oleh Tyo Prakoso*

 

“TETAP saja sekolah ini penuh bajingan. Semakin mahal uang bayaran satu sekolah, semakin penuh pula sekolah itu dengan maling—serius, aku tidak bercanda.” begitu kata Holden Caulfield. Dan saya ragu kau pernah membacanya.

 

Baiklah, Holden Caulfield ialah bocah enam belas tahun, saat itu untuk ketiga kalinya ia dikeluarkan dari sekolah. Cerita bermula dari sekolah beken Pencey Prep. Meski menurut Holden, sekolah itu “penuh dengan orang-orang munafik”. Di mana setiap orang berusaha bertingkah sok baik, hanya demi nilai atau apalah.

 

Iklan

Di malam ketika ia harus keluar dari asrama, saat orangtuanya mungkin belum dihubungi oleh si gaek Kepala Sekolah, bernama Thurmer; memberitakan bahwa anak laki-laki mereka baru saja hengkang, dan ia baru saja kelahi dengan Si Playboy Stradlater, teman sekamarnya yang pukimak. Holden memutuskan mengunjungi Pak Spencer, guru sejarahnya yang tua bangka. Dengan uang seadanya, pemberian sang nenek, Holden nekat berangkat ke New York. Menyewa sebuah kamar hotel murah. Dan mengunjungi satu per satu bar, meminum sebanyak-banyak gelas bir dan soda. Lalu bertemu dengan Sally, teman perempuannya dulu, bernostalgia mengenai Jane. Ia masih gusar tentang perkara kencan terakhir Jane Gallagher dengan Stradlater. Ia menduga Si Playboy pukimak itu sudah begituan dengan Jane di mobil sialan itu.

 

Seperti anak muda beringasan yang keren, beberapa hari itu hidup Holden berpindah dari satu kamar hotel ke kamar hotel lain, iseng menghubungi perempuan di tengah malam dengan bermodalkan bilik telepon. Memesan seorang pelacur ke kamar dan malah menuai sebuah bogem mentah dari SiGermo Maurice yang membual soal tarif main semalam dan sekali main.

 

Hingga ia bertemu dengan guru Bahasa Inggrisnya, Pak Antolini. (Untuk kau, saya akan ketik-ulang ceramah Pak Antolini kepada Holden. Kau perlu tahu!)

 

Kau tahu, di kisi-kisi kegiatan ngawas ujian akhir dan gitu deh, saya merampungkan buku The Catcher in The Rye karya D.J Salinger tepat tujuh hari. Ada dua hal yang membuat buku ini membantun. Pertama, konteks cerita bulan Desember tahun 1950-an yang menjadi latar. Karena di satu sisi tahun 1950-an di Amerika Serikat dikenal dengan generasi Beat, di sisi lain Amerika Serikat sebagai state perlahan tapi pasti mencengkram, dan kemudian mendikotomikan dunia, pasca-PD II melalui Marshall Plan. Artinya ada benturan antara state sebagai Politik (dengan P besar), dan Generasi Beat sebagai yang-politis (dengan p kecil). Dan hal itu mengantarkan saya kepada hal yang kedua, yakni cerita bocah bengal yang menjadi narator.

 

Sungguh, jika ada mesin waktu, saya ingin mengulang masa sekolah, karena masa sekolah saya gak sekeren Holden menjalani masa sekolahnya. Juga untuk saya, sebagai guru, membaca Salinger membuat mafhum bahwa anak nakal bukan berarti tolol. Mereka nakal memang tahu bahwa kenakalan itulah cara mereka mengencingi yang namanya sekolah. Juga untuk kalian, murid, jangan belaga nakal kalau masih belum senakal Holden. Malu. Cuma gegara rambut dipotong atau ikut-ikutan cabut sekolah manjat pagar, sudah belaga sok jagoan. Aduh. Pukimak lah! Nakal tidak sesederhana itu, Lur…

**

Iklan

Syahdan ketika ujian berlangsung seorang pengawas mondar-mandir untuk mengawasi para peserta agar tidak berlaku curang dan ujian berlangsung lancar dan nilai sebenarnya yang diperoleh-barangkali itu yang dibenak pengawas itu. Seorang pemuda duduk di tengah ruangan. Ketika pengawas duduk di kursinya, seorang kawan yang duduk di belakang pemuda itu, menepuk punggungnya, “Ssstt, Bung, buatkan bagan untukku ya?”. Ia meminta untuk jawaban nomor sekian. Pemuda itu mengambil kertas yang disodorkan kawannya, dan lekas membuat bagan yang kedua, dan kemudian memberikannya kembali, tanpa membuat pengawas curiga.

