Judul: Nietzsche
Penulis: St. Sunardi
Penerbit: LKiS
Tahun Terbit: 2001
Jumlah Halaman: 182 halaman
ISBN: 9789793381952
Di era gempuran modernitas, watak masyarakat Indonesia menjadi semakin unik. Tuntutan zaman, serta dunia yang semakin pragmatis menyebabkan watak-watak hipokrit bermunculan. Pergeseran kepentingan serta implementasi ketuhanan yang diselewengkan nyatanya banyak terjadi.
Sebagai permisalan, pada akhir bulan Juni lalu, masyarakat dihebohkan dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2024 yang memberikan izin kelola tambang kepada ormas keagamaan. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia pun telah mendaftar, kemudian menerima Izin Usaha Pertambangan (IUP) tersebut. Tidak berselang lama setelah NU, Muhammadiyah mengikuti jejak yang sama pada akhir Juli lalu.
Tindakan kedua ormas keagamaan tersebut banyak mendapat kecaman dari berbagai pihak. Terutama dari aktivis lingkungan dan masyarakat sipil, mereka mengecam tindakan NU dan Muhammadiyah yang membiarkan bahkan mendukung kerusakan alam lewat eksploitasi tambang. Padahal dalam agama islam sendiri, terdapat jelas larangan untuk merusak alam yang banyak tercantum di dalam Al Quran maupun hadits salah satunya pada surat Al-A’raf ayat 56.
Artinya: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al A’raf: 56).
Menanggapi kecaman dari berbagai pihak, NU berkelit dengan menyebut pengolahan tambang merupakan hal yang halal dan keuntungannya dapat mensejahterakan organisasi. Tidak jauh berbeda dengan NU, Muhammadiyah juga berdalih pengelolaan tambang yang akan mereka jalankan ramah lingkungan.
Pada akhirnya eksploitasi tambang hanya menguntungkan pihak tertentu dan akan lebih banyak rakyat menanggung kerugiannya. Banyak masalah yang terjadi akibat pengelolaan tambang, dimulai dari tergusurnya masyarakat adat, deforestasi hingga hilangnya habitat makhluk hidup yang lain
Tindakan kontradiktif yang dilakukan dua ormas keagamaan di atas, merupakan bentuk manusia yang kehilangan sosok Tuhan. Hilangnya sosok Tuhan tentu saja dalam artian konsep dan moralitas yang tidak lagi sesuai dengan ajaran yang diciptakan oleh Tuhan. Dalam membaca ini, meminjam analisis dari Filsuf beraliran nihilisme dari Jerman, Nietzsche (1844-1900), manusia sendiri yang telah membunuh dan menciptakan Tuhan baru.
Matinya Tuhan merupakan sebuah kritik sosial Nietzsche terhadap dekadensi masyarakat Jerman setelah masa pencerahan di abad ke-19. Saat itu, ia melihat terjadinya perubahan pola interaksi masyarakat yang berlandaskan semangat modernitas. Dalam pandangannya, moralitas agama ditukar dengan rasio–pendamaian akal budi, empirik, dan logika–manusia.
Hasil dari perkembangan rasio manusia, Tuhan tidak lagi dipandang memiliki posisi pada konsep moralistik, namun dipaksa untuk menuju sifat manusiawi. Implementasi keberimanan terhadap Tuhan digunakan sebagai legitimasi manusia untuk meraih segala jenis tujuan pribadi seperti kekayaan, jabatan serta semua hal duniawi lainnya.
Baca juga: Pudarnya Kerja Gotong-Royong Menuju ke Perburuhan Modern
Nihilisme Pasif dan Aktif
Setelah kematian Tuhan, Nietzsche menyebut manusia dipastikan terjebak pada nihilisme pasif. Secara harfiah, pernyataan ini berarti transisi setelah hilangnya tuas moral yang tadinya diisi oleh Tuhan. Dengan kata lain, pasca tidak mengimani lagi Tuhan, kerangkeng nilai-nilai moral absolut tidak lagi ada di dalam diri manusia. Maka dari itu bagi Nietzsche, nihilisme pasif melahirkan manusia yang putus asa dan kehilangan arah.
