Wakil Rektor I tidak mengetahui perihal pungutan di luar UKT untuk kelas keluar MKU IAD
Mata Kuliah Umum (MKU) merupakan mata kuliah wajib yang diambil oleh seluruh mahasiswa. Di Universitas Negeri Jakarta, MKU terdiri dari sebelas mata kuliah. Mata kuliah tersebut antara lain pendidikan agama yaitu agama islam, kristen, khatolik, hindu, dan budha. Selanjutnya ada mata kuliah pendidikan pancasila, pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, ilmu sosial budaya dasar (ISBD), dan ilmu alamiah dasar (IAD). Total satuan kredit semester (SKS) yang ditempuh mahasiswa dari semua mata kuliah umum tersebut adalah 15 sks.
Di UNJ mata kuliah umum berbeda dengan mata kuliah program studi (Prodi). Pengelolaannya pun tidak ditangani oleh program studi (prodi) atau fakultas. Mata kuliah tersebut dikelola sendiri dibawah Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penjaminan Mutu (LP3M), yaitu UPT MKU. UPT MKU ini terletak di gedung Dewi Sartika lantai 8. Sementara ruang kelas yang dipakai untuk MKU yaitu lantai 7 sampai 10.
Sebelumnya MKU diampu oleh dosen khusus MKU dan dosen dari fakultas dan prodi UNJ. Namun dosen khusus MKU dan dosen luar biasa telah diberhentikan berdasarkan Peraturan Kementerian Pendidikan Tinggi (Permendikti) Nomor 2 tahun 2015. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa di Universitas sudah tidak dikenal dosen luar biasa (Baca: Haluan Mahasiswa edisi 3 April 2016). Sekarang MKU hanya diampu oleh dosen-dosen dari Prodi. Akibatnya MKU kekurangan tenaga pengajar dengan kompetensi mata kuliah yang akan mereka ajar.
Hal tersebut diungkapkan oleh Abdul Rahman selaku mantan ketua MKU, “tidak semua dosen kompeten mengajar MKU yang diampunya.” Contohnya seperti dosen sejarah yang harus mengajar mata kuliah bahasa Indonesia. Dosen-dosen tersebut memang mempunyai dasar dalam keilmuan bahasa Indonesia namun keilmuannya tidak sekompeten dosen dari prodi bahasa Indonesia.
Maka untuk menyiasati kekurangan, dosen-dosen yang tidak ada kompetensi MKU yang mereka ajar diberikan pelatihan. Pelatihan ini dibuat untuk memantapkan dosen yang bukan bidangnya dalam mengajar MKU. Salah satu dari hasil pelatihan tersebut adalah buku. “Buku tersebut juga sebagai pegangan untuk dosen saat mengajar agar materi yang diajarkan lebih terarah,” jelas Abdul Rahman.
Menurut Abdul Rahman mahasiswa juga harus memiliki buku pegangan tersebut agar presepsi dosen dengan mahasiswa tidak berbeda jauh. Walaupun begitu Abdul Rahman menegaskan mahasiswa tidak wajib membeli buku dari MKU. Apabila mahasiswa memiliki buku pegangan yang menurut mahasiswa sesuai dengan materi mata kuliah tersebut, mahasiswa dipersilahkan untuk tidak membeli. “Tidak boleh ada pemaksaan dalam pembelian buku,” tegasnya. “Apabila ada yang seperti itu bisa laporkan ke ketua MKU,” lanjutnya lagi. Namun kenyataannya segelintir dosen MKU masih mewajibkan mahasiswanya untuk membeli buku.
Salah satunya adalah mata kuliah ilmu alamiah dasar (IAD). Dosen mata kuliah tersebut mewajibkan mahasiswanya membeli buku. Buku tersebut selain untuk pembelajaran juga untuk memenuhi tugas mata kuliah. Menurut mahasiswa yang mengikuti mata kuliah tersebut, ada lembaran pada buku tersebut yang nantinya akan dirobek untuk tugas. Maka dari itu mahasiswanya wajib membeli buku, tidak boleh pinjam atau fotokopi.
Setiap mahasiswa berbeda dalam menanggapi kewajiban membeli buku MKU. Ada yang setuju saja seperti Rahayu mahasiswi Prodi Pendidikan Luar Sekolah yang tidak keberatan untuk membeli buku, karena sebagai pemenuhan tugasnya dan pembelajaran. Berbeda dengan Rahayu, Andreas mahasiswa Pendidikan Sejarah menganggap kewajibannya untuk membeli buku tersebut sebagai pemaksaan. Kesepakatan membeli buku tersebut hanya dari dosen dan mahasiswa tidak bisa membantah karena buku tersebut terkait tugas mata kuliah IAD.
Selain buku, mata kuliah IAD juga mengadakan kuliah di luar kelas. Kuliah tersebut yaitu kunjungan ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dengan memungut biaya Rp 100.000,- per mahasiswa. Biaya tersebut merupakan pungutan di luar dari biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Ketika ditanya mengenai hal tersebut, Betty Zelda Siahaan yang merupakan salah satu dosen IAD mengatakan, uang tersebut ditarik dari mahasiwa karena UNJ tidak mengalokasikan dana untuk outing class. Kunjungan ke TMII sendiri sudah berjalan kurang lebih 6 tahun. Mahasiswa yang mengambil mata kuliah tersebut mengaku merasa keberatan dengan biaya yang dianggap terlalu besar. “Kemahalan. Padahal kalo berangkat sendiri bisa lebih murah,” ujar Rahayu.
Kunjungan tersebut juga diakui sudah mendapat izin dari ketua MKU dan diperbolehkan oleh UNJ, “sudah dilegalkan oleh Wakil Rektor I,” ungkap Abdul Rahman. Namun saat ditemui, Wakil Rektor I memberikan jawaban yang berbeda. Mukhlis R. Luddin tidak tahu menahu mengenai kuliah di luar kelas mata kuliah IAD. “Saya baru tahu malah, nanti saya cek lagi,” ucapnya. Mukhlis menerangkan tidak boleh ada penarikan biaya lagi dari mahasiswa. “Maksimalkan dana yang sudah diberikan UNJ, jangan sampai menarik dana dari mahasiswa,” tambahnya.
Ketua MKU yang baru, Sucahyanto memberikan tanggapan yang senada dengan Wakil Rektor I. Walaupun belum aktif sebagai ketua MKU namun menurutnya tidak boleh ada penarikan biaya di luar UKT dan pemaksaan membeli buku MKU. “Lapor ke saya apabila terjadi seperti itu,” tegasnya.
Annisa Fathiha