Ruangan bersekat-sekat menjadi saksi bisu dimana raga tidak menyatu dengan nyawa. Aku selalu terbangun dengan kondisi seperti itu. Pagi hari yang tidak bisa ditoleransi. Ragaku menarik jiwaku dengan paksa untuk masuk ke kamar mandi. Dingin dan beku, menyadarkan jiwaku untuk masuk kedalam badanku secepat mungkin.

Waktu, tidak ada ruang. Tak peduli kau berada di ruang mana. Semuanya harus sesuai dengan waktu. Kamar mandi berubah sekejap menjadi kamar tidur lagi. Aku tahu tidak bersih mandinya. Tapi, tak apa. Setelah mandi, kemeja menungguku. Dengan gagah ia terbuka seakan-akan aku siap menggunakannya. Semprot sana, semprot sini, parfum melindungi ku dari bau badan yang dikarenakan mandi tidak bersih.
Aku pun berangkat keluar dari apartemen sederhana. Menembus keteraturan lelapnya penghuni lain di pukul setengah enam pagi. Aku bergerak penuh sunyi menuju lift, menembus lorong gelap bercahaya remang.
Sesampai di depan gerbang lift, tombol menuju lantai dasar aku tekan sampai meninggalkan bekas embun. Aku takut telat. Bos pasti mengurangi gajiku lagi jika sampai telat. sudah dua kali hal tersebut terjadi.

“Sialan, sialan, dan keparat” kata-kata itulah saat lift tidak mau menjemputku. Selalu saja dua menit menunggu.

Baca juga: Tebasan

Di sela gumamku, lift akhirnya berbaik hati membukakan pintu. Aku sebenarnya kaget, hari ini lift cukup cepat. Kurang dari dua menit agaknya. Di saat aku menaikinya dengan cepat, ia paham betul bagaimana melepaskan jiwa dan ragaku kembali.
Pikiranku melayang-melayang di dalam lift. Dari lantai atas ke bawah. Kanan dan kiri ruangan. Sesampai di lantai dasar aku pusing. Aku keluar meninggalkan segala jiwa yang sudah tak diperdulikan badan ku lagi. Biarkan saja, toh nanti juga mengejar dengan sendirinya.

Benar kan, saat mencari mobil di parkiran, nyawa ku mengejar dengan terbirit-birit mengikuti raga ku yang kesana-kemari. Sesampainya di mobil, aku sangatlah penat. Biasanya, duduk sebentar membantu menormalkan nafasku yang sedang terengah-engah. Tiga menit berlalu. Aku pun memastikan sudah penuh secara kesadaran dengan menampar pipi kanan, kiri, dan mencubit pangkal paha berulang kali. Sakit memang, tetapi cara itu lah yang begitu ampuh.

Iklan

Setelahnya, ku nyalakan mobil dan pergi dari parkiran, Perlahan-lahan, masuk ke jalan. Dengan mata sayu aku melinguk keluar dan melihat pemandangan yang sama tiap harinya. Trotoar kanan dan kiri menjadi tempat lalu-lalang Ibu-ibu pergi ke pasar, anak sekolah yang membeli nasi uduk, dan tukang bersih jalanan tengah menyapu rontoknya daun.

Saat di lampu merah, matahari seolah menyapaku dengan sok akrab. Sinarnya yang lemah menembus hawa pagi dan kaca mobilku. Aku tahu, ia tidak bersemangat karena dipaksa bangun saat tertidur di bawah bumi.

Tapi tak apa, memang sudah jadi tugasmu langsung dari tuhan toh? Kalau engkau membangkang, pasti yang kuasa akan melenyapkanmu segera. Kemudian setelah kau lenyap, bumi dan planet-planet lainnya juga binasa. Alasan kau masih dalam rutinitas ini sama seperti ku kan? “Tidak ingin lepas dari tanggung jawab dan takut akan konsekuensi.”

Aku pernah berpikir keluar dari pekerjaan sebenarnya. Tetapi jika keluar, bagaimana nasib hidupku? Karena tidak tahan, persoalan ini kemudian aku ceritakan kepada salah satu teman kerja yang bernama Gama. Ia bilang: “Doni, kurang bersyukur apa kamu itu? Posisi manajer dengan penghasilan lebih dari cukup kok mau keluar? Untuk masuk ke kantor ini saja susah, tetapi kamu dengan seenak jidat bilang begitu. Dunia yang sudah tidak waras atau jangan-jangan kamu yang tidak waras Don? Hehe.”

