naik kapal laut Angkatan Darat Republik Indonesia (ADRI) XV untuk pergi ke Pulau Buru.

Kapal laut ADRI XV mengangkut para Tapol sekitar delapan ratus orang. Akan tetapi, kapal laut ADRI XV kondisinya sangat buruk dan kotor. Tambah lagi, kapal tersebut berjalan lambat dan kadang mengalami mogok.

Setiba di Pulau Buru, para Tapol tidak menikmati kehidupan alam liar yang bebas. Sebaliknya, para Tapol itu hidup dengan cara militeristik yang mengekang dan keras. Keseharian para Tapol dijalani layaknya prajurit militer asli, walaupun mereka hanya warga sipil biasa.

Selama di Pulau Buru, para Tapol mempunyai rutinitas apel pada pagi hari yang dimanfaatkan para serdadu untuk memelonco mereka secara semena-mena. Setelahnya, para Tapol dipaksa bekerja.

Kondisi Pulau Buru yang masih ditutupi hutan dan rerumputan lebat menjadi tugas para Tapol untuk membabatnya habis. Mereka diperintahkan tugas membuka jalan selama enam hari. Namun, pekerjaan tersebut dilakukan tanpa mesin serta alat, hanya dengan tangan dan telapak kaki telanjang.

“Tangan bukan saja berdarah-darah juga pada bengkak,” halaman 50.

Tak hanya itu, pekerjaan produksi dengan cara bertani juga menyibukkan para Tapol. Berdasarkan data Kejaksaan Agung yang mengelola Pulau Buru, pekerjaan produksi para Tapol menghasilkan sawah dan ladang cetak seluas 3.532 hektar.

Bak samsak tinju, para Tapol juga mendapat penyiksaan. Contohnya dapat dilihat dari Peristiwa Besar 12 November yang terjadi di Unit II Wanareja. Saat itu, para Tapol dibuat merana karena disiksa dan ditembak serdadu. Mereka dianggap sebagai biang keladi kerusuhan yang menyebabkan pelarian Tapol dan pembunuhan seorang tentara.

Iklan

Kesengsaraan yang diperoleh para Tapol bukan hanya dari segi fisik saja, melainkan juga secara psikis. Setelah pemerintah Orde Baru membebaskan para Tapol dari Pulau Buru, rezim itu pun memberikan cap eks Tapol (ET) di KTP mereka.

Baca juga: Saksi Senja

Bukan main, lantaran adanya stempel ET, para Tapol dikucilkan masyarakat. Bahkan mereka pun sulit mendapatkan pekerjaan. Kerugian ini juga menimpa Pram, banyak karyanya yang seharusnya bisa dinikmati secara bebas oleh pembaca menjadi tidak bisa. Sebab, semua karya karangan Pram dilarang beredar pada masa Orde Baru.

Sebagai pengarang, Pram pun dibuat pilu saat melihat negara melakukan pembakaran terhadap karyanya pada 1981 akibat dinilai menyelipkan komunisme. Hal itu pun dikecam dunia internasional karena telah membungkam kebebasan dalam berpikir.

“Mengharapkan kebaikan hati Orde Baru sama dengan mimpi melihat kambing berkumis! Sistem kekuasaan yang dibangun dengan pembunuhan massal selamanya menjadi sistem yang lebih sibuk membenahi nurani sendiri,” halaman 49.

Tambah Pesimis

Kejadian yang dialami para ET di masa lalu tidak pernah ditangani pemerintah secara serius. Meskipun negara telah mengakui adanya pelanggaran HAM berat (PHB) pada 1965-1966, hal itu belum memenuhi keadilan untuk para ET yang dikambing hitamkan dalam G30S.

Kini, upaya keadilan atas PHB 1965-1966 semakin sulit. Pasalnya, pemerintah terlihat semakin abai atas kasus kejahatan HAM masa lalu.

Hal itu dapat dilihat dari pernyataan kontroversial Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra tempo lalu. Kepada publik, Yusril menyatakan peristiwa kekerasan 1998 tidak termasuk sebagai PHB.

Pernyataan itu langsung mendapat kritik dari berbagai aktivis HAM. Sebab, kekerasan pada 1998 harusnya termasuk ke dalam pelanggaran HAM berat karena terdapat pembantaian etnis dan penculikan sejumlah aktivis.

Cahaya harapan penyelesaian kasus PHB pun menjadi redam akibat sikap acuh tak acuh dari pemerintah baru. Apalagi, mengingat Presiden Prabowo Subianto juga punya dosa besar yang belum diadili dalam kasus PHB masa lalu. Dengan demikian, keadilan kepada para korban PHB masa lalu semakin sulit terwujud.

Masalah PHB masa lalu tidak boleh disembunyikan pemerintah baru. Sebab, sejarah itu menjadi peringatan bagi penguasa dan masyarakat pada masa kini serta yang akan datang. Justru dengan menyelesaikan kasus PHB dapat membuka tabir kebenaran yang ditutup-tutupi selama ini.

Baca juga: Nyai Ontosoroh Sekarang Banyak, tapi Minke Barunya Sedikit

Secara isi, Pram menulis buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dengan dokumen-dokumen sejarah yang penting. Hal itu sesuai dengan kepribadiannya yang suka mengoleksi dan mengarsip sumber sejarah, sehingga bisa dijadikan bahan untuk penulisan. Akan tetapi, karena buku ini dibuat saat dirinya menjadi Tapol, Pram mengakui banyak lembarannya yang hilang dan susunannya tidak rapi.

“Tulisan ini kami akhiri dengan suatu harapan, bahwa tempat ini, dengan peristiwa-peristiwanya tak akan dilupakan,” halaman 268.

Penulis: Naufal Nawwaf
Editor: Andreas Handy

*. Tulisan ini adalah bagian dari Terbitan Khusus Perayaan Hari Lahir Pram