Diujung timur pulau kami terdapat sebuah kampung bernama Carakan. Kata seorang tetua desa, wilayah itu dikelilingi barisan pegunungan. Juga, dari ujung ke ujung aliran sungainya tidak terputus sama sekali. Kalau dibanding dengan desa lain, pagi lebih memilih datang di carakan. Sebabnya sudah jelas bukan?
Cerita soal kampung Carakan, seakan tidak pernah habis diulang oleh para tetua desa. Entah soal keindahan alamnya, masyarakatnya yang pekerja keras, ataupun gadis-gadis mereka dengan paras ayunya. Ibarat kaset rusak, kalau dipancing sedikit, para tetua bisa menceritakan hal itu semalam suntuk.
Namun lain hal dengan Udin, salah seorang penduduk desa kami. Dia katanya tidak percaya sama sekali dengan omongan para tetua. Segala sumpah serapah dan seisi kebun binatang bisa keluar dari mulutnya, jika saja ada warga desa yang berani mengajaknya membicarakan ihwal Carakan.
Berdasarkan desas-desus warga, penyebab Udin begitu dikarenakan dirinya ditinggal kawin oleh salah seorang gadis di sana. Orang tuaku sendiri mengingat waktu Udin akan kawin, dia sampai-sampai berkeliling desa meneriaki setiap rumah soal hajatnya itu. Tapi waktu hari resepsi tiba, si mempelai perempuan tidak datang.
Sebenarnya yang menarik bukanlah tragedi hari perkawinannya. Orang lebih geleng-geleng kepala setelah hari perkawinan itu usai. Udin jadi setengah sinting, dan tidak pernah keluar dari rumahnya selama dua minggu. Namun di satu waktu, tiba-tiba saja ia mengagetkan seisi desa di pagi hari, dirinya berkeliling tanpa menggunakan pakaian sehelaipun, dan kembali meneriaki kabar bahwa dirinya akan kawin lagi.
Kisah Udin dan Carakan hanyalah dua dari sekian banyak cerita di desa kami. Tapi begitulah orang-orang di sini yang sangat senang sekali berkoar mulut. Aku sendiri lebih suka menyebut itu semua sebagai gosip. Bukan perkarah mudah membetulkan tuduhanku barusan. Namun, aku berani bersumpah akannya.
Inilah desa kami dengan segudang gosip yang menyelimutinya. Entah orang tua, dewasa, remaja, balita, atau yang masih jadi orok di perut ibunya begitu menyukai aktivitas itu. Jangan ditanya lagi seberapa parah aktivitas menggosip itu berjalan. Gambarannya, pernah suatu malam para tetua mengumpulkan warga, cuma buat membicarakan Salimah yang tiba-tiba saja bunting sehabis dari kandang kambing.
Sudah bisa ditebak, selama semalam suntuk apa yang dibicarakan warga desa. Tentu kebanyakan berkoar soal Salimah yang digagahi oleh seekor kambing bandot. Namun, salah seorang warga memiliki pendapat berbeda. Menurutnya, Salimah lah yang membujuk hewan bertanduk itu untuk menggagahinya. Dia menambahkan, kenapa itu bisa terjadi karena burung suami perempuan itu tidak bisa berdiri.
Sampai di sini, apakah sudah cukup untuk menebak nama desa kami? Kalau belum, biar kuberitahu saja. Desa kami bernama Cikisik. Asumsiku, nama itu diambil dari dua kata. Pertama ci yang berarti sungai atau air, dan kisik diambil dari penggalan kata kasak-kisik yang berarti gosip. Jika digabung, Cikisik dapat diartikan sebagai sungai gosip.
Pengartian tadi hanya menurutku saja loh. Warga desa lain, kebanyakan tidak terima dengan pengartianku itu. Mereka lebih senang mengejawantahkan kata Cikisik sebagai sungai yang berbisik. Menurut orang-orang hal itu lebih tepat, karena di desa terdapat sebuah sungai yang aliran airnya mendesis macam orang berbisik.
Sudahlah, aku sendiri memilih enggan melanjutkan silang pendapat soal pengartian itu. Sebabnya, orang-orang di sini sudah pasti membatu dengan tafsirannya. Satu waktu, aku pernah mengeluarkan gagasan soal arti nama desa di sebuah pertemuan. Sontak, semua warga desa dan termasuk orang tuaku naik pitam. Sembari menunjukkan muka marah, mereka memakiku dengan kalimat “Orang tidak tahu diri!”.