Niat bercerita tapi malah memancing emosi. Aku pun menjawab pertanyaan Gama yang menyebalkan: “Bukan begitu permasalahannya Gama! Aku merasa tertekan disini. Duit aku rasa di pekerjaan lain bisa didapat. Walau tak sama jumlahnya, setidaknya aku baik-baik saja.”
Gama menengok ke arahku dengan sorotan mata yang tajam. Ekspresi wajahnya melukiskan seolah-olah aku tidak akan bisa keluar dari semuanya. Ia pun bilang: “Terserah kamu Don. Ingat gaya hidupmu seperti apa? Mana mungkin bisa tercukupi dengan gaji UMR. Sudahlah, aku disini hanya menyarankan hal yang bersifat fakta dari dirimu. Kalau ingin melaksanakannya tidak masalah.”

Mengingat perkataan Gama rasanya benar juga. Selama ini aku bergelimangan hidup mewah. Mobil keluaran terbaru, Apartemen sederhana di jantung kota, makan selalu enak, pakaian dengan merk terkenal, dan sering melakukan pesta setiap malam minggu di club untuk melepas penat selama sepekan.

Mulanya memang seru menjalani rutinitas seperti itu. Tetapi, lama-kelamaan melelahkan dan membosankan. Aku menjadi manusia hanya di malam minggu. Pun harus didorong minuman keras dulu. Di hari lain, aku kembali menjadi lembu yang siap diperintah. Malangnya.

Lampu kuning pun menyala disaat isi kepalaku berputar-putar memikirkan hal tadi. Diikuti lampu hijau, rem tangan pun ku turunkan. Mobil kembali melaju. Ku injak gas nya sedikit agar lebih cepat dan tak usah memikirkan apa-apa lagi.

Pukul enam pas aku sampai di kantor. Parkiran lumayan ramai dan untungnya aku mendapatkan tempat. Saat aku tengah memarkirkan mundur mobil, tetiba raga ku terlepas. Aneh, baru kali ini ia keluar tanpa disadari.

Dari atas aku melihat mobilku menabrak mobil lain. Kemudian, terus berjalan hingga menabrak tembok. Riuh alarm mobil yang ditabrak membuat heboh seisi parkiran. Tak ubahnya, satpam bernama Pak Rahmat yang mendengar berlari dengan kencang menuju sumber suara. Ia mengecek mobilku dan terkaget-kaget melihat ragaku tengah berbaring pulas di kursi mobil.

Iklan

Satpam pun menelpon temannya. Dengan nada panik ia mengatakan: “Hoi Samsudin, Cepat kesini, parkiran! Ada yang tidak sadarkan diri. Bawa Jamal juga.” Dua orang satpam lainnya pun datang. Berbondong-bondong mengeluarkan ragaku.
Aku yang tengah melayang-layangpun ketawa terbahak-bahak: “Hahaha begitu saja panik, dasar bapak-bapak. Orang aku tertidur, biarkan saja disitu nanti juga bangun. Toh bagus bukan? Aku jadi punya alasan untuk tidak bekerja, hahaha.”

Aku pun terus memandangi kejadian lucu ini, ketiga orang satpam mengecek tubuhku satu-satu. Pak Samsudin mengecek nadi ku dengan menempelkan jarinya ke leher dan pergelangan tangan. Pak Jamal mengecek jantung dengan mendekatkan kupingnya ke dadaku. Pak Rahmat berdiri dan komat-kamit membacakan doa keselamatan.
Selang beberapa menit, Pak Samsudin dan Pak Jamal pun menggelengkan kepala. Keduanya mengatakan dengan lesuh: “Berhenti semua mat.” Mendengar hal itu, Pak Rahmat dengan terburu-buru menelpon fasilitas kantor untuk membawa ku kerumah sakit dengan Ambulan.

Semakin kencang ku tertawa hingga terjungkal dari posisi melayang. “Apa-apaansih? Hahaha. Begitu saja masa harus pakai ambulan? Palingan juga pingsan.” Di sela-sela guyonan ini, ambulan pun datang. Dengan tandunya aku dibawa ke rumah sakit.

Aku pun mengikuti lajunya ambulan menembus kemacetan kota. Sesekali, aku masuk ke dalam Ambulan untuk melihat ragaku. Pak Rahmat yang di dalam ambulan pun terlihat panik. Ia menatap kebawah dan terus menggumamkan doa dari dalam hatinya.

