Soekarno merupakan pemimpin yang berani. Melaui pemikirannya yang revolusioner, ia menciptakan banyak perubahan.
Pada zaman kolonial Belanda, hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengenyam pendidikan. Salah satunya adalah soekarno yang lahir dari kalangan priyayi. Walau masih muda, Soekarno sudah kritis memikirkan bangsa Indonesia. Soekarno belajar tentang situasi Indonesia kala itu dari ayahnya yang berprofesi sebagai guru.
Soekarno merintis karier politiknya dimulai ketika ia menjadi mahasiswa di Technische Hoge School (sekarang Institut Teknologi Bandung) jurusan arsitektur. Sebagai mahasiswa dan pemuda, ia kerap menyalurkan aspirasinya melalui tulisan yang dikirim pada surat kabar Sarekat Islam dan Oetosan Hindia dengan nama samaran “Bima”.
Suatu hari tanpa sengaja Soekarno berbincang dengan seorang petani yang bernama Marhaen. Marhaen menceritakan para petani mengerjakan sawah warisan orang tua mereka dengan hasil yang pas-pasan, hanya cukup memberi makan keluarga sendiri, tak ada hasil lebih yang bisa dijual. Berangkat dari kisah tersebut, Soekarno merumuskan ideologinya yaitu menghapuskan penindasan terhadap manusia atau bangsa dari bangsa lain. Memperjuangkan rakyat kecil dengan melawan kolonial Belanda. Pemikiran tersebut kemudian disebut dengan idelogi “Marhaenisme”. Marhaenisme tersebut bahkan di sahkan di kongres Partindo pada tahun 1933, sebagai dasar-dasar politik.
Melalui pidato-pidatonya, beliau menyampaikan pesan persatuan dan kesatuan untuk tercapainya cita-cita bangsa Indonesia. Soekarno mengharapkan bersatunya seluruh rakyat Indonesia, dan bersama menentang kolonial Belanda yang telah lama menindas. Pemikiran Soekarno muda ini cukup dahsyat berdampak pada kekacauan pemerintahan kolonial Belanda karena banyak yang tergerak kemudian. Atas aksi Soekarno yang membahayakan pemerintahan Belanda ini, Soekarno beberapa kali diasingkan. Namun semangatnya tidak gentar dan tetap melawan kolonial Belanda melalui tulisan-tulisannya.
Pemikiran-Pemikiran Soekarno Muda
Soekarno muda tumbuh di rumah HOS Tjokrominoto. Di sana ia mendapat pengaruh pemikiran politik Islam. Menurutnya pergerakan Islamlah yang membuka jalan politik kemerdekaan tanah air dan menanamkan bibit-bibit persatuan dengan menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovinsian. Seperti misalnya Sarekat Islam yang berdiri sebelum Boedi Oetomo merupakan pergerakan politik kemerdekaan yang berbasis islam.
Selain islam, Marxisme juga mempengaruhi pemikirannya. Paham ini banyak berkembang di Semarang. Soekarno juga berinteraksi dengan penganut paham ini yaitu Muso, Alimin, dan Semaun. Paham ini disebut juga paham komunis. Meski paham komunis berbeda dengan Islam, Soekarno muda sudah tertarik dengan keduanya.
Sedangkan pemikiran nasionalis Soekarno semakin berkembang ketika berada di Bandung. Di sana ia bertemu dengan tokoh Nasionalis, seperti E.F.E Douwes Dekker, Dr. Tjiptomangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara. Nasionalisme menekankan pentingnya batas-batas dan kepentingan nasional. Menurutnya seorang nasionalis adalah orang yang besedia berbakti dan memperbaiki nasib kaum kecil dari segala kemelaratan serta melindungi rakyat dari kesengsaraan. Pada dasarnya nasionalisme menurut Soekarno adalah prinsip kemanusiaan, penuh rasa cinta tanah air dan mengutamakan persatuan.
Menurutnya ketiga pemikiran tersebut adalah salah satu jalan melawan kolonialisme dan impelialisme untuk mewujudkan kemerdekaan. Namun yang terpenting adalah kebersamaan. Kemerdekaan Indonesia tidak diraih dari sekedar pemikiran-pemikiran cemerlang. Pemikiran hanya sebuah teori belaka tanpa adanya persatuan untuk menjalankannya. Tapi melalui pemikiran Soekarno dan pejuang kemerdekaan lainnya ini berhasil menjadi penggerak. Rasa persatuanlah yang membuat kemerdekaan itu tercipta.
Soekarno dan Mahasiswa Modern
Soekarno muda dengan pemikiran-pemikiran politiknya telah gencar bergerak sebagai aktivis. Dapat dilihat dalam tulisan-tulisannya yang menyindir kolonialisme dan menentang kapitalisme. Soekarno muda adalah salah satu pejuang, namun perjuangan yang Soekarno muda lakukan bukan menggunakan senjata seperti pistol atau bambu runcing. Melainkan dengan tulisan-tulisan dan pidato beliau yang banyak mempengaruhi pemuda saat itu.
Mahasiswa saat ini memang berbeda dengan mahasiswa pada zaman Soekarno muda. Saat Soekarno muda penjajahan yang dilakukan oleh Kolonial Belanda adalah penjajahan secara fisik, berbeda dengan zaman sekarang penjajahan yang dialami oleh bangsa Indonesia adalah penjajahan secara mental yang sesungguhan lebih sulit di perangi.
Mahasiswa sebagai penggerak perubahan sekarang tinggal simbol semata. Seperti sebuah simbol tanpa arti, mahasiswa belum melakukan perubahan yang diharapkan oleh banyak rakyat Indonesia. Mahasiswa yang harusnya menyuarakan suara rakyat saat ini lebih tenggelam pada ego mereka. Tidak seperti Soekarno muda yang mengutamakan kepentingan kelompok diatas kepentinganya sendiri. Totalitas perjuangan mahasiswa hanya nyanyian semata yang digaungkan pada saat Masa Pengenalan Akademik (MPA). Sulit memang menjunjung persatuan pada zaman dominan ego individual.
Annisa Fathiha
Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015