 

Di hari yang berbeda, dengan mata pelajaran yang berbeda pula, ketika pemuda itu tak mampu menjawab sebuah soal, ia meminta jawaban kepada kawannya. Dan kawannya meletakkan selembar kertas yang berisi jawaban di sudut ruangan, dan pemuda itu mengambil kertas itu dan menyalinnya tanpa membuat curiga pengawas ujian, tentu saja.

 

Kau tahu siapa pemuda itu? Betul, pemuda itu adalah Soekarno. Ya, Soekarno alias Koesno alias Sang Proklamator alias Pemimpin Besar Revolusi Indonesia dan alias-alias lainnya… Saya sedang tidak membual, kau bisa buktikan cerita di atas dengan membaca buku otobiografi Soekarno berjudul “Penyambung Lidah Rakyat” yang ditulis oleh Cindy Adams.

 

“Dalam ujian matematika, kuakui aku berbuat curang, meski hanya sedikit. Kami semua berbuat curang dengan berbagai cara.” kata Soekarno mengenang. “Tentu saja aku menyontek dari mahasiswa yang jago dalam matematika. Ini bukan disebut menyontek dalam arti yang sebenarnya. Di Indonesia, ini bisa dimasukkan dalam apa yang kami sebut kerja sama yang erat. Gotong Royong.”

 

Kau perlu catat, saya tidak selalu mengartikan negatif untuk perihal contek-menyontek. Mengapa, bukanlah sekedar Soekarno juga nyontek ataupalah, melainkan karena banyak jawaban atas pertanyaan itu. Bagi saya, contek-menyontek hanyalah puncak gunung es dari persoalan sistemik pendidikan nasional; dari persoalan guru yang tidak kompeten, kurikulum yang jebluk, mahalnya biaya pendidikan, sampai kekonyolan dan sengkarut pendidikan hari ini. Siswa (yang menyontek) hanyalah satu korban dari persoalan sistemik itu. Guru juga korban. Pengawas juga korban. Kepala sekolah juga korban. Menteri juga korban.

 

Maka sesama korban, kau mestinya tahu, mengutip Soekarno, kita harus “kerja sama yang erat. Gotong Royong.”

 

Tentu saya tahu banyak yang tidak sepakat dengan apa yang saya tulis di atas. Tidak masalah. Bagi saya sebagaimana agama, perihal contek-menyontek juga, لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ , urusan nafsi-nafsi, sesuai keimanan dan kualitas dirinya masing-masing. Menyontek, monggo. Tidak menyontek, silakan.

 

Saya hanya berpesan: jika kalian menyontek, selain tahu betul kenapa kalian harus menyontek dan dicontek—menyonteklah dengan kreatif dan kekinian. Jika kalian tidak menyontek—bagus, selain paham betul sengkarut pendidikan nasional yang menderamu, belajarlah bersama-sama dan pintar bersama-sama. Sebab terlampau banyak orang pintar sendirian, dan itu mula petaka penindasan. Gotong-royong, Lur. Gotong-royong.

**

Sejarah Indonesia adalah sejarah orang-orang nakal. Sebab banyak peristiwa sejarah Indonesia dimulai dari orang nakal. Satu kenakalan menghasilkan deretan peristiwa yang kemudian tercatat sejarah. Satu kenakalan-sejumlah peristiwa dan satu kenakalan-sejumlah peristiwa. Begitu seterusnya, sebagaimana roda sejarah berputar.