Jika dilihat, sepertinya ada yang salah ketika dengan ragaku yang tengah berbaring di Ambulan. Kulitnya pucat, bibirnya biru, matanya terbuka dengan bola mata berwarna putih, dan mungkin suhu tubuhnya juga turun. Aku tak bisa merasakannya karena menembus jika ku sentuh.
Selain itu, ada yang salah juga dengan doa Pak Rahmat. Aku bisa mendengarkannya dengan jelas meski ia mengucapkan dari dalam hati. “Jangan bangunkan beliau Tuhan, tolonglah hamba. Seminimal mungkin buat dia di rawat agar saya bisa menerima bonus yang besar dari atasan karena telah menolong orang ini.”

Sontak saja aku kaget, ternyata apa yang dilakukan Pak Rahmat tidak tulus. Keselamatan ku ternyata tidak berharga. Karena tidak kuat mendengar doa Pak Rahmat, aku pun kembali ke atas dan mengawasi perginya ambulan.

Sesampainya di Rumah Sakit, aku langsung dibawa ke ruang UGD. Disana, aku mengalami pengecekan secara intens. Mulai dari yang manual, seperti yang dilakukan Pak Jamal dan Pak Samsudin. Sampai dipasangi selang-selang dan logam yang entah menahu untuk apa.

Sekitar satu jam kurang berlalu, ragaku tak kunjung bangkit-bangkit. Dengan cemas, aku pun melayang-layang kesana-kemari. Bahkan setiap para perawat dan dokter mengecek ragaku, aku pun memasukinya dengan paksa walau terus menembus.
Akhirnya aku lelah dan pasrah. Di atas tubuh sambil berbaring aku pun berpikir, Apabila mati dan menjadi arwah gentayangan seperti ini, tidak masalah. Toh bisa lepas dari semua permasalahan yang ada dengan damai. Tak ada yang bisa menggugat bahkan Bos sekali pun. Semua orang akan mewajari perpisahanku dengan dunia.
Aku pun pergi meninggalkan Rumah Sakit dan melayang-layang bebas tanpa tujuan di kota. Sepanjang perjalanan, aku melihat kehidupan yang banyak sekali ternyata di kota. Aku melihat siklus hewan berlomba-lomba untuk menunjukan kekuatannya, bunga mekar yang selalu dipetik atau diinjak, dan manusia bepergian ke suatu tujuan. Walau begitu indah dan teratur, lama-kelamaan jenuh pun menghampiri.
Tak ada bedanya jika melihat kembali diriku. Orang lain selalu bilang kalau kekayaan itu indah dan segala tetek-bengeknya. Nyatanya tidak seperti itu. Mungkin jika dipikirkan ulang, pandangan itu sama sepertiku yang merasa indah saat pertama kali melihat keaneka ragaman tadi.
Setelah lama melayang-layang, aku pun memutuskan duduk di taman dekat apartmen ku. Taman itu cukup luas, banyak pohon, daun kering, dan sarana bermain anak kecil. Selain itu, hawanya begitu sejuk. Angin selalu berhembus dari kanan ke kiri, menyisir rambut pengunjung, dan menyentuh dengan lembut pori-pori kulit.
Aku pun langsung mencari tempat duduk favorit semasa hidup bersama raga dahulu. Sederhana memang, hanya beralaskan rumput dan langsung menghadap ke lanskap gedung-gedung pencakar langit. Tetapi, kenikmatan dan ketenangan dapat ku rasakan saat berada di posisi ini.
Saat tengah asik melihat burung-burung yang bermanuver diantara gedung, aku dikagetkan oleh bola sepak yang terbang persis di depan muka. Aku pun menoleh ke kanan, kiri, dan belakang untuk mengetahui siapa yang menendang.

Ternyata pelakunya adalah seorang bocah laki-laki berumur sekitar di bawah lima tahun, berbadan gemuk dengan baju hitam putih bergaris-garis. Ia lari ke arahku dari kiri untuk mengambil bola. Sehabis mengambil, bocah itu kemudian diam persis di depan ku.

Mungkin saja dia anak indigo yang mampu melihat arwah seseorang. Aku pun bertatap-tatapan dengan bocah itu. Matanya nampak curiga dan tajam, melihat dari atas ke bawah. Setelahnya, ia pun berusaha menyentuhku, namun selalu gagal karena menembus.

Ketika ia tengah asik menyentuh-nyentuhku, Ibunya datang dan mengkhawatirkannya: “Willy, Willy! Ibu bilang jangan jauh-jauh dari taman, nanti kalau hilang gimana? Kita ke tempat tadi saja yang ada perosotannya saja.” Bocah itu pun menolak dan balik bertanya: “Ah ibu nanti dulu, aku penasaran dengan kakak ini. Kok ia tembus ketika aku sentuh?”

