Eropa Barat tampaknya berhasil membangun kekuatan ekonomi melalui komunitas regional bernama Uni Eropa. Keberhasilan ini ingin ditiru rekan-rekannya di Asia Tenggara. Setidaknya sejak periode 2000-an, negara-negara di kawasan tersebut mulai mewacanakan pembangunan kekuatan ekonomi melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Konsekuensi yang dipenuhi yaitu masing-masing negara harus bersikap lebih terbuka menanggapi lalu lintas modal, komoditas dan tenaga kerja.

Pembentukan MEA ditargetkan selesai pada 2020. Hal ini membuat sejumlah negara mulai menerapkan berbagai kebijakan terkait MEA seperti pengaturan pasar yang kompetitif, perlindungan konsumen, penarikan pajak atas hak kekayaan intelektual, E-commerce dan masih banyak lagi. Indonesia mulai menerapkannya pada 2016 di bawah pemerintahan Joko Widodo.

Namun, timbul kekhawatiran di tengah masyarakat mengenai dampak buruk pembentukan MEA. Pasalnya, banyak masyarakat Indonesia yang belum dibekali persiapan menghadapi persaingan bebas tersebut. Sekitar 47% angkatan kerja Indonesia saja masih lulusan SD ke bawah.

Hal ini mendorong aliansi Temu Kebangsaan Orang Muda untuk menyelenggarakan diskusi bertema “Menjawab Tantangan MEA” yang diadakan kemarin (3/5) di Griya Gus Dur, Jakarta. Diskusi tersebut mencoba mengupas persoalan MEA dari aspek pendidikan. Sehingga dua pembicara yang diundang merupakan orang yang  konsen memperhatikan pendidikan di Indonesia. Mereka adalah Direktur Lembaga Konsultasi Pendidikan Doni Koesoema dan dosen Universitas Negeri Jakarta Jimmy Ph Paat.

Menurut Doni, sistem pendidikan Indonesia cenderung menghasilkan lulusan yang tidak berkarakter. “Mereka hanya beradaptasi dengan lingkungannya,” ujarnya. Ketika berada lingkungan yang korup, maka perilaku kaum terdidik tersebut ikutan korup. Kondisi itu disebabkan sistem pendidikan yang tidak membiasakan peserta didik berpikir kritis. Doni menyarankan sejak SMP peserta didik seharusnya sudah belajar logika.

Selain itu, kebebasan guru untuk mengeksplorasi kemampuannya dibatasi campur tangan pemerintah pusat yang terlalu besar. Padahal, Doni yakin bahwa kunci keberhasilan pendidikan nasional ada pada guru. Idealnya, guru punya otoritas lebih mengenai kurikulum, materi ajar, metode, sistem penilaian dan lain sebagainya. Namun, pada kenyataannya tidak.

Iklan

Misalnya, dalam kurikulum 2013. Guru diharuskan menilai kompetensi sosial murid yang dibedakan dengan keterampilan. Padahal keduanya saling berkaitan. Hasil kerja seseorang bisa sangat berdampak pada hubungan sosialnya. Tapi, demi alasan mempermudah penilaian, pemerintah kemudian melakukan pemisahan.

Doni menilai pemerintah tidak mengintervensi proses pengajaran. Sebab, hal itu berarti menihilkan karakter lokal yang dimiliki masing-masing sekolah. Dan tentu juga menihilkan kemampuan guru memetakan kondisi sosial murid-muridnya. Meski begitu, pemerintah tetap bertanggung jawab membiayai pendidikan karena itu merupakan syarat pemberdayaan masyarakat di tengah persaingan global.

Terkait membangkitkan nalar kritis, Jimmy berkomentar bahwa hal itu bisa tercipta jika posisi guru dan murid setara. Jika tidak, guru bisa seenaknya menentukan suatu kebenaran. “Ada kekuasaan guru di sana,” ucap Jimmy, ketika menggambarkan bagaimana guru membungkam murid yang berpikir kritis lewat nilai.

Jimmy mengatakan tanpa nalar kritis, anak hanya akan memperoleh sesuatu, tetapi tidak belajar sesuatu. Nilai penting proses pendidikan bagi Jimmy yaitu, belajar untuk “mengada”. Maksudnya, pengetahuan murid bukan sekadar hafalan. “Ilmu pengetahuan cepat menjadi basi,” ungkapnya. Untuk itu, membandingkan pengetahuan dan realitas melalui pertanyaan-pertanyaan kritis merupakan proses penting.

Akhirnya, pendidikan bisa menjadi kacamata untuk melihat ketimpangan sosial. Tidak sampai pada proses melihat, namun pendidikan juga menjadi sarana alat melakukan transformasi masyarakat. Mengutip Ki Hajar Dewantara, yang harus ditekankan dalam pendidikan menurut Jimmy yaitu belajar merdeka. “Yang dimaksud merdeka adalah tidak diperintah, bisa mengatur diri sendiri dan berdiri di atas kaki sendiri,” tegasnya. (DFH, foto MF)