 

Sampai di sini saya harus katakan bahwa saya tidak mendefinisikan nakal sebagaimana KBBI catat, yakni (1) suka berbuat kurang baik (tidak menurut, mengganggu, dsb, terutama bagi anak-anak): (2) buruk kelakuan (lacur dsb). Saya tidak mengacu kedua definisi itu. Sebab bagi saya nakal bukanlah sekedar perbuatan tercela, melainkan satu sikap (yang didorong cara berpikir, tentu saja) yang enggan terpaku pada satu atau dua aturan. Biasanya orang yang nakal kerap mempertanyakan apapun yang mengekangnya dan karenanya ia melakukan tindakan yang berbeda dari kebanyakan. Dan ia berani atas tindakannya. Berani karena tahu bahwa tindakannya benar.

 

Bila ada orang yang mengaku ‘nakal’ tapi dia tidak mempertanyakan yang mengekangnya dan pengecut karena tidak berani mempertanggungjawabkannya, itu bukan nakal. Itu bodoh. Tolol. Goblok. Misalnya, bolos kelas pelajaran karena yang diajarkan itu-itu saja, itu nakal. Sementara bolos karena memang ikut-ikutan bolos, itu bodoh. Tolol. Goblok. Sesederhana itu.

 

Nah, pemahaman saya tentang nakal di atas merujuk ke Ki Hajar, Bapak Pendidikan Indonesia. Kata Ki Hajar, pertama manusia mustilah NGANDEL, manusia yang penuh percaya diri, bukan peragu. Tapi percaya diri dan rasa yakin saja tak cukup dalam menjalani hidup yang beronak dan berduri-duri, tapi juga harus diikuti sifat KENDEL, sikap berani. Supaya keberanian gak ngawur, manusia musti punya pengaman. Ya, mesti punya KANDEL, punya ilmu pengetahuan. Lalu tiga hal itu harus digenapi dengan sikap BANDEL, yakni tahan dan tawakal, namun juga bisa diartikan dengan kreatif. Dan arti keren kreatif adalah: mengubah yang biasa menjadi tidak biasa, memikirkan apa yang luput dipikirkan orang banyak. Saya percaya BANDEL adalah padanan kata yang cocok dalam bahasa Jawa untuk kata nakal.

 

Jadi, sebelum mendaku diri sebagai Anak Nakal, lakoni lah dulu ngandel, kendel, kandel, dan bandel secara paripurna, Lur.

**

Jam terakhir matapelajaran di kelas XI, kira-kira pukul 2 siang, MH, anak Kepala Pasar, menganggu teman-temannya yang sedang asik melukis di jam mata pelajaran Kesenian yang diampuh oleh Pak ABC. Entah apa yang dibenaknya, MH mencoret-coret lukisan karya teman-temannya yang berada di kanan-kiri bangkunya.

 

Pak ABC menegur. Tapi MH tak mengindahkannya. Ia masih menganggu teman-temannya. Rupanya MH siswa yang sering banyak masalah di sekolahnya. Hampir semua guru mempunyai catatan kurang baik. MH memiliki banyak catatan merah di Bagian Konseling (BK) sekolah.

 

Karena ulah MH itu lukisan karya teman-temannya tak maksimal. Pak ABC kembali menegurnya. MH diam sejenak, lalu kembali mencoret-coret lukisan temannya. Mungkin ia sejenis bocah ndablek.

 

Kau tahu kan manusia ada batasnya, apalagi hanya seorang guru, mungkin itu yang ada di benak Pak ABC. Kesabarannya mulai berkurang, dan akhirnya menindak MH dengan mencoret pipinya pakai kuas cat lukis yang dipegangnya. Selain mahir main biola, Pak ABC mahir melukis.

 

Mukanya coreng, dan sangat mungkin teman-temannya yang lain menertawainya, MH tidak terima dengan tindakan Pak ABC itu. MH tiba-tiba menghampiri dan memukul membabibuta di bagian belakang kepala Pak ABC.

 

Kejadian itu lekas menjadi bara kegaduhan SMAN favorit di kecamatan itu. Setelah pemukulan terjadi, siswa dan sejumlah guru dari ruangan kelas lain yang tahu datang dan berusaha melerai.

 

Pak ABC dan MH dipanggil menghadap ke ruangan Kepala Sekolah.

 

Denting tanda pulang sekolah berdering. Warga sekolah satu per satu pulang. Pak ABC pulang menuju rumahnya. Sesampainya di rumah, Pak ABC merasa sakit di bagian leher belakang hingga kepala pusing. Ia pun di bawa ke Rumah Sakit dr. Soetomo, Kota Surabaya. Pak ABC dinyatakan meninggal dunia sekitar pukul 21.40 WIB, Kamis (1/2/2018).