Seketika, raut wajah Ibu dari bocah tersebut berubah menjadi kaget dan ketakutan. Ia langsung menggendong bocah gemuk itu untuk pindah ke tempat lain yang jauh dengan ku. Saat sedang digendong, bocah itu memberontak dengan kuat. Akhirnya, Ibu bocah tersebut tidak kuat dan terjatuh ke rerumputan.

Bocah itu akhirnya kabur ke arah ku, tanpa memperdulikan rengekan Ibunya yang memohon untuk kembali. Ia begitu fokus, pandangannya sangat lurus dan posisi larinya sempurna. Mungkin dalam benaknya, taman ini berubah jadi lintasan lari.
Sesampainya bocah tersebut, ia langsung duduk di sebelah ku dan memulai obrolan. Ia memperkenalkan diri dulu dan berusaha menjabat tangan ku, tetapi tidak berhasil.

“Halo, namaku Willy, umur empat tahun, dan belum sekolah.” Ujarnya dengan antusias.
Aku pun menyauti Willy dengan memperkenalkan diri juga: “Ya, hai Willy. Namaku Doni, Umur tiga puluh empat tahun, dan sudah bekerja.” Willy pun menjawab: “Wah ternyata sama seperti Ibu usianya, berarti aku memanggilmu Om saja.”

Aku pun tertawa kecil dan menyauti Willy: “Terserah kamu Wil panggil aku apa.” Percakapan pun berlangsung seru, Willy senang mengobrol sepertinya. Ia banyak menjelaskan apa yang disukai. Mulai dari, hobinya, jam makan siangnya, jam makan malamnya, cemilan kesukaannya, ukuran sepatu, ukuran topi, makanan kesukaan Ibu dan Ayahnya, dan banyak hal lain yang ia jelaskan.

Tetapi di sela-sela penjelasannya, Willy kadang-kadang menengok ke belakang dan memerhatikan sesuatu. Saat aku melihat kebelakang juga, ternyata Ibunya tengah menunggu di bangku taman yang agak jauh. Ia tidak kesini, mungkin mengerti anaknya.
Willy melanjutkan obrolannya dan sesekali bertanya seperti apa yang aku sukai. Karena lebih tertarik mendengarkan celotehannya, aku pun hanya menjawab seadanya. Selama percakapan berlangsung, sepertinya tiga puluh menit berlalu, ia pun terlihat pengap karena banyak mengobrol. Sesekali, ia pergi ke belakang dan menghampiri Ibunya untuk minum.

Saat kami terdiam, menikmati hembusan angin dan orang-orang yang mulai pulang kantor karena waktu menginjak sore, Willy pun bertanya: “Om bisa memiliki badan yang tembus seperti ini karena apa?” Aku tidak mengira ia akan bertanya seperti ini. Aku pun menjawab: “Kecelakaan saat ingin pergi bekerja.” Willy pun semakin penasaran: “Kecelakaannya seperti apa om?” “Tetiba diriku tewas saat parkir mobil tadi pagi. Aku pun tak tahu mengapa.”

Willy pun terdiam sejenak dan melihat kebawah. Kemudian, ia kembali bertanya: “Bagaimana rasanya memiliki tubuh yang bisa tembus karena kecelakaan?” Aku pun menjawab dengan tersenyum: “Bahagia rasanya Willy. Dengan Tubuh tembus seperti ini, aku bisa bebas kemanapun tanpa takut merasakan sakit seperti di dunia.”

Willy pun setuju dengan perkataanku: “Benar Om, aku pernah merasakannya juga memiliki tubuh tembus seperti ini saat sebelum lahir ke dunia.” Aku pun keheranan dan penasaran: “Benar kah? Bagaimana kau bisa merasakan hidup sebelum lahir Willy?”
Kami pun mengobrol semakin intens. Willy menjelaskan kalau ia sudah setahun sebenarnya hidup dengan model tubuh arwah. Ia tidak menahu kenapa bisa seperti itu. Yang ia ketahui, tiba-tiba dirinya merasakan jatuh yang sangat keras dan terbangun.

Ketika orang tuanya menikah, Willy merasa di tarik dengan paksa ke tempat pernikahannya. Ia melihat kedua orang tuanya sedang menjalankan resepsi. Bahkan, ketika ia tengah di buat oleh kedua orang tuanya, Willy ada disana bergentayangan di kamar.

Aku yang mendengarnya pun semakin tertarik untuk mendalami cerita bocah gemuk itu. Sampai-sampai, aku tidak sadar sangat dekat dengan Willy hingga menembus lengannya. Ia melanjutkan, saat Ibunya mulai hamil dan memasuki usia kandungan ke empat, Willy pun di tarik paksa kedalam rahim Ibunya, kemudian pingsan dalam waktu yang lama.

