Salah satu fungsi pers dalam teori tanggung jawab sosial (social responsibility theory) adalah menjadi pengawas atau kontrol terhadap pemerintah. Pers dibutuhkan untuk menyampaikan informasi yang objektif kepada masyarakat mengenai negaranya, seperti yang dikatakan oleh Wilbur Schramm, seorang ahli komunikasi asal Amerika Serikat. Namun, saat ini kemerdekaan pers terancam. Keluarnya Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang salah satu poinnya adalah mengambil jalur hukum terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR (Pasal 122 huruf K). Tentunya hal ini mengesankan lembaga legislatif punya kuasa yang lebih terhadap rakyatnya. Akibatnya DPR menjadi semakin otoriter. Padahal, kita hidup di negara yang menganut paham demokrasi sehingga kehidupan bernegara tidak lepas dari yang namanya kritik.

DPR adalah lembaga negara yang didalamnya bercokol para perwakilan yang dipilih oleh rakyat setiap lima tahun sekali. Rakyat berhak untuk menilai DPR, baik secara individu maupun secara kelembagaan. Namun, apa yang terjadi dengan keluarnya revisi UU MD3 itu mengesankan rakyat sebagai musuh bagi DPR. Kritik yang seharusnya dibutuhkan DPR untuk meningkatkan kinerjanya dianggap menghinakan DPR itu sendiri. Padahal, perilaku individu di DPR lah yang membuat hina kelembagaannya itu sendiri. Kinerja yang sangat buruk dibandingkan dengan lembaga negara lainnya serta banyak anggota DPR yang tersangkut kasus korupsi, termasuk ketuanya Setya Novanto menjadikan kehormatannya rendah di mata publik.

Adagium Romawi, corruptissima re publica plurimae leges, atau semakin negara itu korupsi, semakin banyak undang-undang yang dikeluarkan layak untuk mencerminkan perilaku DPR saat ini. Ketakutan DPR akan KPK akibat banyak anggotanya yang terjerat kasus korupsi dikeluarkan dalam bentuk pasal di UU MD3. Pemanggilan anggota DPR dibuat rumit, harus dipertimbangkan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan sebelum dilimpahkan ke presiden (Pasal 245). Urgensi dari pembuatan undang-undang ini tidak jelas, hanya menguntungkan DPR secara sepihak.

Sebenarnya, kekangan pemerintah atas kemerdekaan pers sudah terlihat dalam masa kolonial Belanda. Pers milik kalangan bumiputra menjadi ancaman bagi Pemerintahan Hindia Belanda. Pasal yang dikeluarkan, yaitu Pasal 153 bis Strafwetboek (KUHP), yang melarang rakyat mengeluarkan tulisan atau gambar secara terang-terangan maupun terselubung, mengancam ekspresi rakyat terhadap pemerintah. Pembuatan KUHP ini tidaklah cukup untuk menjerat pers. Pada tahun 1931, Gubernur Jenderal De Graeff mengumumkan pemberlakuan Persbreidel Ordonnantie (Pemberangusan Pers). Intinya, melarang penerbitan tertentu untuk menerbitkan tulisannya yang dinilai dapat mengganggu ketertiban umum. Pers pada masa itu sangat kencang mengkritik kinerja pemerintahan kolonial serta menyuarakan kemerdekaan bagi bangsanya sendiri.

Pers pada masa itu menjadi refleksi dari nasionalisme Indonesia yang berkobar. Lihat cara Soewardi Suryaningrat mengkritik pemerintah yang dianggapnya “menari di atas penderitaan rakyat,” dengan kata lain merayakan kemerdekaan Belanda di negara yang sedang terjajah.

Akibatnya, tulisan yang dibuat Suwardi di De Express disita oleh pemerintah dan Soewardi ditangkap pada 1913. Namun apa yang dibuat oleh Soewardi menjadi pemicu kalangan pers lainnya untuk bergerak menyuarakan hak-hak bangsa Indonesia yang terjajah. Membenarkan salah satu artikel yang dibuat oleh Soewardi, Kracht of Vress (Kekuatan atau Ketakutan?), justru lembaga negara mempunyai kesan takut martabatnya ditelanjangi oleh rakyat.

Iklan

DPR saat ini layaknya pejabat pemerintahan kolonial yang mempunyai kesewenang-wenangan terhadap rakyat. Padahal, DPR merupakan representasi dari rakyat yang dipilih setiap lima tahun sekali. Apakah DPR lupa atau pura-pura lupa bahwa ia adalah pelayan rakyat? Pelayan seharusnya melaksanakan fungsinya semaksimal mungkin kepada rakyat, bukan malah menganggap rakyat sebagai musuh. Telinga mereka akan panas bila namanya dikritik oleh rakyat.

Seharusnya, mulai dari DPR sendiri yang menjaga integritasnya dan menjunjung tinggi etika. Catatan dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menuturkan bahwa DPR diduga telah melakukan 10 pelanggaran kode etik. Jika mengingat apa yang dilakukan Ketua BEM Universitas Indonesia yang mengacungkan kartu terhadap Presiden, DPR layak diberikan “kartu merah” oleh rakyat.

DPR juga mencitrakan dirinya sebagai lembaga yang gila hormat. Terbukti dalam hal ini ada anggota DPR yang ingin disebut “Yang Terhormat” oleh mitranya. Mental kolonial sudah merasuk dalam jiwa para anggota DPR, terlebih lagi kritikan rakyat kepada lembaga ini semakin kencang ketika ketuanya malah ingin meminta saham kepada korporat asing.

Rakyat bagi anggota DPR hanyalah sebatas pendulang suara untuk mengantarkannya menuju ke kursi yang berada di komplek Senayan. Pers juga dianggap sebagai mitra DPR dalam mencitrakan kebaikannya. Inilah yang dimaksudkan dalam teori otoriter pers, bahwa pers melayani kepentingan penguasa. Mental pers pada Eropa abad pertengahan ini yang seharusnya dijauhi. Lembaga negara harus dikritik supaya pelayanan terhadap rakyat bisa maksimal.

Ditambah lagi tiga poin dalam Rancangan KUHP, yaitu pelarangan penyebaran ajaran Marxisme-Leninisme; kriminalisasi yang berlebihan terhadap pers yang meliput sidang di pengadilan; serta pasal penghinaan terhadap Presiden menjadi ekspresi rakyat semakin dibatasi, dan negara menjadi semakin represi terhadap rakyat. Padahal, pers harus menjunjung asas libertarian. Mengekspresikan kebenaran terhadap rakyat, dan setiap orang harus mempunyai jiwa pers untuk melakukan hal tersebut. Mengutip perkataan Mark Twain, “Hanya ada dua hal yang dapat membuat segala sesuatu terang di bumi ini, yaitu matahari di langit dan pers di dunia”.

 

Muhammad Rizky Suryana