Kegiatan praktikum masih merogoh kantong pribadi mahasiswa, padahal dalam Permendikbud Nomor 25 tahun 2020 jelas bahwa itu masuk dalam UKT. Pihak laboratorium berdalih dana yang diberikan fakultas tidak cukup.
Mahasiswa sarjana rumpun biologi yang melakukan kegiatan praktikum masih harus mengeluarkan biaya diluar pembayaran UKT. Hal tersebut terjadi untuk memenuhi bahan praktikum yang terkadang tidak disediakan oleh laboratorium. Biaya tambahan tersebut membuat mahasiswa keberatan, sebab jumlahnya tidak sedikit.
Salah satu mahasiswa Prodi Biologi murni, Fania Dewi menjelaskan biaya yang dikeluarkannya untuk praktikum cukup banyak pada semester 118. Sebab, ia mendapat empat kegiatan praktikum dalam satu minggu.
“Terasa cukup berat karena semakin banyak praktikum, bahan yang dibutuhkan juga banyak. Jadi harus menggunakan uang kas kelas untuk beberapa bahan yang dibeli,“ jelas Fania.
Senada dengan Fania, mahasiswa Prodi Pendidikan biologi juga merasakan hal yang sama, Muhammad Adrian mengaku, kelasnya banyak mengeluarkan biaya untuk membeli bahan praktikum. Bahkan, ia menyebut pengeluaran empat praktikum dalam sepekan pernah mencapai Rp 500 ribu untuk satu kelas.
Hal tersebut pun menimbulkan pertanyaan bagi Adrian mengenai alokasi UKT yang tiap semesternya dibayar oleh mahasiswa. Menurutnya, biaya UKT sudah harus membiayai kegiatan praktikum.
“Jadi bingung aja, katanya Uang Kuliah Tunggal. Tapi malah ada biaya tambahan, harusnya kan sudah masuk hitungan UKT, jadi alokasi dananya bagaimana,“ tanya Adrian.
Mahasiswa Prodi Pendidikan biologi lain pun turut mempertanyakan alokasi dana UKT. Latifah Khoirunnisa salah satunya, mendapat UKT dengan golongan tertinggi membuat ia mempertanyakan apakah UKT yang selama ini dibayarkan tidak bisa membiayai kegiatan praktikum.
“Karena mendapat UKT tertinggi yaitu Rp 9 juta, jadi mempertanyakan alokasi dananya bagaimana? Apalagi aku disini merantau, biaya yang dibutuhkan juga banyak. Sangat keberatan dengan sistem yang seperti itu,“ ungkap Latifah.
Selain itu, Latifah juga menyinggung penetapan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang tiap tahunnya selalu diperbaharui. Menurutnya, penetapan BKT pasti sudah berdasarkan hitungan kebutuhan mahasiswa pada satu semester perkuliahan, ketika terjadi kekurangan dana yang menyebabkan mahasiswa mengeluarkan biaya lain selain UKT. Maka hal tersebut patut dipertanyakan.
Pembiayaan kegiatan praktikum sebenarnya sudah diatur pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 25 tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Pada Perguruan Tinggi di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada Permendikbud tersebut, kegiatan praktikum termasuk ke dalam ranah biaya langsung, yang pembiayaannya ditanggung oleh dana UKT.
Gambar: Hasil tangkapan layar Permendikbud Nomor 25 tahun 2020
Kepala Laboratorium Prodi Pendidikan biologi, Ade Suryanda berdalih, hal tersebut disebabkan oleh kurangnya dana yang didapat oleh pihak prodi. Menurutnya, fakultas hanya memberi dana sebesar Rp 100 juta untuk pelaksanaan praktikum pada rumpun biologi.
Besaran dana tersebut tidak bisa menanggung pembiayaan keseluruhan kegiatan praktikum. Akhirnya, kurangnya pemasukan yang terjadi dibebankan pada mahasiswa untuk membeli bahan praktikum secara mandiri.
Ketika disinggung mengenai alokasi dana UKT, Ade menjelaskan bahwa dana yang tiap semesternya dibayar oleh mahasiswa tidak banyak membantu. Menurutnya, subsidi silang yang terjadi antara pemerintah dan UKT masih tidak cukup membiayai kegiatan praktikum.
Ade juga sempat menyinggung banyaknya pengajuan keringanan oleh mahasiswa. Menurutnya, maraknya mahasiswa mendapat keringanan, membuat dana yang diterima oleh pihak prodi pun semakin berkurang.
“Selain keringanan yang mengurangi dana, semakin ramainya mahasiswa yang memilih UKT rendah pun berdampak pada pemasukan prodi dan berdampak pada kegiatan praktikum,“ terang Ade.
Berdasarkan penuturan Ade, ia sempat membuat mekanisme klaim/reimburse untuk mengganti pembelian bahan hidup yang menggunakan uang pribadi mahasiswa. Namun, untuk tahun ini kebijakan tersebut tidak lagi berjalan. Alasannya dana yang didapat tidak lagi bisa membiayai sistem reimburse tersebut.
“Berdasarkan hitungan kebutuhan laboratorium, tahun kemarin dana yang dibutuhkan sebanyak Rp 110 juta untuk kegiatan satu semester, namun dana yang didapat hanya sebesar Rp 100 juta. Oleh karena itu mulai tahun ini, kebijakan reimburse dana sudah tidak bisa dilakukan oleh pihak laboratorium,“ Jelas Ade.
Perihal dana yang tidak memadai, Ade menjelaskan bahwa besaran Rp 100 juta adalah dana maksimal yang bisa diusulkan terhadap pihak Fakultas MIPA. Hal tersebut merupakan wewenang pihak fakultas. Ade berharap, keuangan UNJ secara umum serta fakultas khususnya akan membaik sehingga bisa memenuhi kebutuhan prodi.
Mengenai permasalahan tersebut, Wakil Dekan II Bidang Umum dan Keuangan Fakultas MIPA, Sudarwanto menjelaskan bahwa ia tidak tahu menahu tentang biaya yang dikeluarkan mahasiswa terhadap kegiatan praktikum. Sebab, tidak pernah ada laporan mengenai hal tersebut.
Menurutnya, kegiatan praktikum harus mengikuti dana yang sudah disediakan oleh fakultas “Seharusnya prodi lebih bisa membuat skala prioritas, kegiatan praktikum menyesuaikan dengan dana yang ada, tidak usah semua dijadikan praktikum. Agar pembiayaan yang sudah ditetapkan bisa menjangkau seluruh kegiatan,“ terangnya.
Meskipun pihak prodi maupun fakultas saling lempar tanggung jawab, hal ini tidak bisa terus dibiarkan. Perlu ada pembenahan mengenai sistem praktikum yang dilakukan. Baik dari pihak prodi, mengenai mekanisme praktikum, maupun dari pihak fakultas selaku yang mengatur pembiayaan.
Seperti yang diharapkan oleh Latifah, “Pengennya ditinjau kembali, karena kalau dilihat sistem praktikumnya juga bermasalah. Mulai dari pengolahan bahan spesimen, kebijakan membawa bahan hidup sampai pembiayaannya. Sebagai mahasiswa, pasti berharap bisa berubah dan tidak lagi memberatkan mahasiswa selaku pihak yang melaksanakan praktikum,“ pungkasnya.
Penulis/reporter: Zahra Pramuningtyas
Editor: Ihsan Dwirahman