Marni, seorang buruh tani perempuan asal Ciamis yang rela bersesak panas, jauh dari rumahnya demi menuntut keadilan bagi kaum tani. 

Sore itu, Selasa (27/9/2022), lantunan azan berkumandang di Jalan Gatot Subroto yang ramai dipenuhi massa. Bersama ribuan buruh tani lainnya, Marni datang ke Jakarta dalam rangka peringatan Hari Tani Nasional 2022. 

Sedari Senin sore, mereka berbondong-bondong berangkat dari Banjaranyar, Ciamis. Perjalanan delapan jam dengan bis-bis yang sudah dicarter mereka lalui. Membawa serta sanak keluarga beserta anak-anaknya, laki-laki atau perempuan, tua maupun muda semuanya bersatu padu menyuarakan aspirasi kaum tani kepada wakil-wakilnya.  

Marni dan petani lainnya punya beberapa tuntutan, diantaranya ialah stop perampasan tanah rakyat; pemberian tanah, modal, teknologi dan pengetahuan untuk petani dan nelayan; penolakan RKUHP dan Omnibus Law Cipta Kerja; hingga penghentian sistem kerja kontrak yang merugikan kaum pekerja. 

Mengingat kondisi kaum tani di berbagai daerah yang masih memperihatinkan. Atas dasar persamaan nasib, mereka bersatu di momen tahunan ini untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Di tengah usia senjanya, Marni masih tetap bersemangat menuntut keadilan hak kaum tani.

“Sehari-hari ya kami bertani, biasanya padi. Kalau yang punya lahan sendiri ya, dia tanam sendiri, tapi banyaknya garap lahan orang lain,” ujarnya.

Iklan

Dari tuturan Marni, dia menjelaskan ada dua jenis buruh tani di daerah tempat asalnya. Mereka yang menggarap lahan, dan mereka yang menyewa lahan. Mereka yang menggarap lahan, diantaranya merupakan petani gurem yang hanya memiliki tanah sekitar 0,5 hektar dan mereka yang bekerja di lahan orang lain.

Di daerah Marni, kebanyakan dari buruh tani bekerja di tanah milik pihak Dinas Kehutanan. Banyak lahan sawah maupun perkebunan disana dimiliki oleh Kehutanan. Para buruh tani pun dipekerjakan dengan sistem gaji oleh Kehutanan. “Biasanya, kalau buruh tani wanita setengah hari dibayar 35.000, kalau sehari dibayar 45.000,” tutur Marni. 

Buruh tani perempuan tuntut keadilan

Baginya, upah sebesar itu hanya bisa sekadar menyambung hidup saja. Belum termasuk keperluan lain seperti uang sekolah anak dan sebagainya. Terlebih lagi, buruh wanita seperti Marni hanya dipekerjakan di saat masa panen tiba, tidak setiap waktu seperti para kaum laki-laki. 

Sedangkan, yang kedua merupakan penyewa lahan, dimana seluruh modal kecuali tanah, murni dari pihak buruh tani sendiri, seperti pupuk, pestisida, dan sebagainya. Kebanyakan dari buruh penyewa lahan, mengeluhkan mahalnya modal yang diperlukan untuk menggarap dalam satu kali masa tanam. Tak sampai situ saja, harga pupuk bersubsidi pun tidak lagi bersahabat.

Di Banjaranyar pun kondisi panen yang tidak menentu menjadi hambatan tersendiri bagi kaum tani. Tak jarang pula, hama wereng menyebabkan busuknya gabah dan mengakibatkan terjadinya gagal panen. Bagi Marni, ini merupakan dampak dari mahalnya pestisida. Tak adanya pestisida murah, membuat buruh tani kewalahan dalam menghadapi hama. 

“Kalau gabah busuk atau terjadi hama wereng ya kami hadapi sendiri, tidak ada bantuan dari negara” ujar Marni.

Baca Juga: Aksi HTN 2022: Ribuan Buruh dan Petani Turun ke Jalan

Keadaan ini diperparah dengan murahnya harga jual hasil panen ke tengkulak. Mereka biasa panen dua kali dalam setahun, namun sebelum masa itu mereka harus menghadapi ancaman hama dan pupuk mahal. Sementara saat masa panen, mereka dihadapkan pada murahnya harga jual. Menjadi sebuah ironi sebenarnya, dengan mahalnya harga beras sekarang ini, kaum tani yang bekerja paling depan dalam proses produksinya malah mendapatkan hasil yang paling sedikit.

Selain bertarung dengan permasalahan di sawah, buruh tani juga terkadang harus bertarung untuk mempertahankan tanahnya dari perebutan lahan. Dikutip dari Beritasatu.com, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 207 konflik agraria terjadi di Indonesia sepanjang 2021. Mulai dari kriminalisasi petani di lahannya sendiri, hingga perebutan secara paksa tanah millik petani oleh korporasi-korporasi besar yang dibantu dengan campur tangan aparat, kasus ini menjadi bukti bahwa masih terjadi praktik penindasan dan ketidakadilan masih terjadi bagi kaum tani. 

Iklan

Maka dari itu, Marni, bersama kawan-kawan petani lainnya di bawah panji Komite Nasional Pembaruan Agraria, Gerakan Buruh Bersama Rakyat, serta kelompok-kelompok petani dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten dan Lampung menuntut reformasi agraria sejati demi menjamin kesejahteraan bagi seluruh kaum tani dan kelas pekerja.

Di akhir aksinya, 150 perwakilan buruh dan tani masuk ke gedung DPR/MPR untuk melakukan audiensi. Namun sayang, Wakil Ketua MPR Jazilul Fawad katakan tak memiliki kuasa untuk memenuhi tuntutan massa aksi. Dirinya hanya bisa mendorong terbentuknya dewan pengawas reformasi agraria.

Penulis: Walid

Editor: Izam