Persoalan alokasi UKT di bidang akademik, administrasi UKT, dan pengisian SPU jadi peninggalan catatan Komarudin menjelang pemilihan Rektor. 

Setelah diputuskan pada tanggal 15 Juni 2023 lewat rapat tertutup senat UNJ, tersisa tiga dari empat bakal calon Rektor. Suara terbanyak diraih oleh Komarudin (41 suara), kedua Ucu Cahyana (31 suara), dan ketiga Muhammad Yusro (2 suara). Hingga kini, pemilihan bakal calon rektor melaju pada tahap terakhir yang jatuh pada 17 Juli 2023.

Meski tinggal menunggu pengumuman tahap akhir nanti, beberapa kinerja Komarudin di masa kepemimpinannya belum sepenuhnya maksimal. Dengan kata lain, hal tersebut tidak sejalan dengan pemaparan visi-misi Komarudin saat masih menjadi bakal calon rektor di tahun 2019.

Dalam visi-misinya kala itu, salah satu urgensi utama dalam membangun kampus adalah memperbaiki tata kelola UNJ. Namun dalam praktiknya, persoalan tata kelola keuangan khususnya soal UKT dan SPU masih melekat dengan mahasiswa.

Tim Didaktika melacak sejumlah persoalan itu dengan mengumpulkan berita dari rentan waktu saat Komarudin dilantik menjadi Rektor pada 18 Oktober 2019, sampai yang terbaru. Terbitan yang kami kumpulkan berupa berita dari website lpmdidaktika.com, Haluan Mahasiswa, dan Warta PKKMB. Hasilnya, terdapat 18 berita yang dapat digolongkan menjadi tiga tema pembahasan.

Ketidakjelasan Alokasi UKT Terhadap Kebutuhan Akademik

Iklan

Terdapat lima berita yang membahas tentang ketidaksesuaian alokasi UKT terhadap kebutuhan akademik. Permasalahan yang harus dihadapi mahasiswa adalah pengeluaran biaya tambahan di luar UKT. 

Seperti dalam berita Mitos Ketunggalan Uang Kuliah Tunggal (13 Januari 2020), Geografi dan Beratnya Biaya PKL Tahunan (Warta PKKMB 2022 Edisi 1), Demi Memenuhi Kebutuhan Rumah dan Kuliah (4 Mei 2023), dan Uang Kuliah Tak Tunggal (8 Mei 2023). 

Dari empat berita di atas, pengeluaran tambahan yang harus dikeluarkan mahasiswa antara lain, mahalnya praktik Kuliah Kerja Lapangan (KKL) mencakupi akses lapangan atau transportasi, pembelian buku untuk modul perkuliahan, dan praktikum mata kuliah prodi.

Adapula persoalan lain berupa hilirisasi UKT saat masa pandemi tidak merata. Dalam berita Pemberian Kuota Belum Cukup  (3 April 2020), dijelaskan mahasiswa tidak secara keseluruhan mendapatkan bantuan kuota internet untuk melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).  

Dua hal itu berlainan jika berkaca pada Permendikbud Nomor 25 tahun 2020, pasal 1, kegunaan UKT dan BKT adalah menjamin keseluruhan kegiatan mahasiswa selama masa perkuliahan. 

Dengan kata lain, seharusnya mahasiswa tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan apapun jika sudah membayar UKT. Mahasiswa memiliki hak untuk mendapatkan fasilitas pembelajaran, penunjang pembelajaran di kelas, biaya praktikum atau penelitian, dan lain-lain yang berkaitan dengan kegiatan akademik. 

Baca juga: Pemilihan Rektor: Penting tapi Kurang Berdampak

Pengelolaan Administrasi UKT yang Berbelit

Persoalan administrasi UKT menjadi temuan terbanyak selama Komarudin menjabat sebagai Rektor UNJ. Terhitung dari hasil yang ditemukan, terdapat sebelas berita yang memiliki masalah seperti ketidaksesuaian golongan UKT dengan kemampuan ekonomi mahasiswa dan kalutnya administrasi pengajuan keringanan UKT.

Iklan

Jika melihat dari Permendikbud Nomor 25 tahun 2020 pasal (7), pasal (8), dan pasal (9), UNJ harus menerapkan kebijakan tersebut secara prosedural, seperti adanya penggolongan UKT dan bantuan keringanan UKT. Namun, seperti dalam berita Ribuan Mahasiswa UNJ Telat Membayar UKT (29 Februari 2020) dan Jalan Panjang Keringanan UKT (25 Januari 2023), penggolongan UKT dinilai masih salah sasaran terhadap kemampuan ekonomi mahasiswa. 

Kemudian adapula permasalahan pengajuan keringanan. Mahasiswa yang ingin melakukan prosedur tersebut harus mengalami proses yang berbelit. Seperti di dalam berita Birokrasi Berbelit UNJ Menambah Beban Mahasiswa (20 September 2020) dan Tak Dapat Mengajukan Ubah Golongan UKT, Mahasiswa Baru Terbebani (Haluan Mahasiswa 2022 Edisi 1).

Terdapat sejumlah kasus mahasiswa terpaksa mengambil jenis keringanan yang tidak sesuai. Atau bahkan, mahasiswa tidak mendapat keringanan sama sekali. Selain itu, adapula pengumuman keringanan UKT yang dinilai rancu. Mahasiswa harus dihadapi kebingungan saat ingin mengajukan pengurusan keringanan UKT. 

