Berita kehilangan, badan terkujut kaku, nyawanya dirampas, tangis untuk jasad, nama yang abadi. Beberapa orang maafkan, beberapa yang lain yang membawa berita kehilangan bagi keluarga korban kekerasan aksi #ReformasiDikorupsi, adalah sebuah fenomena yang tidak tunggal.
Fenomena memiliki awal dan akhir yang beragam tergantung interpretasi masing masing orang. Bisa jadi pemantik puluhan konsolidasi gerakan rakyat, atau bikin mahasiswa sadar bahwa demonstrasi bukan tempat pacaran yang sehat. Maka sisanya ada di tangan para penggerak, melanjutkan perjuangan atau membiarkan pengorbanan pejuang demokrasi terhambat (kalaupun bukan sia-sia).
Melihat kekerasan bahkan kematian, seperti disebutkan sebelumnya, bukanlah fenomena tunggal. Tiba-tiba mahasiswa turun ke jalan lalu ditembaki dan jatuh korban. Ada berbagai faktor yang mendorong mobilisasi besar terjadi, begitupun kekerasan aparat terhadap mahasiswa. Fenomena tersebut pun tidak berhenti di akhir hari, tapi mendorong rantai kejadian selanjutnya, diantaranya adalah keikutsertaan pelajar dalam Aksi #ReformasiDikorupsi. Hal ini menjelaskan bagaimana peserta fenomena ini merupakan bagian dari sebuah struktur besar.
Struktur besar tersebut dapat diasumsikan dalam banyak bentuk diantaranya dinamika demokrasi, sejarah peruangan kelas, politik praktis, lahan jurnalisme, praktik ekonomi (banyak pedagang jualan saat aksi), gerakan mahasiswa yang moralis, bahkan budaya kekerasan aparat. Semua yang terjadi dalam struktur itu bersifat banal, yang menurut KBBI, berarti biasa saja.
Sehubung tulisan ini sedikit banyak mencoba menuntut budaya kekerasan, maka sudah seharusnya budaya kekerasan yang berlansung efektif bersifat banal. Budaya kekerasan itu biasa saja, lebih tepatnya terjadi karena biasa terjadi. Dalam struktur besar demokrasi Indonesia, terjadi banalitas kejahatan. Banalitas kejahatan yang sama terjadi secara struktural dalam rezim fasis Nazi Jerman.
Konsep banalitas kejahatan pertama kali di gagas oleh orang yang tidak mau disebut sebagai filsuf, Hannah Arendt. Dia lebih bahagia bila disapa pemikir politik. Bagi Arendt, pelaku kejahatan kebanyakan bukanlah orang-orang yang berniat buruk mencelakakan orang, bahkan tidak berniat buruk. Orang bisa jadi jahat karena memilih untuk tidak mau berpikir.
Dalam Eichmann trial in Jerusalem, karya Arendt yang membahas banalitas kejahatan, ia menulis laporan mengenai Adolf Eichmann, arsitek pembantaian Yahudi, dalam pengadilan Jerusalem. Ia menyebutkan, bahwa Eichman bukan sosok jahat yang dicerminkan oleh poin-point jaksa penuntutnya. Eichman bukan lain cuma orang biasa, yang kebetulan berada dalam lingkaran Nazi. Tercermin dari jawaban-jawaban pembelaannya. Saya Cuma jalankan tugas dari atasan, atau sejenisnya alih-alih menjawab terhadap tuntutan yang dibawa oleh jaksa. Arendt menyimpulkan Eichmann bukanlah orang jahat sesungguhnya, adapun kejahatan terkuatnya adalah tidak berpikir dan berpihak. Intinya, Arendt menganggap Eichmann sebagai orang tolol yang tidak mampu berpikir jauh diluar dirinya.
Intisari pandangan Arendt yang melihat tokoh Nazi itu tidak jahat tentu mengundang kontroversi. Arendt sebagai seorang Yahudi terkesan kontradiktif jika mengutarakan opini yang demikian. Namun, Arendt tentu bukan bertujuan untuk mendukung Nazisme, apalagi ia sendiri pernah mengalami kekerasan langsung tanpa alasan yang jelas. Arendt mencoba untuk mendorong perubahan dalam hal paling mendasar yakni logika moral sampai politik.
Dengan asumsi moral hitam putih maka pandangan dunia dalam skala besarnya akan menciptakan ketimpangan lainya. Alih-alih nilai-nilai moral yang mengarahkan kebaikan, malah nilai tersebut mendorong keburukan yang pura-pura baik. Asumsi dasar hitam putih ini kemudian, secara sederhana, menjadi pondasi system politik totalitarian. Apa hubungannya? Sistem moralitas tentu amat bergantung pada otoritas kekuasaan, entah institusi agama ataupun negara. Dengan nilai moral hitam putih maka sudah barang tentu terjadi legalitas penguasaan nilai-nilai mendasar moralitas lalu dampaknya kebebasan manusia lenyap dalam arus besar kekuasaan.
Hal ini sekiranya relevan jika menatap keadaan Republik Indonesia yang selalu memiliki potensi totalitarian. Contoh paling sederhana yang jadi fokus tulisan ini adalah budaya kekerasan sampai fenomena kematian demonstran dalam reformasi dikorupsi. Bagi para pembunuh tentu saja kejahatan itu banal, biasa saja.
Oleh karena itu, untuk mencegah pembunuhan selanjutnya terus terjadi perlawanan harus selancarkan sekuat tenaga. Tentunya budaya kekerasan adalah salah satu poin perjuangan reformasi dikorupsi, tapi akar pemasalahannya tentu adalah praktik demokrasi yang ditawan oleh kekuatan modal.
Negara Republik Investor Indonesia, sumber logika demokrasi yang mengijinkan pembunuhan sipil harus dituntut dan dilawan. Hannah Arendt tentunya tidak serta merta menunjuk ke kapitalisme sebagai musuh utama umat manusia. Namun kritisisme tentu menghujat ke titik-titik budaya kekerasan menjadi sah.
Solusinya bagi Arendt adalah asumsi penuh bahwa manusia itu memiliki anugrah rasio. Berdasarkan itu, manusia adalah makhluk politik, zoon politikon. Maka siapapun harus aktif berada dalam diskursus politik atau ikut dalam perjuangan. Dalam konteks indonesia, perjuangan tersebut terus berlangsung dalam gerakan rakyat.
Setelah memenuhi asumsi bahwa manusia adalah makhluk politik yang mampu gunakan rasio, harus ada wadah yang dapat digunakan. Bagi Arendt, perwujudannya adalah ruang public yang bebas. Hal ini relevan dengan intisari pemikiran Jurgen Habermas soal demokrasi deliberatif. Pelaksanaan demokrasi yang dinamis dan berpotensi untuk menampung kebutuhan rakyat karena melibatkanya di dalamnya.
Bayangkan jika terjadi ruang publik yang sehat dan bebas, dimana gerakan rakyat bisa berdebat dengan kekuasaan. Barangkali lima orang demonstran pejuang demokrasi sekarang masih berada diantara keluarganya. Tapi sayangnya kebebasan tersebut tidak eksis.
Menimbang kebebasan tersebut rasanya tidak eksis, maka perlawanan jadi sah. Berbagai bentuk perlawanan pun jadi relevan. Maka selemah-lemahnya iman perlawanan adalah mendengar lagu feast paling baru,atau Jason Ranti. Syukur-syukur jika Lagu Fajar merah jadi simbol perlawanan.
Penulis: Faisal Bahri
Editor: Muhamad Muhtar