Di tengah rentetan jam kuliah dan rapat organisasi, Aldira Aditya habiskan waktu menjadi pengemudi Ojek Online (Ojol) guna menyambung hidup dan melunasi tanggungan UKT.

Langkah tegap Adit seusai pulang kuliah tidak menunjukkan lelahnya mengikuti kelas seharian. Hari Kamis memang kerap dihabiskannya untuk mengikuti kelas di Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) UNJ. Adit memutuskan untuk fokus menyelesaikan kelas di hari Rabu, Kamis, dan Jumat. Namun hari Sabtu, Minggu, Senin, dan Selasa dihabiskannya untuk bekerja menjadi kurir Shopeefood.

Adit sudah dua tahun menjadi seorang pengemudi Ojol. Pekerjaan ini ditempuhnya untuk membantu kebutuhan rumahnya. Bersama ibu dan kakak laki-lakinya, Adit berusaha untuk merawat hidup serta menempuh pendidikan tingginya di UNJ.

Dua tahun silam, Adit menjajal menjadi kurir dengan mengandalkan akun kawannya di Ciputat. Tugasnya adalah menjalankan pesanan yang masuk ke akun Shopeefood kawannya. Selang beberapa bulan, Adit merasa upahnya terlalu rendah jika harus dibagi dengan kawannya. Bermodalkan motor Supra Fit peninggalan ayahnya, Adit memutuskan untuk mendaftarkan diri menjadi kurir.

Pilihan untuk bekerja sambil kuliah sudah seperti kewajiban untuknya. Pasalnya ia mendapatkan UKT golongan 2, dengan nominal Rp1.000.000. Berkat bantuan tantenya yang bekerja di apotik, Adit dapat menempuh pendidikan tinggi hingga lima semester.

Namun bantuan tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk belajar dengan tenang di perguruan tinggi. Adit tetap harus membantu perekonomian keluarganya dengan bekerja, sebab uang pensiunan ayahnya banyak dipotong oleh bank.

Iklan

Nyokap gua sendiri ngga kerja, dia nunggu pensiunan bokap. Tapi pensiunan bokap udah ngga utuh, ada tanggungan sama bank. Paling perbulan cuma dapet 100.000an,” terang Adit ketika ditemui di Arena Prestasi (16/3).

Menginjak semester enam, tantenya tidak lagi memenuhi biaya UKT sebab harus memenuhi kebutuhan keluarganya. Beruntung Adit telah menyisihkan penghasilannya sejak awal menjadi kurir Shopeefood. Adit tidak semerta-merta menunggu tantenya untuk membayarkan biaya kuliah, setiap masa pembayaran tiba, ia telah menyisihkan uangnya untuk memenuhi biaya kuliah.

“Sebenernya tiap semester selalu gua usahain buat bayar UKT. Kalau memang tante gua ngebayarin alhamdulillah. Kalau tidak dibayarkan oleh tante, berarti gua pakai uang yang dikumpulin itu,” ujar mahasiswa asal Ciputat tersebut.

Setelah memenuhi pembayaran UKT di awal semester, Adit masih harus membayarkan biaya Kuliah Kerja Lapangan (KKL) di prodinya. Ia masih harus menyiapkan uang sebesar Rp1.000.000 guna menunaikan tugas KKL di Solo. Sedangkan prodi hanya menyiapkan reimburse senilai Rp150.000.

Tidak hanya itu, pria berkulit sawo matang tersebut juga harus merogoh kocek hingga Rp400.000 untuk membeli buku penunjang kuliahnya. Kebutuhan kuliah tersebut dipenuhinya melalui hasil kerjanya menjadi kurir. Padahal termaktub dalam Permendikbud No.25/2020 di kolom Komponen Biaya Langsung. Bahwa kuliah lapangan, praktik lapangan, Kuliah Kerja Nyata, dan buku telah diperhitungkan dalam pembentukan Biaya Kuliah Tunggal (BKT). Nantinya BKT akan menjadi UKT yang dibebankan kepada mahasiswa.

Walaupun beban biaya kuliah Adit terasa berat, ia tak pernah mencoba mengajukan keringanan ke pihak kampus. Adit takut jika biaya kuliahnya justru malah dinaikkan. Bila nominal UKT-nya naik, Adit merasa tidak sanggup membayar biaya tersebut. “Gua takutnya malah dinaikin, niatnya banding UKT malah jadinya nambah,” ucapnya disertai gelak tawa.

Ketakutan Adit bukannya mengada-ada. Mengutip laman berita Didaktika berjudul “Syarat Utama UKT Turun: Merasa Miskin”, salah satu mahasiswa bernama Leila Khairunnisa mengaku pengajuan keringanannya ditanggapi dengan kenaikan UKT sebesar dua golongan.