 

Selanjutnya adalah tabiat lama kepolisian, mendengar laporan ada guru meninggal di rumah sakit karena dianiaya siswanya, polisi bergerak cepat memintai keterangan dari saksi-saksi dan mendatangi rumah MH. MH menyerahkan diri pada kepolisian Polres Sampang, Jumat (2/2/108) dini hari. MH ditahan di Mapolres Sampang untuk kepentingan penyidikan lebih selanjut dan juga mengantisipasi reaksi balas dendam dari keluarga Pak ABC.

 

Apa yang kaubaca di atas bukanlah nukilan cerita dari satu novel atau cerita pendek. Kau dengan mudah mendapati kronologis lebih lengkap bila menggunakan mesin pencari di internet dengan kata kunci Guru tewas oleh siswanya. Bahkan hal tersebut menjadi ulasan di media massa dan elektronik nasional. Artinya kejadian itu bisalah kausebut sebagai muka pendidikan kita hari ini.

 

Tentu kau bisa mengelak. Itu hanyalah tembelek dari sejumlah berita siswa Indonesia yang memperoleh medali emas dalam olimpiade sains atau apalah yang mendapat tempat minim di media nasional.  Pertanyaannya: mengapa? Atau lebih tepatnya, mengapa bisa terjadi hal demikian; di satu sisi kejadian tewasnya guru di tangan siswanya dan siswa berprestasi di tingkat internasional?

*

Jika di atas saya mengisahkan sosok Holden yang nakal, Soekarno mencontek, dan MH yang memukuli Pak ABC hingga tewas, bukanlah bermaksud untuk menggarami air laut. Sebab tanpa saya tulis dan urai, mungkin kau tahu bahwa pendidikan kita sedang tidak baik-baik saja. Melainkan saya bermaksud agar kau syakwasangka bahwa anggapan MH sepenuhnya bersalah itu kurang tepat. Bagi saya, bagaimanapun MH adalah korban. Korban dari sistem pendidikan yang awut-awutan.

 

Mungkin tindakan MH memukuli sampai Pak ABC tewas adalah salah, tapi bila MH kemudian kaujadikan keset betapa buruknya pendidikan kita, saya tidak sepakat. Apa sebab, karena hemat saya kau terlalu gegabah untuk segera menghakimi bahwa murid yang nakal adalah bopeng bagi sekolah. Kau luput untuk bertanya, setidaknya pada diriku, yang kebetulan berprofesi sebagai guru, mengapa MH kemudian menjadi nakal di jam pelajaranmu. Apakah benar karena MH anak yang “sering banyak masalah” dan “banyak catatan merah di Bagian Konseling (BK) sekolah”? Mengapa kau tidak bertanya metode dan suasana kelas yang seperti apa  saat Pak ABC mengajar dan MH “menganggu teman-temannya”?

 

Tentu kau masih bisa mengelak, bahwa dua pertanyaan yang saya ajukan sangat subjektif, dan terkesan mengada-ada. Namun di sanalah titik persoalannya. Bahwa kegagalan seorang guru adalah ketika ia gagal membuat suasana kelasnya menarik, dan siswanya merasa seperti ‘di sekolah’. Sebab, kau perlu tahu, dari riset yang saya lakukan secara kecil-kecilan, bahwa lebih dari 70 persen (sampling sebanyak 200an siswa) sekolah itu membosankan, dan 65 persen mengatakan sekolah serupa penjara, dan ruang kelas adalah sel-sel narapidana. Di sanalah pangkal muara kenakalan-kenakalan yang bermuara pada kisah MH di atas. Artinya siswa nakal adalah akibat dari sekolah membosankan serupa penjara dan ruang kelas seperti sel-sel tahanan.

 

Kau juga bisa membantah, jika sekolah membosankan, sebagaimana kau hujjah di atas, ada siswa berprestasi dan bahkan dalam lingkup internasional?

