“Sebuah esai dagel,
tanpa bermaksud meledek atau berontak pada suatu pihak.
Untuk para pengagum kontol di seluruh dunia,
khususnya di negeriku tersayang.” – Seniwen
“Kontol,” kata salah seorang figur publik yang berinisial Danilla Riyadi. Sekonyong-konyong orang banyak yang memujinya lantaran sikap polos yang terlihat dari kerut wajahnya seolah menggambarkan kejujuran tanpa ada yang mesti ditutupi. Nasib berbeda menimpa figur publik lainnya yang bilang “kontol,” sebut saja dengan inisial Awkarin atau Karin Novilda. Orang kebanyakan malah mencaci dan menyumpah habisnya. Sebetulnya, sudah lumrah hal semacam ini terjadi di negeri kita tersayang.
Coba saja perhatikan bagi orang-orang yang larut percaya pada partai dukungannya dan kian menyampingkan nilai-nilai Pancasila. Kasatmatanya di setiap kata yang keluar dari mulut tokoh jagoannya, selalu dibela mati-matian mesti nggak benar-benar amat. Di lain pihak, para pendukung lawannya mencaci habis perkataan si mulut tokoh itu. Tapi, bila kata-kata itu terdengar dari mulut si jagoan yang diilhaminya, sekonyong-konyong langsung menjadi sebuah pembenaran. Entah gejala apa yang terjadi, ketika kebenaran sering berada di bawah dasar ego manusia. Sejujurnya, bukan gejala itu yang ingin aku bahas di dalam tulisan dagel ini.
Hidup di dalam sebuah negeri yang majemuk ini semestinya mampu mengantarkan bangsanya maju setidaknya dalam segi berbahasa. Tanpa sadar, semestinya kita mau mengakui bahwa bahasa sejarahnya ialah njepret dari masyarakat secara alami dan bukan dari para ilmuan-ilmuan bahasa. Bagiku, bahasa yang diakui ialah bahasa yang tidak mesti tercantum dalam kamus bahasa tapi berlaku di dalam masyarakat.
Adalah keliru ketika sebagai masyarakat yang taat aturan Pak RT kita memakai kosa kata baku dalam bermasyarakat yang notabene masyarakatnya tidak memakai kamus bahasa dalam keseharian. Justru ketika sebagian orang menjadikan kamus bahasa sebagai pedoman berbahasa sehari-hari, kata “kontol” yang ada di dalam kamus resmi tidak dipakai dalam keseharian dan malah dianggap tabu. Kebanyakan lebih suka menggunakan kata ganti seperti; penis, kemaluan, titit bahkan lancau (Bahasa Cina). Aku yang berkontol lantas mempertanyakan, dimana kesalahan dari kata “kontol” itu sendiri?
Gejala yang terjadi justru lema “kontol” maknanya semakin miring menjadi kata cacian dan perumpamaan, bukan sebagai fitrahnya yang dianugerahi Tuhan sebagai alat kebanggaan kaum laki-laki. Laki-laki akan bangga ketika ber-“kontol” dan senang terlebih bila “kontol” yang dia punya dipuji-puji oleh lawan mainnya (memek, bukan kontol). Mungkin, ketika kata “kontol” larut digantikan dengan kata kemaluan, itu yang menjadi penyebab ketidakpercayaan-diri kita sebagai bangsa yang besar. Sebab, kasatmata dalam setiap video bokep yang diproduksi dalam negeri, sudut pandang kamera seringnya dari si pemain laki-laki dan bukan oleh orang ketiga. Barang tentu agar tidak ketahuan telak tampang si pemain laki-laki lantaran “kontol”-nya larut disebut-sebut sebagai sebuah kemaluan dan bukan sebagai sebuah kebanggaan.
