Memperingati Hari Tani Nasional (HTN) 2022, buruh dan petani dari berbagai daerah membawa tuntutan kepada DPR dan MPR RI di Jakarta.
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) dan Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menyerukan aksi Hari Tani Nasional (HTN) di depan gedung DPR RI pada Selasa (27/9/2022). Aksi yang diikuti dari berbagai elemen rakyat, seperti petani, buruh, dan mahasiswa ini, bertepatan dengan momentum HTN yang jatuh pada 24 September lalu.
Aksi ini dihadiri oleh 5.000 petani dari 130 serikat petani dan komunitas masyarakat adat yang menjadi anggota dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Syamsudin Wahid selaku koordinator lapangan mengatakan, para petani ini berasal dari 4 provinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, dan Banten.
Menurut data yang diperoleh KPA, Syamsudin mengatakan bahwa hanya 1 persen rakyat Indonesia yang menguasai 68 persen sumber-sumber agraria di Indonesia. Hal ini, menurutnya, merupakan satu ketimpangan yang luar biasa. KPA juga menemukan di beberapa wilayah terdapat konsesi dari satu perusahaan yang menguasai jutaan hektar tanah. Di dalamnya ada desa-desa, petani, dan rakyat yang tidak memiliki tanah.
“Kalaupun mereka punya tanah, mereka masuk dalam kategori petani gurem karena kepemilikan mereka hanya 0,5 hektar, bahkan bisa kurang,” ungkap Syamsudin.
Ia melanjutkan, tak sedikit petani yang mempertahankan tanahnya supaya tidak direbut oleh korporasi untuk dijadikan Proyek Strategis Nasional (PSN). Mirisnya, mereka justru ditangkap aparat kepolisian dengan alasan melawan negara, penyerobotan, dan sebagainya.
“Itulah bentuk-bentuk kriminalisasi terhadap petani dan pelemahan terhadap perjuangan-perjuangan petani di Indonesia,” pungkas Syamsudin.
Dalam aksi ini, KNPA menuntut pemerintah menegakkan konstitusionalisme agraria untuk kedaulatan dan keselamatan rakyat.
Baca Juga: Buruh Tani Perempuan Tuntut Keadilan
Aksi ini diadakan di Jakarta untuk wilayah Jabodetabek dan Jawa Barat. Lalu, di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Timur, Jawa Tengah juga melakukan aksi gelombang secara terus menerus sejak ditetapkannya omnibus law dan UU Cipta Kerja, kenaikan BBM, dan kenaikan harga-harga pokok.
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos. Ia juga mengatakan, buruh dan petani sama-sama kehilangan hak-hak dasarnya. Sebab, lanjutnya, banyak petani sudah tidak mampu memberikan pendidikan kepada anak mereka, karena mereka sudah tak lagi memiliki tanah. Akhirnya, anak-anak petani tersebut berimigrasi ke kota-kota industri dan menjadi buruh. Ketika menjadi buruh, mereka menghadapi persoalan sistem kerja kontrak, upah minim, dan persoalan lain yang dilegitimasi melalui omnibus law dan UU Cipta Kerja.
“Rakyat, khususnya petani, semakin kehilangan hak-hak dasarnya yakni memiliki tanah. Kekuasaan hari ini lebih mengedepankan kepentingan investasi atau pemodal, tapi mengabaikan aspek kemanusiaan, keadilan, dan hak yang mendasar yang dimiliki oleh perusahaan,” tegas Nining.
Ia melanjutkan, program Bantuan Subsidi Gaji/Upah (BSU) atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dibuat pemerintah hanya ‘pemanis’ saja dari adanya kenaikan harga BBM. Akan tetapi, sumber masalah dan sumber kemiskinan itu tidak pernah diselesaikan. Upah murah terus ditekan secara masif.
Untuk itu, GEBRAK menuntut kepada pemerintah agar mewujudkan hak petani atas tanahnya, menolak kenaikan BBM, batalkan rencana revisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), turunkan harga-harga, serta cabut omnibus law dan UU Cipta Kerja.
Setelah menjalankan aksi, sebanyak 150 perwakilan dari ketua serikat-serikat petani yang hadir dalam aksi tersebut, masuk ke dalam gedung DPR untuk melakukan audiensi. Mereka ditemui oleh wakil MPR RI, Jazilul Fawaid. Namun, lanjut Nining, Jazilul mengaku tak memiliki kekuatan meskipun punya keberanian untuk memenuhi tuntutan dari massa aksi. Ia hanya dapat mendorong terbentuknya dewan pengawas reforma agraria.
Para perwakilan saat itu mendesak MPR mengevaluasi kerja-kerja DPR dan eksekutif karena banyak regulasi yang selama ini dianggap merusak berbagai macam tatanan kedaulatan, keadilan, dan tata ruang-ruang demokrasi termasuk sumber-sumber penghidupan rakyat.
“Kami mendorong bagaimana berbagai macam regulasi dan kebijakan yang selama ini tidak melibatkan partisipatif aktif dari berbagai macam stakeholder. Namun, rezim hari ini adalah rezim yang gagal menyejahterakan rakyat,” ungkap Nining.
Penulis : Sonia Renata
Editor : Hastomo