 

Untuk hal ini mari kita urai perlahan. Sampai di sini saya harus katakan bahwa persoalan memang tidak hanya berlangsung di/dari lingkup institusi sekolah per se, melainkan juga pranata sosial yang melingkupinya. Jika siswa nakal adalah akibat sekolah yang membosankan, maka lingkungan tempat siswa nakal—keluarga, lingkungan tempat tinggal, lingkungan bermain, dll dkk dst—merupakan variabel terikat yang juga urun mempengaruhi kenakalannya. Artinya silang-sengkarut penyebab siswa nakal telah dan memang berosmosis dengan berbagai variabel tersebut.

 

Meski kita haruslah sepakat, bahwa sekolah bukanlah bengkel tempat orang-orang rusak yang segera diperbaiki (sebab jika demikian, siswa gak nakal untuk apa sekolah?), melainkan sebagai taman bermain—tempat anak-anak berkembang dan bertukar-tangkap dengan lepas berbagai kebudayaan dan identitas dan pengalaman yang berbeda dalam lingkup bersama yang bernama sekolah. Saya pikir di titik inilah 3 Juli 1922 di Yogyakarta Ki Hajar mendirikan sekolah bernama Taman Siswa.

 

Saya tentu menolak bila kau menyebut ini persoalan personal—dalam hal ini guru—belaka. Sebab ini bukanlah soal juru-racik yang kurang garam untuk makanan olahannya. Ini soal bagaimana negara—saya harus menyebutkan ini karena bagaimanapun, sejak 17 Agustus 1945 kita bersepakat secara politik bahwa kita hidup bersama dalam naungan yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia—tidak cakap memperlakukan warga negaranya dalam bidang yang krusial, yakni pendidikan. Bukankah alih-alih emas, timah, rempah atau uranium, Sumber Daya Manusia adalah modal pertama dan utama sebuah negara—dus, pendidikan adalah institusi yang sangat potensial untuk mempersiapkan dan memanfaatkannya?

 

Sebagai gerakan politik, saya berharap agar pemerintah membuat kebijakan yang mampu mewujudkan masyarakat gemar membaca. Saya bayangkan tuntutannya kurang lebih seperti ini:

1. Meminta pemerintah memperbaiki sistem pendidikan sehingga sekolah-sekolah akan menghasilkan lulusan yang mampu menggunakan akal dan gemar membaca buku.

2. Ada perpustakaan di setiap desa, dengan koleksi buku-buku bagus yang bisa diakses seluruh rakyat.

3. Menekan pemerintah agar menerjemahkan secara besar-besaran buku-buku penting dan karya-karya sastra terbaik dari berbagai negara di lima benua. Ini penting karena kegemaran membaca akan lebih mudah diwujudkan ketika kita bisa menemukan bacaan-bacaan bagus secara mudah.

 

Saya percaya, kali ini kau sepakat dengan saya. Soal manusia (banyak) kita tidak bisa bersandar pada angin, tentu saja.

 

Dari premis yang sudah saya uraikan, kau tahu, persoalan guru dan proses menciptakan guru adalah simpulnya. Sebab untuk mendapati siswa yang gemar membaca kau membutuhkan guru yang gila membaca, kan. Dan ini bukanlah perkara personal. Ini bagaimana gerakan politik dilakukan.

 

