Aku tidak sanggup menulis cerita pagi ini. Bukan karena demam, meriang, atau penyakit fisik lainnya. Melainkan semua kisah yang akan kubuat cerita seolah enggan menaruh nyawanya. Malam tadi aku memimpikan mereka, orang-orang, bahkan benda-benda yang pernah kusertakan dalam cerita. Mereka memakiku habis-habisan, menuntutku dengan berbagai ancaman. Wajah orang-orang yang pernah kubayangkan dalam cerita menjelma bara api yang siap membakar habis apa pun yang kupunya. Bahkan diriku sendiri, karena saat ini aku tidak punya apa-apa.
Tadi malam aku tidur cukup larut dari biasanya, pukul dua baru kumatikan lampu, berharap mata ini mau terkatup setelah sebelumnya membaca buku tidak membuahkan sedikitpun kantuk. Dua hari lalu aku memang menulis sebuah kisah tentang seorang jalanan dan keluarganya. saat itu, salah satu dari mereka menceritakannya padaku. Aku tidak pernah benar-benar tahu lebih jauh tentang perjalanan mereka susah payah mencari nafkah, selain dari cerita, aku hanya membaca beberapa berita terkait fenomena yang dialaminya.
Mimpi itu terasa berlangsung begitu lama; saat aku duduk santai dengan leptopku di pinggir sungai. Siang yang cerah membuatku betah menikmati alunan air yang dengan merdu menggericikan tubuhnya pada batu-batu dan genangan mereka. Sayup-sayup terdengar kicau burung gereja tengah bertengger di pohon cemara yang mengelilingiku seutuhnya. Dengan senyum mengembang dan bunga-bunga seolah bermekaran di balik dada, aku menulis kisah tentang apa pun yang kusuka. Sementara jari-jariku terus menyentuhkan ujungnya pada keyboard, layar leptop masih saja kosong tanpa kata-kata. Lucunya, aku seolah menikmati apa yang tengah kulakukan saat itu. Tanpa sadar, matahari beranjak pulang, langit muram mengehentikan aliran sungai dan hembus angin yang menerpa. Aku masih dengan bunga-bunga yang mulai layu bermunculan di dadaku. Kembang senyumku mulai terenggut oleh pekik gagak yang mengerikan, mengantarku melihat kobaran merah pada jauh mata memandang. Warna itu semakin jelas dengan sekumpulan wujud aneh bergerombol mendekatiku. Mereka seperti manusia, namun wajahnya kabur oleh nyala api yang semakin membara. Aku mulai gamang, tubuhku gemetar. Leptop yang semula di pangkuanku tiba-tiba menghilang, menjelma segumpal daging busuk yang mengutuk.
“Berdayakan… berdayakan!” Daging itu bisa bicara. Suaranya menyerupai seorang tua yang seolah kehilangan harapannya.
“Siapa kau?” Manusia dengan bara api di wajahnya semakin mendekatiku. Aku semakin kalut, napasku sesak.
“Siapakah kami?” Suara gerombolan itu semakin kuat. Kakiku terjerat akar pohon yang entah datang dari mana, aku mulai tak bisa berbicara. Jeritku pun bahkan tak bersuarakan apa-apa.
Mereka, iya aku tau mereka. Tapi bagaimana? Mereka mengerubungiku. Aku tak bisa berbuat apa-apa.
“Apa yang kau inginkan? Harus kah kami menaruh harapan?” Tiba-tiba suara gema entah dari mana, seketika menghilangkan gerombolan tadi. Aku ingin menjawabnya, aku ingin mengatakan sesuatu, tapi bisu adalah diriku saat itu.
“Apa yang kau inginkan? Harus kah kami menaruh harapan?” Sekali lagi sambil lalu hilang digantikan hujan yang mengguyur kuyup tubuhku tak tersisa.
Jeritanku mulai menggemakan suaranya, aku hentikan dan menjawab pertanyaan tadi.
“Aku hanya ingin. . .” belum sempat kuteruskan, sebatang pohon cabai dengan manja tumbuh di sampingku. Menyandarkan rantingnya pada bahuku, ia tumbuh begitu tinggi.
“Tidak kah kau ingin menceritakan kami lagi?” buah cabai itu berbisik tepat di telingaku.
“Kami?” tanyaku heran, memastikan siapa yang dimaksud pohon cabai.
“Pohon-pohon yang kau sukai, segala hal yang pernah kita alami,” kata cabai yang kemudian hilang bersama hujan.
“Aku hanya ingin. . .” lagi-lagi aku berusaha menjawab pertanyaan tadi. Ucapanku begitu terbata, selebihnya mataku berkeringat.
Jam di layar handphone menunjukkan pukul dua lebih tiga puluh tujuh pagi. Aku terbangun dengan basah di pipi. Ingatan jelas mimpi itu menyumbat di kepala, menyendatkan udara yang hendak kuhirup. Segera kucari botol air minum, berharap ketenangan sedikit menemaniku. Sayang, kutukan apa membuat aku lupa kalau air terakhir sudah kuminum tadi malam. Agak terhuyung, aku menuju kamar mandi, mencuci wajah tiga kali, kedua lengan, lalu kubasuh kedua kaki setelah sebelumnya menyapukan air pada ujung rambutku. Sekali kubenamkan wajah ke bak mandi, sambil beberapa teguk kualirkan airnya ke tenggorokan. Sekembalinya ke kamar, kubuka layar handphone, bermaksud menghubungi seseorang dan menjinakkan gundah yang semakin menjadi. Kutekan tombol bawah navigasi yang menuju ke daftar kontak. Menekan salah satu angka yang mengarah pada inisialnya. Belum sempat aku melanjutkan pencarian dengan menekan kembali navigasi, aku mengingat kembali mimpi-mimpi itu. Tidak, dia tidak ada di sana. Tidak ada siapa-siapa selain wujud-wujud dalam bayanganku dan aku. Diriku sendiri.
Lantas kubuka layar laptopku. Mendekatkan kursor pada lembar kerja word 2013 dan mulai mengetikkan beberapa huruf, kata, kalimat, belum sampai satu pokok cerita, layar itu kembali mengosongkan lembar kerjanya.
Suara gagak melengking di telinga.
Kubenturkan dahi ke cermin kaca, berharap bangun dengan segera.
Penulis: NH Maryam. Mahasiswa Psikologi UIN Sunan Kalijaga dan bergiat aktif di Teater Eska.