Ibarat satu melawan seratus dengan berat hati kuterima saja kata-kata tadi. Tidak menguntungkan juga menurutku untuk melawan. Setidaknya, desa ini telah menghidupi ku sekian tahun. Sampai-sampai aku bisa mengenyam bangku perguruan tinggi, ya tentu karena hasil bumi dari kesuburan tanah Cikisik.
Alasan itu pula yang membuatku mengalami dilema. Kalau bukan karena aku peduli akan desa, mungkin diriku enggan kembali ke sana setelah habis masa studi. Namun, setelah sekian purnama penyesalan-penyesalan itu datang juga bertamu. Apa yang aku punya sekarang? Pekerjaan tidak ada, tinggal masih bersama orang tua, istri jangan ditanya, aku masih bujangan tua. Tahi-lah.
Soal diriku ini, sudah jadi gosip juga di Cikisik. Warga desa menjulukiku “si tua lemah syahwat”. Dari mana pula rimbanya, sebutan itu (tentu tanpa kesepakatan dariku) tiba-tiba disematkan kepadaku. Tono, salah seorang sejawatku mencoba menjelaskan julukan yang menurut dia pribadi, keren.
Tono memang orang yang serampangan dan tak tahu diri. Waktu dia memaparkan analisisnya soal julukanku itu, ia turut mengundang semua orang di desa. Sambil mengebulkan asap tembakau rokoknya, dia berujar “tidak masalah semua orang ingin tahu soal julukanmu itu, toh menurutku itu keren.”
Aku sendiri mencoba menyanggah alasannya. Kukatan pada Tono, bahwa dikatakan tua dan lemah syahwat adalah sebuah penghinaan. Dia tidak terima, katanya ia sendiri ingin punya julukan seperti itu. Sialan pikirku, Tono pasti berusaha menghipnotisku dengan kata-kata tadi. Tapi diriku tidak sebodoh itu, bisa ditipu oleh orang yang sekolah dasar pun tidak lulus.
Seakan tidak menggubris semua penolakanku, Tono dengan gagahnya mulai buka suara. “Para tetua, bapak-ibu, adik-adik, dan semua yang hadir, dimohon tenang dan bersabar. Sebentar lagi, saya akan memaparkan secara rinci soal julukan itu.”
Tidak perlu waktu lama bagi Tono untuk segera mensudahi dahaga keingintahuan khalayak desa. Ia langsung melanjutkan omongannya, “orang di sampingku ini, adalah si empunya julukan. Dialah yang sebenarnya mendorong diriku untuk mengumpulkan kalian semua. Jadi, si tua ini memanglah sudah berumur, tapi belum kunjung kawin. Burungnya yang pernah kulihat dulu, susah sekali berdiri. Maka julukan ini……”
Belum selesai Tono menghabiskan omongannya, aku yang sudah muak langsung ikut bicara. Kubilang pada semua orang Cikisik, “wahai warga desa, kubilang kalian semua bodoh. Sekali lagi kukatakan kalian bodoh. Apa bedanya kalian dengan Udin? Tidak ada sama saja sintingnya.”
“Walau aku tua begini, aku masih lebih pintar dari kalian. Soal burungku, apa kalian mau lihat sendiri apa yang bisa dia lakukan?”
Amarahku makin memuncak setelah ada warga desa dengan entengnya menceletuki omonganku. “Sudahlah tidak usah banyak bacot, kalau memang burungmu bisa berdiri tunjukkan saja!” celetuk orang itu.
Sontak kata-kata itu benar-benar membuatku geram. Seketika aku maju ke kerumunan warga desa, dan membuka celanaku. Langsung saja, menyembul sebuah batang hitam dengan guratan urat di sekelilingnya. Emak-emak dan anak perempuan yang hadir tentu kaget, begitu juga dengan para tetua dan bapak-bapak di sana.
Sekarang aku merasa di atas angin, seakan menang dari semua gosip warga desa. “Puas kalian semua. Silahkan lihat sendiri. Dasar warga Cikisik sukanya gosip, kalau sudah begini biar mampus kalian menelan ludah sendiri,” ujarku memaki mereka.
Penulis: Abdul