Namun, sebelum masuk ke bagian tersebut, izinkan saya menyebutkan, hmm…  Tujuh Setan Pendidikan yang menjadi kerikil dalam upaya menciptakan manusia merdeka melalui pendidikan. Pertama, Pengusaha/pemodal yang menjadikan pendidikan sebagai lahan komersialisasi—termasuk upaya pembuatan bimbingan belajar yang jamak terjadi—sehingga untuk menjadi pintar dan unggul dalam pendidikan mestilah mengeluarkan uang yang banyak. Kedua Birokrat kekuasaan (eksekutif dan legislatif) yang berselingkuh dengan Setan Pertama, olehnya membuat peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan komersil Setan Pertama—misalnya UU PTN BH dan peraturan turunannya, yang muaranya adalah persoalan mahalnya biaya pendidikan sehingga hanya segelintir anak Indonesia yang bisa merasakan Gedung Kuliah. Ketiga, Birokrat Perguruan Tinggi (rektorat tingkat universitas hingga jurusan) yang menjalankan peraturan tersebut tanpa mengajukan kritik dan menganggapnya sebagai kebenaran-absolut sehingga mengorbankan (calon) mahasiswa yang tak mampu membayar uang tersebut, misalnya. Memang agak berlebihan bila kita membayangkan seorang Rektor menolak peraturan menteri tentang ketentuan uang kuliah yang mencekek mahasiswa. Tapi, sejarah membuktikan, itu bukanlah mustahil, Keempat, Dosen-dosen bebal yang gagal menciptakan mahasiswa yang merdeka dan menjalankan amanat—sebagaimana tanggung jawab intelektualitas dan moralitas. Cukup membuka catatan sejarah tidak lebih dari 50 tahun yang lalu, maka Anda akan menemukan nama Ali Syariati, seorang dosen yang memimpin mahasiswa-mahasiswa menjungkalkan pemerintah yang lalim. Kelima, Mahasiswa-mahasiswa naïf yang dengan pengetahuannya malah menjadi sosok yang berpaling pada kenyataan—saya tidak ingin membahasnya lebih lanjut, jangan-jangan kita bagian dari Setan Kelima ini. Keenam, Guru-guru berkarakter militeristik dan berpandangan Orbaisme yang menganggap murid adalah kerbau yang dicucuk hidungnya. Sehingga melanggengkan proses dekaden yang gagal menciptakan manusi-manusia merdeka. Ketujuh, Tentara—sebab, kondisi yang tersebutkan di atas yang diinginkannya. Sebab semua akan tentara pada waktunya…

 

Jika hal di atas kau ingin memerasnya, maka kau akan mendapati bahwa saya sedang berusaha mendedah persoalan pendidikan yang menitik-beratkan pada peran dan fungsi guru—dus, LPTK sebagai lembaga yang menciptakan guru. Karena LPTK masih serupa pabrik yang hanya menghasilkan tenaga kerja pendidikan untuk memenuhi kuota kebutuhan pendidikan di pasar pendidikan. Hasilnya guru yang dihasilkan pun sangat minim kompetensi. Sialnya, pihak terkait kerap menyederhanakan persoalan dengan kebijakan yang cenderung proyekan. Hal ini semakin memperparah keadaan. Kompetens guru tak tercapai, anggaran tetap berjalan. Hemat saya, reviitalisasi Lembaga Penghasil Tenaga Kependidikan (LPTK) adalah jalan keluar paling mendesak hari ini. Memperbaiki sistem penyeleksian calon mahasiswa keguruan menjadi jalan yang perlu dilakukan. Artinya LPTK haruslah memasang standar khusus untuk calon mahasiswa keguruan. Sebagaimana Universitas Sorbonner di Paris melakukan seleksi ketat untuk calon mahasiswa keguruan. Maka hanya calon  mahasiswa terpilih lah yang memang bakal menjadi mahasiswa keguruan dan kemudian guru.

 

Dan, sialnya, LPTK adalah tempat kau berada puluhan tahun lamanya. Kau hasil ciptaan LPTK, persis seperti saya. Dan kau kini menjadi bagiannya. Sebuah mesin yang sudah aus digerus jaman. Kau tidak keliru bila menuduhku menarasikan frase Revolusi Pendidikan—frase yang entah kenapa di telingamu terdengar lucu dan menyebalkan. Sebagaimana kau geram dengan kami yang kerap sesumbar kata Rakyat dan kaupungkas pertanyaan Rakyat mana yang kau bela atau sinisme kau kepada mahasiswa yang melawan dan kausebut Teriak-teriak dan Tong kosong nyaring bunyinya atau apalah.

 

Apa boleh bikin, kau memaksa saya untuk tetap menggunakan frase Revolusi Pendidikan. Meski saya ogah-ogahan, dan berusaha keras untuk menghindarinya—setidaknya sampai kaubaca paragraf ini. Dan, berbahagialah, ini merupakan kalimat terakhir yang kaubaca; Pukimak! []

 

*Tyo Prakoso—memiliki hobi tidur siang. Jika mendapatinya sedang membaca, percayalah, ia sedang bekerja. Karena baginya membaca adalah kerja—kerja merupakan ibadah. Maka ia selalu ibadah. Tidur dan membaca. Lulusan Pendidikan Sejarah UNJ.