Memperingati Hari Guru Nasional ke-79, Green Force UNJ bekerja sama dengan Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS) menyelenggarakan diskusi publik dan aksi simbolik. Acara tersebut diselenggarakan di Arena Prestasi Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH), pada Senin (25/11).

Diskusi publik dengan tajuk “Ironi Pendidikan: Sengkarut Permasalahan Guru Hari Ini”, menghadirkan Muhammad Arie Fadillah yang merupakan perwakilan dari organisasi Guru Honorer Muda (GHM). Arie membuka diskusi dengan memaparkan sengkarut permasalahan guru yang masih terjadi.

“Gaji guru terutama guru honorer yang belum layak, akhirnya memaksa mereka untuk melakukan pekerjaan tambahan setelah pulang sekolah. Jika keadaannya begitu, bagaimana guru bisa profesional dalam mengajar, palingan peserta didik hanya diberi tugas saja,” ungkap Arie.

Selain itu, Arie juga mengeluhkan dogma agama yang masih berkembang di masyarakat mengenai pekerjaan guru yang dianggap sebagai pengabdian. Menurutnya, dogma tersebut mengecilkan peran guru dengan mengiming-imingi balasan pahala, padahal guru merupakan pekerjaan profesional yang harus digaji dengan layak.

“Guru itu bukan mengabdi, harusnya sudah dijamin, karena telah diatur dalam undang-undang keguruan. Guru bisa diiming-imingi pahala karena sudah terdogma,” imbuhnya dengan kesal.

Arie juga menyentil para guru yang sudah nyaman dengan gajinya, sehingga tidak bersolidaritas membantu mereka yang belum sejahtera. Maka dari itu, menurut Arie penting untuk melakukan ‘potong generasi’ agar para guru yang tersisa bisa bergerak bersama dan memiliki semangat revolusioner.

Iklan

Baca juga: Diterpa Gelombang Masalah, Guru Harus Bersolidaritas

Anggota Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS), Rivaldi Haryo Seno turut mengkritik momentum Hari Guru Nasional. Bagi Rivaldi, perayaan Hari Guru Nasional merupakan sebuah ilusi yang diciptakan bagi para guru untuk dapat pasrah dengan keadaan mereka hari ini.

“Hari Guru Nasional adalah perayaan ilusi, seakan-akan guru dibuat lupa dengan sengkarut nasib menyedihkan yang menimpa mereka. Guru selalu dibenturkan dengan idiom loyalitas, agar bisa pasrah dan menerima pekerjaannya,” ungkap Rival.

Rivaldi juga membahas tata kelola pendidikan yang masih berantakan. Ia merujuk pada kasus korupsi dana guru honorer di daerah Bengkulu yang menyebabkan kerugian hingga Rp 2,1 miliar. 

Kasus korupsi yang terjadi akhirnya merugikan guru honorer, sebab dana yang digelapkan merupakan dana yang dialokasikan untuk mengupah mereka. Selain itu, ia juga menyinggung besaran dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 20% untuk sektor pendidikan yang masih belum merata penyebarannya.

“Kita harus menekan pemerintah untuk lebih memperhatikan kesejahteraan guru dengan Peraturan Pemerintah (PP) yang dapat menjamin perlindungan, kepastian, hingga kesejahteraan para guru dan dosen khususnya mereka yang masih honorer,” tutupnya.

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris UNJ, Rifaldi, turut mengkhawatirkan nasib guru hari ini. Sebagai calon guru, dirinya merasa prospek kerja yang utama ke depannya belum begitu jelas.

Meskipun pesimis dan miris dengan keadaan yang terjadi, namun Rifaldi masih memiliki keinginan untuk tetap berjuang dan menjadi seorang guru. Baginya guru merupakan aspek penting untuk mencerdaskan anak bangsa.

“Saya masih tetap ingin berjuang, melawan kebijakan yang dirasa tidak memihak kepada kesejahteraan guru terutama guru honorer. Pemerintah ini, hanya memperhatikan mereka yang PNS dan ASN saja,” jelasnya.

Kegiatan dilanjutkan dengan aksi simbolik dengan membentangkan spanduk bertuliskan “SELAMAT HARI GURU”. Rombongan pun berjalan beriringan menuju pintu masuk utama UNJ di jalan Rawamangun Muka. Peserta diskusi turut memberikan bunga kepada pengendara sebagai penutup aksi.

Iklan

 

Penulis/reporter: Maulana Ichsan

Editor: Zahra Pramuningtyas