Rabu (6/3), terjadi penangkapan atas Robertus Robet, Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) di rumahnya pada pukul 23.45 WIB. Ia dibawa ke Mabes Polri atas tuduhan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Robet ditahan lantaran dianggap melakukan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian atas instansi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam orasinya di Aksi Damai Kamisan bertajuk “Menolak Dwifungsi TNI”, Kamis (28/2).
Penangkapan Robertus Robet menuai kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil. Dalam rilis yang dikeluarkan (7/3), Koalisi Masyarakat Sipil menilai bahwa Robet tidak berniat untuk menghina TNI. Justru, Robet menginginkan TNI yang profesional. Guna menjaga profesionalitas TNI, Robet berpendapat agar tidak menempatkan TNI pada jabatan-jabatan sipil.
Mengomentari penangkapan tersebut, Bhatara Ibnu Reza mengatakan, kejadian ini merupakan bagian dari ancaman kebebasan berpendapat. Menurutnya, yang disampaikan Robet adalah hal yang positif. “Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Jendral Sisriyadi juga mengiyakan bahwa yang dikatakan Robet menjadi kritik berharga bagi institusi TNI,” kata Bhatara dalam konferensi pers yang digelar oleh Koalisi Masyarakat Sipil, Kamis (7/3).
Berdasarkan penuturan Kapuspen TNI tersebut, Bhatara menganggap bahwa kritik positif tidak bisa dipidanakan. Ia juga mengharapkan para petinggi yang berada dalam institusi TNI untuk memberikan kontrol terhadap gejolak yang terjadi saat ini.
Senada dengan Bhatara, Saidiman, menganggap bahwa orasi yang disampaikan oleh Robet sama sekali bukan bentuk penghinaan ataupun pelecehan terhadap TNI. Hal itu adalah pengingat, bahwa di masa lalu lagu itu muncul sebagai sikap antipati publik kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) karena adanya dwifungsi ABRI.
“Dulu ABRI dimanfaatkan oleh kepentingan politik sehingga ada kebencian dari publik. itu menjadi semacam imbas dari intervensi politik terhadap ABRI,” jelas Saidiman, yang juga salah satu anggota dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).
Tidak berhenti sampai disitu, ia juga memaparkan data survei dari SMRC. Ia menjelaskan bahwa saat ini TNI menjadi institusi yang paling dicintai masyarakat. Karena, pasca reformasi, TNI menjadi lebih profesional beriringan dengan dihapusnya dwifungsi ABRI.
Selain Bhatara dan Saidiman, Lola dari Koalisi Masyarakat Sipil juga mengungkapkan keberatan terhadap penangkapan Robertus Robet. Menurutnya, hal yang disampaikan Robet adalah bentuk kecintaannya terhadap TNI. Tetapi, ia tetap menghargai proses hukum yang sedang dijalani oleh pihak kepolisian.
Selain itu, mengomentari tentang “Dwifungsi TNI”, Lola mengatakan, “Jangan sampai reformasi yang telah berjalan belasan tahun, malah bergerak mundur dengan diaktifkan kembali dwifungsi TNI.”
Respon tidak hanya datang dari Koalisi Masyarakat Sipil. Rakhmat Hidayat, anggota Aliansi Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) untuk Demokrasi mengatakan, kasus yang menimpa Robet menjadi keprihatinan bagi kalangan akademisi maupun aktivis yang hendak menyatakan pendapat.
Ia mengatakan, “hal ini juga menjadi preseden buruk bagi perjuangan demokrasi di Indonesia. Yang dialami Robet sangat mungkin dialami oleh yang lain.” Selain itu, Aliansi Dosen UNJ untuk Demokrasi juga menuntut untuk menghentikan kasus yang menimpa Robertus Robet
Dijerat UU ITE
Dalam konferensi pers yang digelar oleh Koalisi Masyarakat Sipil, Yati Andriyani, Tim Kuasa Hukum Robertus Robet mengatakan, alasan penangkapan Robet adalah Pasal 45 ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang ITE dan atau/ Pasal 14 ayat (2) juncto Pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP.
Mengkritik perihal UU ITE, Yati Andriyani menganggap perlu adanya review/peninjauan ulang dari pembuat undang undang. Karena, UU tersebut telah menelan banyak korban. “Sebelumnya ada kasus Baiq Nuril yang dipidana dengan UU ITE, padahal dia adalah korban,” ucap Yati, Kamis (7/3). Ia pun menyarankan agar UU ITE ini tidak digunakan sebelum adanya peninjauan ulang.
Berdasarkan datar yang dirangkum oleh lokadata Beritagar.id terdapat 245 kasus pelanggaran UU ITE pada kurun 2008-2018. Jenis pelanggaran paling banyak pada kasus pencemaran nama baik (174 kasus), lalu menyebarkan kebencian (41 kasus), dan berikutnya pencemaran nama baik serta menyebarkan kebencian (12 kasus).
Tidak hanya Yati, Rakhmat Hidayat juga menganggap perlu adanya peninjauan ulang. Karena menurutnya, UU ini bisa menjerat siapapun yang dianggap memiliki pemikiran kritis. “Salah satu fokus kami (Aliansi Dosen UNJ untuk Demokrasi) bersama Koalisi Masyarakat Sipil adalah meninjau ulang keberadaan UU ITE,” ucap dosen Sosiologi UNJ ini.
Berdasarkan keterangan Tim Kuasa Hukum Robertus Robet pada Sabtu (9/3), status Robet masih tersangka, tetapi tidak ditahan dan tidak wajib lapor. Robet tidak ditahan karena dalam Pasal 207 hukuman maksimal hanya 1 tahun 6 bulan. Penahanan dilakukan hanya kepada yang melanggar aturan dengan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih.
Penulis/Reporter: Ahmad Qori H.
Editor: Uly Mega S.