Judul Buku : Karl Marx Sang Pendidik Revolusioner

Penulis : Robin Small

Penerbit : Resist Book

Cetakan : Pertama, 2014

Jumlah Halaman : 190 Halaman

ISBN : 979-109-791-7                    

Iklan

Melalui tulisan-tulisan Karl Marx, Robin Small memperlihatkan bahwa pendidikan adalah suatu kemewahan bagi anak yang berasal dari keluarga miskin (terutama anak-anak buruh) karena bersifat eksklusif.

Pada Kamis (2/5) Aliansi Gerakan Mahasiswa Bersama Rakyat (GEMARAK) melakukan demonstrasi di depan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) guna memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Terdapat tiga tuntutan utama dalam aksi, yaitu tolak komersialisasi pendidikan, mencabut tiga Undang-undang bermasalah (UU PT No.12 Tahun 2012, UU No.20 Tahun 2003, dan UU Ciptaker), dan terakhir menuntut pendidikan gratis bagi seluruh masyarakat.

Ihwal diajukan tiga tuntutan tersebut berasal dari masifnya mahasiswa yang tidak mampu membayar UKT dengan latar belakang pekerjaan orang tua sebagai buruh. Tren itu meningkat pada kampus-kampus ternama di Indonesia seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). 

Kendati demikian, pemerintah mengklaim telah meningkatkan anggaran pendidikan 20% senilai Rp665,02 triliun dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2024. Namun, meski terdapat peningkatan anggaran untuk pendidikan, bisa dikatakan nominal tersebut tetap tidak dapat menyelesaikan persoalan-persoalan pendidikan yang sudah terjadi sejak lama dan masih berlangsung sampai saat ini. 

Mulai dari tren kenaikan biaya pendidikan di berbagai kampus, mahasiswi yang meninggal karena tidak bisa membayar UKT, skema pembayaran UKT Pinjaman Online (Pinjol) dari pihak kampus, sampai salah sasaran penetapan golongan UKT. Dari persoalan tersebut terlihat bahwa negara telah gagal dalam memberikan pendidikan yang seharusnya menjadi hak bagi seluruh warga negaranya. Seakan pendidikan sedari awal memang hanya diciptakan bagi segelintir kelompok saja. 

Hal serupa diutarakan oleh Robin Small dalam buku Karl Marx Sang Pendidik Revolusioner. Dalam bukunya, Robin menyajikan berbagai persoalan dalam dunia pendidikan dengan merujuk pada argumen-argumen Marx. Menyoal tidak terpenuhinya hak atas pendidikan terhadap para anak kelas buruh yang bekerja. Terlebih, Marx juga menyoroti ketiadaan peran negara karena kurang mengupayakan pemenuhan pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin.

Baca juga: Pendidikan Itu Hak Bukan Barang Dagangan

Nihilnya Peran Negara dalam Dunia Pendidikan

Pada sekitar tahun 1859-an, Marx menulis sebuah argumentasi perihal pembentukan sekolah pabrik atas dasar permasalahan jam kerja dan buruh anak. Saat itu, terdapat Undang-undang Pabrik dengan salah satu pasalnya berbunyi pendidikan dasar adalah syarat yang wajib dilakukan oleh pihak pabrik ketika mempekerjakan anak. Akan tetapi, realitanya tidak semua pabrik mau memberikan kesempatan (waktu) untuk buruh anak bersekolah. Hal ini tentu saja berangkat dari kerugian yang akan didapatkan oleh pihak pabrik ketika ada pengurangan pekerja. Oleh sebab itu, para industrialis menjadi orang pertama yang menentang argumentasi Marx tentang diperbolehkannya buruh anak untuk sekolah.

“Terdapat sistem paro-waktu yang berdasarkan pada prinsip bahwa anak tidak boleh dijadikan buruh kecuali jika selain mempekerjakan anak, anak juga diberikan kesempatan untuk mengikuti sekolah setiap harinya.” (hlm 104)

Iklan

Dalam setiap rapat Dewan Umum The International Workingmen’s Association (IWA), seakan tidak memiliki rasa putus asa Marx terus memperjuangkan dan membela kebijakan pendidikan. Sebab, dia menyadari betul ketika buruh anak tidak mendapatkan kesempatan bersekolah tentu anak tersebut akan mengalami alienasi terhadap dirinya sendiri. 