Leila merasa keberatan dengan UKT tersebut, karena ayahnya baru saja meninggal pada bulan Februari dan ibunya hanya seorang guru ngaji. Akhirnya, ia mengajukan sanggah UKT, kenyataan pahit harus diterimanya, pihak verifikator malah menaikkan UKT-nya menjadi Rp4.100.000. Dengan alasan Leila mendapatkan beasiswa Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU).

Beban Mitra Perusahaan Ojol

Adit mengaku dalam sehari ia hanya dapat mengantongi Rp100.000-Rp250.000. Penghasilan tersebut tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan kuliahnya, tapi juga digunakan untuk membayar kebutuhan rumah. Dalam sebulan, Adit harus menyisihkan uang untuk membayar listrik sekitar Rp150.000-Rp200.000, servis motor sebesar Rp100.000, dan sesekali menanggung biaya makan sekeluarga.

Iklan

Demi memenuhi semua kebutuhan tersebut, Adit bekerja sedari jam delapan pagi sampai malam. Dari makanan sampai televisi dia antarkan ke pelanggannya. Adit tidak pilih-pilih pesanan, semua pesanan yang masuk ke aplikasi habis dibabatnya.

Gua kalo dibilang gila, gila bang. Gua pernah mengangkut TV. TV seberat 15kg dari Tangerang Selatan ke Pondok Gede,” keluhnya.

Ia pernah berulang kali mendapatkan pesanan fiktif. Di masa awalnya bekerja, Adit mengaku pernah mengantarkan martabak sebanyak lima bungkus. Nahasnya, pelanggan yang memesan pesanan tersebut tidak dapat dihubungi olehnya.

Beruntung, ia terbantu dengan komunitas Ojol yang menyarankan agar pesanan tersebut diuangkan kembali dengan melapor ke pihak aplikator. Syaratnya, ia harus membawa martabak ke panti asuhan terdekat dan mengunggah dokumentasinya ke aplikasi. Selang tiga sampai lima hari, uangnya dikembalikan oleh Shopeefood.

Sebagai pejuang jalanan berjaket oranye, Adit pernah mendapatkan rating rendah. Tanpa mengetahui musababnya, tiba tiba ratingnya turun ke angka 4.98. “Jadi pernah rating gua turun jadi 4.98, padahal gua udah full service. Tapi kenapa malah diturunin, kan ngga jelas juga,” pungkas Adit lesu.

Penurunan rating memang banyak dialami oleh pengemudi Ojol. Walaupun tampak sepele bila dilihat dari angkanya, Adit mengaku kesal karena angka itu mempengaruhi masuknya pesanan ke aplikasi. Shopeefood tidak memberitahukan musabab ratingnya turun, maka ia berasumsi rating-nya turun karena proses pengantaran yang lama. Namun proses tersebut juga terkendala dari antrian restoran.

Untuk penurunan rating yang dialami oleh Adit, pihak aplikator tidak banyak memberikan solusi dan hanya menyarankan Adit untuk meningkatkan kualitasnya. Padahal faktor turunnya rating pun bisa dipengaruhi oleh pelanggan yang tidak sabaran.

Berbagai faktor tersebut tidak bisa dihindari oleh Adit sebagai pengemudi Ojol. Ia seringkali dibayang-bayangi oleh ketidakpastian dalam pekerjaannya. Alih-alih terpenuhi haknya sebagai seorang pekerja, Adit disebut mitra oleh aplikator. Penyebutan mitra menunjukkan bahwa hubungan aplikator dan driver dianggap setara. Sehingga aplikator tidak harus memberikan THR, BPJS Ketenagakerjaan, dan kepastian penghasilan bagi seluruh pengemudi Ojol.

Mengutip Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati dalam Tempo.co, “Model hubungan kemitraan sesungguhnya adalah hubungan kerja. Karena di dalamnya terdapat unsur pekerjaan, perintah, dan upah sesuai Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.” (4/4)

Wajar bila Adit mengeluhkan penurunan rating dengan semena-mena, ketidakpastian pendapatan di awal pendaftarannya menjadi Ojol, juga repotnya ia memenuhi kebutuhan primernya. Sebab pekerjaannya sebagai mitra aplikator tidak memberikannya ruang untuk menuntut haknya sebagai buruh.

“Tapi yaa driver, namanya mitra tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kalau kata aplikasi, silakan tingkatkan lagi kualitasnya, nanti seiring berjalannya waktu rating akan naik lagi,” ujarnya sembari menghela nafas.

 

Penulis/reporter: Ragil Firdaus

Editor: Ezra Hanif