Saat sudah sadar, Willy yang membuka mata hanya melihat dinding berwarna merah gelap. Melayang-layang dalam cairan hangat. Selain itu, ia juga kaget ketika dirinya sudah tidak menjadi arwah. Ia merasa aneh hidup di dalam seonggok daging kecil yang di perutnya tertanam selang kulit.

Willy berusaha keluar dari perut Ibunya. Ia melakukan segala cara seperti, menendang-nendang dinding merah gelap, mencabut selang kulit, dan menabrakan diri ke segala arah. Sayang, usahanya selalu nihil. Menurutnya, dengan memiliki raga fisik seperti itu, ia mudah merasa letih dan tertidur.

Sampai sewaktu-waktu, ia keluar dari dalam rahim Ibunya. Dalam pikirannya, ia bisa merasakan kebebasan lagi dan pergi kemanapun ia pergi. Namun dalam praktiknya, ia malah kesusahan untuk bergerak dan berbicara. Selama delapan bulan hidup di dunia, ia hanya bisa berteriak, menangis, dan tiduran.

Aku yang mendengarnya pun langsung terdiam. Aku berpikir, bahwasannya Willy lah yang akan merasakan sakit di dunia lebih lama. Terlebih setelah ia mengalami kematian, dirinya tidak bisa dipastikan seratus persen kembali ke bentuk arwah. Bisa saja ketika raganya mengalami kematian, arwahnya ikut mengalami ke binasaan.

Willy pun tampaknya sedih setelah bercerita, ia kemudian kembali ke Ibunya di bangku taman belakang. Ia hanya menyisakan setetes air mata di rumput, pergi tanpa ada sepatah kata yang keluar dari rongga mulutnya. Aku yang menengok kebelakang pun melihat Willy dan Ibunya sudah tidak ada, entah kemana.

Masih di tempat yang sama, aku pun merenung dengan dalam. Aku pun berpikir, apakah mungkin jika Roh ini kembali ke Raga? Jika iya, bagaimana kehidupanku selanjutnya? Karena melihat Willy tadi sebagai contoh, aku pun jadi takut untuk tidak kekal menjadi arwah.

Namun jika dipikirkan kembali, masuk akal sebenarnya jika aku kembali lagi ke dalam raga. Memang benar, semua yang ada di dunia ini memiliki waktu dan porsinya tersendiri. Mungkin saja, tuhan mendesain Doni dan Willy untuk menjadi seperti Sissyphus. Hidup di dunia hanya untuk kesengsaraan.

Aku beranjak dari posisi duduk. Kemudian, kembali ke Rumah Sakit walau hanya sebentar di malam hari. Sesampainya, ragaku sudah ada di kamar mayat. Ia di jejerkan bersama mayat-mayat yang lain untuk di masukan ke tempat penyimpanan sementara.

Aku melihat raga ku yang semakin pucat. Sekarang, ia terlihat putih membiru dan terlihat ada sedikit bercak hitam di bagian paha, perut, dan juga lengan. Aku hanya bisa memasrahkan apa yang terjadi.
Di dalam kepasrahan itu, aku terus meratapi ragaku yang kaku tertidur di kamar mayat. Mungkin sekitar delapan jam setelah dari taman aku meratapi mayat ku. Total, jika dari tragedi parkiran, aku sudah berpidah dari raga selama delapan belas jam!
Prosesi penguburan agaknya di mulai besok, pihak keluarga tak ada yang bisa di hubungi. Wajar saja, aku sudah lama berpisah dengan keluarga besar semenjak Ibu memutuskan untuk cerai dengan Bapak.
Musabab perceraian Ibu dengan Bapak pun sebenarnya tidak jelas aku pahami. Mungkin karena masih kecil, aku samar-samar hanya mendengar kalau Ibu bersikap melarang Bapak untuk poligami dengan wanita lain. Dengan sikap Ibu yang seperti itu, mulanya Bapak hanya ketus dan menyindir. Sampai-sampai, pertempuran sesunguhnya terjadi. Bapak mulai bermain fisik kepada Ibu, tanpa belas kasihan.

Memar menjadi saksi hidup yang bermunculan dari badan Ibu setiap dua hari sekali saat itu. Alih-alih mendapat dukungan dari satu saja pihak seperti keluarga kandungnya sendiri atau warga kampung, Ibu malah dikucilkan. Karena tidak kuat, ia memutuskan untuk pindah ke kampung lain bersamaku.