Maka dari itu, Marx menawarkan solusi bagi pihak pabrik untuk mendirikan sekolah pabrik dengan menggunakan sistem paro waktu. Sistem itu mengkombinasikan antara bekerja dan sekolah dimana setengah hari anak akan bekerja, setengah hari sisanya anak bersekolah. 

Bak kebenaran bahwa setiap usaha yang dilakukan tidak akan mengkhianati hasil. Keinginan Marx akhirnya tercapai pada tahun 1866 dalam kongres IWA dengan disahkannya resolusi mengenai kombinasi antara pekerjaan dan pendidikan bagi buruh anak. 

Sayangnya, ketika hal tersebut sudah tercapai, tantangan lain hadir mencuat ke permukaan terkait siapa pihak yang akan bertanggung jawab atas penyediaan dan pembiayaan pendidikan buruh anak. Mengingat buruknya tata kelola sekolah pabrik di Inggris.

Marx juga berpendapat ketiadaan peran negara dalam mengakomodasi persekolahan lah yang menjadi masalah utamanya. Sebab, negara berada pada posisi vital dalam keberlangsungan pendidikan bagi seluruh warga negaranya.

“Yang menjadi bidang persoalan buatnya ialah peran negara dalam pendidikan. Sadar akan budaya indoktrinasi politik, Marx ingin negara mendanai dan mendukung pendidikan, namun tanpa harus menjadi ‘satu-satunya pendidik rakyat’.” (hlm 113).

Ketiadaan peran negara dalam menyokong pendidikan bagi anak terlihat dari kesulitan buruh anak untuk mengakses pendidikan. Seakan-akan negara melepaskan tanggung jawabnya kemudian menyerahkan segala urusan kepada pihak pabrik saja. Mulai dari ketidakbolehan untuk sekolah, tingginya biaya pendidikan, keterbatasan kemampuan guru-guru di sekolah pabrik, sarana dan prasarana yang kurang memadai, dan lainnya. Dari persoalan-persoalan tersebut, bagi Marx negara memang berusaha lepas tangan dari kewajibannya terhadap pemenuhan pendidikan sebab pendidikan tidak dapat memberikan banyak keuntungan seperti dunia industrial. Tanpa ada kerisauan terkait bagaimana kehidupan anak-anak tersebut di masa depan nantinya.

“Yang menjadi kepeduliannya (Marx) ialah anak-anak kelas buruh di perkotaan. Dia mengandaikan bahwa anak-anak itu tak akan bisa kuliah di universitas atau memasuki dunia kerja profesional, namun hanya akan menjadi buruh upahan di bengkel-bengkel kerja, kantor dan pabrik.” (hlm 146)

Rasanya kata pepatah “semua hal bisa dibeli oleh uang” berlaku pula pada dunia pendidikan. Padahal, pendidikan semestinya tidak menjadi barang mewah bagi siapapun. 

Berbagai persoalan pendidikan sejak zaman Marx sampai sekarang nyatanya masih tetap sama karena tidak mengalami perubahan terutama soal akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin. Hari ini, pendidikan yang seharusnya menjadi hak bagi semua orang dinihilkan begitu saja oleh negara karena keuntungan menjadi orientasi utamanya. 

Alhasil, angan-angan anak keluarga miskin dapat melakukan mobilitas vertikal dengan menjadikan pendidikan sebagai jembatan sudah runtuh karena ruang untuk mengakses pendidikan sedari awal terkunci dan hanya dapat dibuka oleh anak-anak keluarga kaya saja. Dengan demikian, hanya ada satu kesimpulan bahwa memang tak ada sekolah bagi anak miskin.

Meskipun Robin Small menganalisis pendidikan di zaman Marx. Namun, bukunya dapat dijadikan suatu  acuan untuk menganalisis kondisi pendidikan hari ini yang hanya berkutat pada profit. Sayangnya, karena ada beberapa kesalahan dalam penulisan akhirnya membuat banyak sekali poin-poin dijelaskan secara berulang.

 

Penulis: Devita Sari

Editor: Annisa Inayatullah