Pengisian SPU yang Membebani

Melalui Permenristek Nomor 39 tahun 2017, UNJ membuat kebijakan soal pengisian SPU dalam SK Rektor Nomor 377 tahun 2020. Isinya, bicara soal enam program studi unggulan yang pengisian minimal SPU-nya dipatok pada harga 5 juta rupiah. 

Pada berita SPU dan Gairah Pembangunan di UNJ (9 Mei 2020), Agus Dudung, Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan (WR)  UNJ berkilah soal adanya pematokan SPU di enam prodi unggulan ini. Ia menjelaskan alasan diberlakukannya SPU yaitu menurunnya Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dan jumlah UKT yang masih kurang untuk dana operasional pendidikan kampus.

Namun hal tersebut berlainan jika melihat laporan keuangan UNJ pada 2020. Bantuan yang didapat melalui APBN di tahun 2020 mengalami kenaikan 2,66 persen. Di tahun 2019, UNJ mendapatkan APBN 178 miliar rupiah, sedangkan di tahun 2020 mendapatkan APBN 183  miliar rupiah.  Singkatnya, UNJ mengalami penambahan biaya APBN 4,7 miliar rupiah.

Selain itu pada berita Menekan Dengan Dalih Sumbangan (Warta PKKMB 2021 Edisi 2), mahasiswa baru angkatan 2021 merasa dirinya tertekan saat mengisi SPU. Sebabnya, pemaknaan SPU sendiri berubah. Dari yang tadinya sekadar sumbangan semata, menurut keterangan narasumber di berita tersebut, ia merasa SPU menjadi pelicin agar calon mahasiswa baru dapat mudah memasuki UNJ. 

Adapula menurut keterangan narasumber lain, dengan adanya kebijakan penetapan SPU, fasilitas yang dihadirkan kampus tidak mengalami perubahan. Tidak hanya fasilitas, narasumber juga merasakan tidak adanya perbedaan dalam proses akademik. Dengan kata lain, SPU tidak memiliki esensi tersendiri di dalam praktiknya. 

Tidak sampai di situ, kebijakan SPU juga tidak konsisten dalam praktiknya. Seperti yang tertuang dalam berita Karut-marutnya SPU yang Tidak Merata (Warta PKKMB 2022 Edisi 3). Di dalam berita ini terdapat program studi bukan unggulan yaitu Sastra Indonesia yang tiba-tiba SPU minimalnya dipatok dengan biaya lima juta rupiah, tidak ada pilihan nol. 

Transparansi dan Akuntabilitas

Berbagai masalah itu bagi Rakhmat Hidayat, Dosen Pendidikan Sosiologi UNJ, merupakan fenomena gunung es. Artinya, UKT merupakan sisi persoalan yang paling terlihat di publik. Akan tetapi menurutnya, dibutuhkan pembacaan mendasar terkait tata kelola keuangan UNJ yang ia nilai menjadi sebab masalah.

Rakhmat melihat secara administratif tata kelola keuangan UNJ masih kurang maksimal dalam tataran praktik. Ia memberikan contoh dari adanya miskomunikasi antara pejabat kampus yang membuat kebijakan dengan mahasiswa. Hal itu menjadi penyebab dari lahirnya persoalan seperti salahnya golongan UKT, besaran SPU yang memberatkan, dan berbelitnya proses keringanan UKT menjadi tidak terbendung.

Guna menyelesaikannya, Rakhmat menawarkan solusi kepada bakal calon Rektor. Ia mengatakan, Rektor baru harus memiliki sikap untuk mewujudkan universitas yang transparan dan akuntabel. 

Berdasarkan pengalamannya, pihak kampus menyebarkan informasi terbatas pada data yang warga kampus tidak semua mengerti. Menurut Rakhmat, hal tersebut perlu dirubah dan dikreasi dalam bentuk sederhana, seperti menggunakan infografis yang mudah disebar melalui akun resmi informasi UNJ atau grup Whatsapp.

“Menurut saya itu keren sekali karena publik dapat mengetahui informasi tata kelola keuangan UNJ dengan mudah,” tuturnya pada (15/7/2023).

Selain itu, ia juga menambahkan komponen universitas yang transparan dan akuntabel menjadi senjata untuk mengawasi laju perjalanan UNJ menjadi PTN-BH. Rakhmat menemukan titik krusial yang di mana UNJ belum siap menjadi PTN-BH.

Adanya aset UNJ yang tidak memiliki daya jual, seperti tanah di Cikarang yang ia anggap sebagai lahan mati karena tidak memiliki produktifitas apa-apa. Adapula menurut Rakhmat, UNJ perlu menerapkan biaya SPU yang tidak bersender pada trend program studi. 

Hal itu dilandasi oleh kebutuhan dan perkembangan zaman yang terus berubah, di mana dapat meluasnya fenomena trend program studi favorit. Rakhmat menegaskan, jika kebijakan ini masih berlanjut, UNJ dikhawatirkan akan semakin ganas menarik uang yang cukup tinggi dari mahasiswa. 

“Saya berasumsi jika UNJ tidak membenahi (tata kelola keuangan), UNJ akan menjalani praktik komersialisasi pendidikan seperti yang terjadi di UI dan UGM belakangan ini,” pungkasnya.

 

Penulis/ Reporter: Arrneto Bayliss Wibowo

Editor: Ihsan Dwi Rahman