Ibu terus mengadu nasib di kampung lain dengan kemampuan seadanya. Paling lama, seingatku ia bekerja pada juragan tembakau menjadi asisten rumah tangga. Dari penghasilannya sebagai asisten rumah tangga, Ibu mampu membangun gubuk kecil sederhana dekat sawah dan membiayai ku sekolah hingga lulus menengah pertama.
Sayangnya, Ibu tidak bisa selama-lamanya menjadi tulang punggung. Ia diberhentikan oleh sang juragan karena mulai sakit-sakitan. Penyakit misterius yang tetiba muncul pada Ibu menyerang hebat pada kepalanya. Terkadang, Ibu jadi sering terdiam dengan tatapan kosong tanpa sebab, mulutnya menganga, dan senyum sendiri.

Seiring berjalannya waktu, penyakit itu kian ganas menyerang Ibu. Dari yang terkadang menjadi sering. Dan keseringan itu menimbulkan efek yang lebih sulit dimengerti. Seperti, ia berjalan tak berarah, menabrak-nabrak seisi rumah dengan tatapan yang kosong sekali.

Karena kondisi ekonomi yang sulit, aku mempertahankan Ibu tanpa memeriksakan ke dokter dan memberi obat seadanya, yakni Paracetamol. Tatkalanya, aku harus menyuapi hingga enam tablet sehari.
Sayangnya, banyaknya obat tidak bisa melawan takdir. Nyawa Ibu sudah benar-benar tidak tertolong. Dalam proses kematiannya, aku melihat Ibu diam, melihat ke arah sawah dari gubuk. Ibu tersenyum sangat polos layaknya anak bayi. Dengan tenang, ia pun melemas, perlahan jatuh, dan tersungkur di tanah.

Jujur saja jika mengingat kejadian itu, aku merasakan perasaan campur aduk. Tetapi yang dominan bukanlah sedih, melainkan rasa rindu terhadap Ibu. Di dunia ini, tidak ada yang se peduli Ibu. Tidak ada yang tulus rasa kasihnya selain Ibu. Tidak ada yang mau berjuang sedemikian rupa untuk aku, selain Ibu.

Jika pulang kerumah, Ibu selalu bermandikan keringat. Terkadang, keringat itu bercampur dengan derasnya air hujan. Aku tahu, di setiap keringat itu tertulis nama ku seorang. Tanda usaha giat membesarkan anaknya. Mungkin jika ia masih hidup, Ibu akan sangat bangga melihat anaknya sudah memiliki perjalanan yang panjang sampai seperti ini.

Dan aku juga… Sudahlah, tak ada artinya larut bernostalgia. Ibu sudah lama tiada. Jika di pikir, memang hubungan aku dan Ibu tidak begitu banyak interaksi yang mendalam. Aku orang yang pendiam dan tertutup. Pun sama seperti Ibu. Kami berdua jarang mengobrol, tetapi kami berdua juga mengerti jalinan rasa kasih sayang antar anak dan orang tua.

Waktu memasuki Subuh, lama juga aku merenung soal Ibu. Terbesit pikiran untuk mengunjungi makamnya di kampung. Aku tidak peduli lagi dengan kaparan mayatku di sini. Biarkanlah ia damai terbaring pada pemakaman ku hari ini. Biarkanlah ia damai di kubur tanpa sepengetahuan ku.

Setelah melihat terakhir kalinya kepada raga Doni. Sebagai tanda perpisahan, aku pun langsung meninggalkan rumah sakit.

Terbang menuju kampung. Walau jaraknya sangat jauh, aku tidak peduli.

Tak terasa, selama delapan jam aku berada di perjalanan. Melayang-layang hingga lima ratus enam puluh dua kilometer. Dari sang matahari masih sok akrab menyapaku hingga ia berani menyerang kepala orang-orang saat berada di atas. Akhirnya aku sampai.

Impresi pertama ku saat datang lagi ke kampung adalah kaget, sangat berbeda. Gedung, ruko, perumahan, dan padatnya penduduk menjajahi kampungku. Bahkan, aku tidak lagi bisa menyebut ini kampung, menurutku ini sudah kota!

Aku kesulitan menemukan tempat tinggal ku dulu, karena sawah sama sekali tidak terlihat. Selama satu jam mungkin aku mengelilingi kampung. Oh bukan, kota. Tetap saja tidak menemukan rumah gubuk ku.