Efek dari kelahiran manusia yang hidup di atas nihilisme pasif memiliki kecenderungan moralitas budak. Manusia nihilisme pasif akan mencari kekuatan atau kekuasaan di mana-mana supaya bisa dijadikan pegangan hidup. Tak ayal, sumber kepatuhan berasal dari hal yang bersifat keduniawian.
“Dunia ini ada; dunia bukan merupakan sesuatu yang menjadi, bukan sesuatu yang berjalan. Atau dapat juga dikatakan demikian: dunia ini menjadi, dunia ini berjalan, tetapi tidak pernah mempunyai permulaan untuk menjadi dan tidak pernah berhenti berjalan. Dunia mempertahankan dirinya dengan dua cara itu. Dunia hidup berdasarkan dirinya sendiri–sisa-sisa tubuhnya menjadi maknanya.” (hlm.113)
Selain nihilisme pasif, terdapat juga manusia yang mampu mencapai fase nihilisme aktif. Jika nihilisme pasif malah menciptakan Tuhan baru yang bersifat keduniawian. Maka, nihilisme aktif berani keluar dari kerangkeng segala jenis nilai–baik duniawi atau metafisik–dan menciptakan yang baru.
Setelah memasuki fase nihilisme aktif, manusia yang telah melepaskan semua kukungan nilai dan moralitas akan menimbulkan kehendak untuk berkuasa (will to power). Dengan kata lain, manusia barulah bisa mencapai keutuhan subjektivitas atas dirinya sendiri. Namun, perlu digaris bawahi, keutuhan subjektivitas yang berujung pada kebebasan berkehendak atas diri sendiri ini tidak melulu berkaitan dengan konteks penguasaan politik praktis.
Manusia yang mengimani nihilisme aktif dan mempraktekannya disebut Ubermensch atau manusia super. Ubermensch merupakan tahapan manusia ketika sudah berhasil membunuh Tuhan seutuhnya. Mereka akan menjadi pengganti Tuhan yang sudah dibunuhnya. Mereka hidup dengan ledakan hasrat untuk menciptakan nilai-nilainya sendiri. Serta tidak takut menghadapi dunia dan akan selalu berkata “ya!” untuk menjalani kehidupan.
Nihilisme aktif merupakan tawaran Nietzsche bagi manusia untuk menghadapi zaman kematian Tuhan. Dibandingkan harus selalu patuh akan nilai baru yang bermunculan, lebih baik bersikap kritis dan berani menciptakan nilai sendiri.
Berdasarkan kerangka berpikir Nietzsche jika melihat konteks saat ini, Ormas keagamaan terjebak ke dalam nihilisme pasif. Hal ini dikarenakan mereka membunuh Tuhan dan tunduk akan kenikmatan duniawi dibalik tambang. Tak ubahnya jika dirasa-rasa, Ormas keagamaan ini tidak lagi perlu membawa lagi identitas Islam karena mereka telah membunuh Tuhannya sendiri dengan menggadaikan nilai-nilai bersifat duniawi.
Kelemahan Nietzsche dalam filsafatnya adalah sulit dipahami karena gaya menulisnya urakan dan menggunakan aforisme yang tidak berkaitan satu sama lain. Sehingga, sulit untuk dapat mengetahui alam pikiran utuh atas uraian teori yang ditulisnya. Ia juga tidak segan-segan membantah teorinya sendiri, sehingga sering terjadi inkonsistensi sikap.
Selain itu, Nietzsche juga menolak segala bentuk keterukuran sehingga sulit melihat secara praktis teorinya, terkhusus dalam konteks pembahasan Ubermensch. Ubermensch seolah hanya menjadi bualan belaka, tidak pernah ada pembuktian yang konkrit. Bentuk kebenaran dari kehendak manusia untuk berkuasa semua dikembalikan pada perspektif masing-masing.
Buku terjemahan yang ditulis Stanislaus Sunardi, bukan berasal dari satu kumpulan aforisme ataupun satu buku Nietzsche. Namun, hanya membedah beberapa konsep besar Nietzsche saja, tata bahasanya sangat kaku dan sulit dipahami.
Namun tetap saja, buku ini sangat menarik menjadi pembuka guna mengenal filsafat Nietzsche. Tidak semua orang dapat memahami dan berani untuk menginterpretasikan pemikiran filsuf yang di akhir kehidupannya menjadi gila itu.
Penulis: Zahra Pramuningtyas
Editor: Arrneto Bayliss