Menenggak segelas vodka,

sambi lalu membidak para serdadu

tetap tegar di garis perang.

Dari balik beku jendela istana Petrograd,

autokrat berdekrit di atas kursi usang.

 

Iklan

Mentari membawa kabar pada sesiapa

yang masih mau menyapa:

anak dan istri sepeninggalan, 

menyandang gelar yatim dan janda.

Musim gugur ini,

setia tak lagi tunggu,

tunggu tak lagi temu,

seperti tahun yang sudah-sudah.

Disekanya lalu dedaunan poplar dari halaman rumah.

 

Iklan

Menyusuri jalan

penuh rintih, kirmizi, dan caci maki.

Buruh sepuluh jam kerja,

bermeja-makan tanpa roti; 

Petani-petani peluh,

kelaparan di atas ladangnya sendiri.

 

Di istana,

autokrat saling sikut 

jadi hamba paling takwa

atas Tuhan bernama kuasa.

Di luar Petrograd,

guguran peluru tak kenal kasihan.

Kucuran dana pindah haluan,

sedang buruh tani sudah menganga.

 

Karat menjalari logam-logam

laksana senja menelan benderang.

Kaki para serdadu berongkang-ongkang,

wajahnya tertunduk masam,

hilang gairah perang.

 

Petrograd terkulai lumpuh.

Mesin-mesin pabrik tak lagi mengepul, 

mata-mata bajak tidur pulas,

buruh tani mengosongi pabrik dan ladang.

Petrograd adalah kolam keruh,

dan orang memancing di sana.

 

Buruh tani satu panji, tumpah ruah.

Jalan Petrograd tak ubah pembuluh

yang mengangkut laskar ke jantung kota.

Kursi autokrat roboh, lantas lari terhuyung.

Penjaga tanpa cukup upah

pasrah dengan rokok di jarinya.

 

Bulan jadi saksi,

tahniah buruh tani.

Petrograd dan insureksi:

sekarang atau tak sama sekali.

 

Sukmajaya, 2024

Penulis: Fadil B. Ardian