Menyerah? Tentu saja. Tidak, aku harus menemukan bagaimanapun caranya karena makam Ibu berada dekat situ. Jikalau memang pindah, teganya! Aku tidak sudi mayat belulang Ibu di gotong-gotong kemudian di pindahkan begitu saja layaknya mainan yanng ditaruh asal-asalan.

Semakin lama aku mencari, aku mulai letih. Bukan fisik, melainkan iman untuk bertemu dan bercerita panjang bersama mayat Ibu. Jujur saja, aku penat lama kelamaan. Tolong lah waktu, tuhan, alam, dan segala hal yang ada!

Waktu pun terus berlari, malam menjemput kemudian subuh juga ikut. Setelah subuh ikut siang pun bertaut. Ketika siang sudah pergi ke laut, sore pun datang kalang kabut. Kemudian, sampai juga pada malam yang membuntut.

Perlahan, perlahan, perlahan siklus itu membunuh kewarasanku dan mengikis imanku mencari Ibu. Aku pun sibuk mencari dan sudah berhari-hari. Oh bukan, berminggu. Bergentayangan menembus sana-sini.

Aku hanya memikirkan satu, Ibu. Dimanakah ia berada?

Aku memikirkan kenangan bersama Ibu.

Aku pun tertawa. Aku memikirkan perjalanan bersama Ibu. Aku pun tertawa. Aku memikirkan aku menjadi Ibu. Aku tertawa. Aku memikirkan Ibu menjadi diri ku. Aku pun tertawa. Aku memikirkan Ibu menjadi Ayah. Aku tertawa. Aku memikirkan Ibu menjadi Memikirkan. Aku tertawa. Aku memikirkan Mikir menjadi Ibu. Aku tertawa. Semuanya sangat lucu bukan?

Jelas, semuanya sangat lucu. Lucu sangat semuanya, jelas. Pencaharian ini begitu mengasyikan. Aku sampai hapal orang-orang berangkat kerja, orang membeli nasi liwet untuk sarapan, orang-orang yang di begal setiap pukul sepuluh malam, dan lainnya.

Rasanya, iman dan kewarasanku tidak jadi terkikis. Pencaharian ini menjadi seru! Seperti bermain petak umpet. Bedanya aku seperti tuhan, mampu melihat semuanya dari atas sini. Jadi tidak ada yang disembunyikan.

Tapi jika tidak ada yang disembunyikan, mengapa aku tidak bisa melihat Ibu? Apa tuhan juga tidak bisa melihat Ibu dari atas sana? Oh atau jangan-jangan selama ini Ibu adalah tuhannya? Tapi kalau Ibu tuhannya, mengapa ia meninggal dunia? Atau mungkin, proses kematian adalah tingkatan lanjut manusia menjadi tuhan?
Ah tapi tidak juga. Mungkin bukan tuhan, tapi hantu. Yang meninggal itu hantu, seperti aku. Bergentayangan, tidak memiliki tujuan selain ingin merengek bercerita pada Ibunya yang entah menahu ada di mana.
Sudah berbulan-bulan sepertinya pencaharian ini dilakukan. Hasilnya tetap, NIHIL! Lebih baik tidur sebentar dekat lahan kosong yang banyak tanaman terbakar. Rasanya aku kenal tempat ini? Abaikan, mari tidur.

Akhirnya, aku merasa nyaman, bisa tertidur pulas. Akhirnya, aku bisa merasakan gelap dari pejaman mata. Akhirnya, aku…



Terbangun dalam sebuah onggokan daging kecil, tidak memiliki kekuatan apapun, melayang-layang dalam cairan hangat, bau anyir dimana-mana, warna merah di seluruh penglihatan, dan mendengar suara-suara samar, sepertinya mencoba berkomunikasi.
Aku coba mengingat satu hal dari sebelum terbangun, tetapi apa? Sepertinya tidak ada. Yang harus ku ingat adalah momen ini, sampai kapan pun tidak akan pernah terlupakan. Rasanya sangat hangat dan nyaman. Aku ingin selamanya ada di sini, tertidur pulas.



Sialan aku bilang ingin tertidur pulas, tapi malah dibangunkan oleh seorang wanita berambut pendek dengan seragam putih. Saat terbangun kebingungan pun melanda, mengapa aku duduk di kursi roda? Aku pun di dorong oleh wanita tadi melewati berlorong panjang tak berujung yang di sisinya terdapat jejeran kamar-kamar.

Sesekali saat melewati lorong-lorong, aku mendengar lengkingan jeritan yang sangat menusuk kuping. Aku dapat mengerti arti jeritan-jeritan itu. Mereka sangat bahagia dan ingin meluapkannya seperti Willy yang menendang-nendang bola ke arah ku saat di taman.