Sebetulnya, kecurigaan timbul dalam daya kreatifku. Sebab jangan-jangan pakaian pertama laki-laki di dunia adalah bukan dalam bentuk celana/kolor untuk menutupi “kontol”-nya. Sebab mungkin saja pakaian pertama laki-laki di dunia adalah sebuah kain yang digunakan untuk menutupi badannya dalam rangka melindungi diri dari cuaca, bukan kontolnya.
Gambar-gambar yang marak beredar di setiap buku-buku anak, khususnya penggambaran manusia purba yang bagian “kontol”-nya ditutupi kain itu mungkin dilakukan demi mendoktrinasi tabunya “kontol” sejak usia dini. Terlihat sekali bahwa galibnya pendidikan masih dilakukan melalui tahapan yang mulanya bersifat teknis dan bukan idealis. Jujur saja, masih teringat di kepalaku ketika seorang anak kecil ditampar mulutnya oleh tantenya sendiri ketika mengucapkan kata “ini kontol,” sambil menunjuk kontolnya. Lantas gamparan tangan tantenya melayang tepat dimulutnya “… masih kecil. Dosa! Ngga boleh ngomong begitu,” kurang lebih begitu kata tantenya.
Begitu mudahnya kata “kontol” dikatakan sebagai dosa bagi para pengucapnya dan predikat pendosa itu bukan ditujukan untuk orang yang menuduh tabunya kata “kontol” seenak hujung duburnya. Bukankah anak kecil itu dibuat dengan menggunakan kontol? Ah nelangsa. Bagaimana cara berterima kasih pada kontol-kontol di dunia atas bantuan hidup yang telah diberikan kalau berbicara “kontol” pun masih dianggap tabu? Bukannya kata ganti seperti; penis, kemaluan, titit bahkan lancau maknanya akan sama saja dengan “kontol” bila diucapkan di dalam masyarakat?
Dalam peta kebudayaannya, negeri ini sejak masa kerajaan sudah mengagungkan “kontol” beserta lawan mainnya dalam patung-patung atau ukiran yang bermakna umum lambang kesuburan. Bahkan konon, Monumen Nasional pun terinspirasi dari bentuk lingga-yoni rancangan Bung Karno berdasarkan usulan Menteri Koordinator Pendidikan dan Kebudayaan pada masanya. Dari situ, jelas bahwa sebetulnya negeri yang terlanjur menganggap tabu entri “kontol” ini pada hakekatnya adalah pengagum “kontol” sebagai benda yang memiliki nilai estetik dan bukan semata-mata persoalan etik.
Lagi, apa yang salah dengan “kontol” itu? Bukankah itu hanya segumpal daging tambahan yang menempel tepat di bawah perut laki-laki dan tidak bisa dilepas? Bukankah barang itu bukan sebuah benalu? Siapa laki-laki yang tidak ingin memilikinya? Bukankah bentuknya yang lucu memiliki nilai artistik tersendiri? Benda itu bisa menjadi imut ketika tertidur dan beringas ketika terbangun.
Banyak manusia yang menyembah kondom atau sarkon (sarung kontol) atas jasa-jasanya dalam mengendalikan populasi manusia di dunia, katanya. Tanpa melihat bahwa sebetulnya “kontol” itu sendirilah yang mengendalikan populasi manusia di dunia. Tinggal bagaimana cara manusia mengendalikan kontol-kontolnya itu. Sebab nyatanya, kesalahan dilakukan karena penyalahgunaan “kontol” dan bukan karena “kontol” itu sendiri.
Bagiku tidak ada yang salah pada “kontol”, kesalahan ada di setiap pikiran-pikiran keliru yang rajin menutupi kebaikan dari “kontol”, tanpa melihat sisi baiknya demi menutupi gengsinya. Kaku dalam berbahasa boleh, tapi jangan butakan akal sehat. Lantas, masih tabu kah kata “kontol” dari keseharianmu?
Rahayu.
Penulis: Panji Gozali (mahasiswa Pendidikan Sejarah)*
*Opini ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Redaksi Didaktika