Dalam rangka memperingati Hari Peringatan Transgender, Arus Pelangi bersama Sanggar Swara dan Transmen Indonesia mengadakan acara nonton bersama film dokumenter karya Anggun Pradesha yang berjudul Emak dari Jambi. Acara ini diadakan pada Senin kemarin (23/11) melalui platform Zoom dan dimulai pada pukul 18:30. Dalam acara ini, dihadirkan pula Anggun Pradesha yang merupakan tokoh utama dalam film dokumenter tersebut.
Film ini menampilkan cerita Anggun, seorang transpuan di Jakarta yang dipertemukan oleh ibunya, Kurtini dari Jambi. Kurtini yang sangat merindukan anaknya itu berangkat dari Jambi menuju Jakarta untuk menemui Anggun. Walaupun senang dapat bertemu dengan anaknya, Kurtini sedikit terkejut dengan kondisi Anggun di Jakarta. Hal ini karena ia khawatir dengan nasib Anggun, lantaran transpuan di daerahnya sering dipersekusi. “Hati Ibu setengah senang, setengah sedih,” kata Kurtini.
Selama berada di Jakarta, Kurtini diajak oleh Anggun berkeliling kota. Anggun menceritakan aktivitasnya selama di Jakarta, mulai dari pekerjaannya sebagai sekretaris, berbelanja, hingga mengikuti car free day di Bundaran HI. Anggun juga menunjukkan kepada Kurtini bagaimana ia mempercantik tubuhnya dengan menjalani injeksi atau suntikan silikon.
Kurtini sempat menemui teman kecilnya, Wati, untuk mengobrol bercerita mengenai kondisi anaknya yang menjadi transgender. Saat bercerita, Kurtini menyampaikan kesedihannya lantaran sang suami menolak keadaan anaknya menjadi transpuan. Di sisi lain, Kurtini juga tidak bisa menghentikan langkah Anggun untuk menjadi perempuan. Sebagai teman, Wati memberi Kurtini dukungan untuk menerima kondisi anaknya.
“Walaupun dia mau waria, dia juga ndak kepengen kayak gitu. Ibarat udah naluri dia udah ada, mau bagaimana lagi? Kita udah terima aja, sekarang kita ikhlasin. Mudah-mudahan Allah kasih jalan yang terbaik buat masa depan dia.” ucap Wati. Kurtini memeluk Wati dan berterimakasih atas dukungan yang diberikannya.
Selain menampilkan kisah Anggun, film Emak dari Jambi juga menyelipkan cerita para transpuan teman-teman Anggun yang bekerja dari malam hingga Subuh sebagai pekerja seks di Taman Lawang. Vina, Claudia, dan beberapa orang lainnya menceritakan bagaimana mereka sering mendapatkan kekerasan dari FPI dan Satuan Polisi Pamong Praja. Kadangkala mereka juga harus berhadapan dengan pengguna jasa seks yang tidak mau membayar jasa mereka. Bagi mereka, menjadi pekerja seks adalah cara mereka untuk bertahan hidup memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari dan membayar tagihan kos.
Film yang berdurasi sekitar 37 menit ini sukses memukau para peserta acara. Dalam kolom komentar, para peserta menyampaikan kekaguman mereka dengan film serta rasa haru terhadap kisah Anggun dan kawan-kawan. Bahkan, film ini juga membuat beberapa peserta menangis. Kurtini, ibu dari Anggun, juga dinilai sebagai sosok ibu yang “gokil”.
Salah satu peserta, Patricia dari Amnesty International mengapresiasi film karya Anggun Pradesha ini. Menurutnya, film Emak dari Jambi memotivasi teman-teman yang membutuhkan dukungan besar dan memberi pelajaran tentang bagaimana kawan-kawan trans mendekatkan diri satu sama lain. “Sejujurnya aku kayak nangis sih tadi lihat filmnya, itu keren banget, di mana seorang ibu, orang tua, bisa menerima anaknya seperti itu. Padahal bahkan orang lain menganggap hal itu sebagai penyakit. Padahal mereka sama aja sama kita.” ujar Patricia.
Peserta nobar lain, Nilam Cahya Sukma, juga menyampaikan apresiasinya terhadap film Emak dari Jambi. Menurutnya, film ini membuka pandangan para penonton terhadap sosok transpuan. Ia juga bercerita tentang kawannya, seorang transpuan, yang selalu berdoa sebelum bekerja. Menurutnya, para transpuan tidak semestinya dihakimi. “Kita tidak bisa menghakimi orang berdosa atau tidak berdosa, yang pasti dengan film ini bisa membuka mata banget. Keren banget!” kata Nilam.
Sutradara film, Anggun Pradesha, mengajak para peserta untuk.menjadikan film sebagai refleksi betapa dinamisnya kehidupan yang tidak melulu sesuai dengan kemauan diri. Setiap orang dihadapkan dengan banyak kemungkinan, salah satunya kemungkinan memiliki anak seseorang transgender. “Ada kemungkinan teman-teman mendapatkan anak seperti emak. Lalu bagaimana menyikapinya, ini harus di-highlight” kata Anggun.
Anggun menyampaikan bahwa hidupnya sempat terombang-ambing karena kekhawatiran ditolak orang tua. Ia memutuskan untuk langsung kabur tanpa pertimbangan maksimal. Namun kemudian, ia menyesali keputusan itu karena menurutnya masalah seperti ini seharusnya dibicarakan dengan orang tua.
“Ketika berdrama dengan orang tua, buang-buang waktu juga. Kenapa gak dikurangin dramanya, dipersingkat, diterima saja anaknya apapun identitasnya. Pendidikannya oke, pekerjaannya juga oke, hidupnya jadi lebih bermakna.” ujar Anggun.
Dalam acara ini, Anggun mengajak kawan-kawan sesama queer untuk membangun dialog dengan orang tua mengenai identitas mereka. Menurutnya, penolakan terhadap identitas LGBT sebenarnya dilandasi oleh asumsi kekhawatiran para orang tua terhadap nasib anaknya akan ditolak masyarakat.
Selain itu, Anggun juga menanggapi cerita Nilam memiliki kawan transpuan yang selalu berdoa sebelum bekerja. Bagi Anggun, hal itu menandakan bahwa transpuan masih bisa menjadi religius. Ia mengajak kawan-kawan sesama transgender untuk berdamai dengan keyakinan masing-masing karena masalah keyakinan bisa memiliki banyak perspektif. Dalam pandangan Anggun, masalah agama tidak perlu diperdebatkan. Menurutnya, agama seharusnya sudah menjadi urusan masing-masing individu. “Agama itu harusnya udah jadi ranah personal,” tambah Anggun.
Reporter: Danu Martha Yohana
Editor: Faisal Bahri