Aku pun menyauti mereka dengan senang hati. Lewat rongga mulut, aku pun menyauti mereka dengan maksud sapa. Jeritan dan auman ku kemudian meledak di lorong. Sayangnya, wanita yang mendorong ku malah tidak senang. Ia mendorong kursi rodaku dengan cepat.

Aku malah tidak memahami kenapa wanita yang mendorongku tidak senang. Apakah ia tidak suka bersenang-senang? Atau ia tidak menyukai sapaanku yang kurang keras? Mungkin dengan auman yang lebih keras aku dapat membuat hatinya berubah menjadi senang:

“AAAAAAAAAAAAAAAA, IIIIIIIIIII, AOAOAOAOAOOOOOO”

“AAAAAAAAAAAAAAAA, IIIIIIIIIII, AOAOAOAOAOOOOOO”

“AAAAAAAAAAAAAAAA, IIIIIIIIIII, AOAOAOAOAOOOOOOAOAOO”



Ruangan pun berganti lagi. Aku tidak ingat mengapa bisa berada di ruangan besar yang dari dinding hingga lantainya berisikan bantal putih. Selain itu, tidak ada jendela untuk melihat keluar dan pintu terbuat dari besi dengan gagang besar bertongkat berbentuk lingkaran. Aku hanya mengingat kalau tadi sedang menyapa tetangga yang tidak ku kenal di lorong.

Selain perpindahan ruangan, aku pun merasakan sakit di kepala. Sedikit tonjolan ada di dahi, diikuti bekas luka. Aku pun lemas untuk bangun. Belum lagi, seluruh badan ku terikat oleh kelindan kain.

Kebingungan melandaku lagi.

Aku ingin lepas… dan pergi lagi ke lorong atau tempat manapun, asal jangan disuruh mencari tempat makam Ibu. Dengan sekuat tenaga aku pun berteriak, berharap wanita berambut pendek dengan raut tidak senang tadi menolongku: “TOLONG, TOLONG, AAAAAAAAAAAAA IIIIIIII AAAAAAA UUUUU OOOOOONG.”

Panggilanku tidak mendapat respon. Dengan sekuat tenaga lagi, aku pun mengulangi hal yang sama. Sialan, ragaku makin melemas dan tidak berdaya setiap berteriak. Jika dibandingkan menjadi onggokan daging tadi, aku lebih memilih menjadi itu.

Terbesit satu cara, sepertinya aku harus melepaskan jiwaku lagi. Dengan begitu, aku bisa bebas dari semua ini bukan. Tetapi yang aku tidak tahu adalah bagaimana melakukannya? Oh mungkin seperti ini, aku pun berkhayal sedang menaiki mobil di pagi hari saat menuju kantor, kemudian saat di parkiran tetiba jiwaku terlepas dari ragaku.
Ah tidak bekerja rupanya…

Aku lupa bahwa saat itu bukanlah hayalan, tetapi nyata. Kenyataan yang menyakitkan. Oh mungkin menyakitkan itu adalah wujud asli kenyataan. Dan dengan itu, maka aku bisa melepaskan ragaku!

Tetapi dalam kondisi seperti ini, hal apa yang bisa membuatku sakit? Jika saat itu aku merasa sakit karena menjadi orang tuhan yang kesepian. Sekarang apa? APA?!
Oh aku tahu, cara mendapatkan rasa sakit dengan kondisi seperti ini adalah dengan menempelkan benjolan kepalaku tadi di bantal. Persiapan mental pun aku mulai. Dalam hitungan satu, dua, dan…

Sakit, rasanya sangat sakit. Aku pun menggeliat-liat layaknya ulat di atas daun. Tetapi rasa sakit yang didapatkan belumlah cukup. Mungkin perlu percobaan lagi.
Usaha satu gagal
Usaha dua gagal
Usaha sembilan gagal
Usaha dua puluh delapan gagal
Usaha empat puluh tiga gagal

Aku menyadari satu hal, pencaharian rasa sakit seperti itu tidak berujung. Malahan, benjolanku menjadi besar dan bekas lukanya muncul aliran darah segar. Dengan kekesalan yang memuncak, aku pun mulai membenturkan benjolanku ke bantal.

Usaha satu gagal
Usaha delapan mulai terasa pusing yang hebat
Ternyata ampuh! Lanjutkan!
Usaha dua puluh delapan mulai muntah-muntah karena mual
Usaha lima puluh satu aku sudah tidak dapat melihat apa-apalagi
Usaha tujuh puluh…

 

Penulis: Arrneto Bayliss