Ada foto yang aku ambil lima tahun lalu, masih kulihat sampai hari ini. Saat dunia hancur, manusia terus mengambil segalanya dariku. Aku punya orang tua, mereka memberiku dunia dan seisinya? Menurut orang begitu, tidak bagiku. Setahun lalu ataupun saat ini, menurutku tiada yang berubah. Kota ini masih sama sejak terakhir kali. Dermaga ini tak berubah meski airnya tak lagi biru. 

Aku mengambilnya sebelum melompat ke laut dan berharap dasar laut menerimaku. Kapal nelayan menanti Dewi malam, saat mereka berlayar. Setidaknya kalau aku tinggal semua barangku sebelum mati saat itu, tidak ada yang meributkan, bukan? Semua orang boleh mengambilnya. Toh aku juga sudah mati waktu itu. Namun, ternyata seseorang berhasil memeluk kedua mataku saat itu. Gelap rasanya tak dapat melihat laut di depan mata yang menjadi tujuan terakhirku. 

“Melompat ke laut, bukan akhir yang baik. Kau tahu? Soal Jake dan Rose di film Titanic? Alih-alih cinta sejati, mereka berpisah atas nama kematian dan balasan dari Rose yang mengkhianati cinta Jake dengan menikah bersama orang lain,” kalimat syahdu itu seakan mengelus pendengaranku. 

  1. Baca Juga

Parkiran Rumah Sakit

Hari Ketiga Pukul Empat

Kemudian, tanpa membuka mataku, lelaki itu menyumbat telingaku dengan sepasang earphone. Tanggal 21 November 2020, lelaki itu hadir dengan Blue and Grey yang melantun dan air mataku tumpah tanpa perlawanan yang berarti. Lagu yang menyelamatkan hidupku, dari akhir yang buruk. Lelaki dengan kemeja flanel dan kaus distro itu, bahkan tidak melepaskanku sampai lagu benar-benar berakhir untukku. Malam itu memang tak pernah terasa menyakitkan selama hidupku yang 20 tahun. Sebelum membuka mataku, dia terus memberikan lagu yang rasanya seperti afeksi yang tak pernah aku dapatkan selama hidup. Menyesal? Tentu, aku menyesal tidak hidup di tengah orang yang menghargai hidup seorang manusia. 

Iklan

“Aku tidak menunggumu. Tetapi, aku akan kembali satu tahun lagi, bertahanlah selama kau belum menemukanku, tendensi atas kematian itu buruk. Lupakan sedihmu, banyak orang yang ingin berkembang bersamamu. Tinggalkan beban hatimu di sini.” 

Kemudian, lelaki itu pergi tanpa jejak setelah membuka tangannya agar aku melihat. Melihat manusia yang berani bertahan hidup, memberikan seluruh tenaganya untuk keluarganya yang jauh. Namun, rasa sesalku benar-benar sirna. Aku kehilangan semuanya, saat kembali ke rumah, tiada lagi yang menyapa sehangat mentari. Aku benar-benar membenci kehidupanku. Tiada orang tua yang memperebutkan hak asuhku dahulu, malah saling lempar karena semua ingin menikah kembali. Memang saat ini aku butuh teman, saat ini memang sulit untuk aku akui. Aku benci ulang tahun ke-17 juga ke-20. Dua puluh lima tahun dan masih bertahan hidup hari ini, memang konyol. 

“Haruskah aku lompat hari ini?”

Itulah yang mungkin bisa aku lakukan. Mencoba tidak peduli dengan semua orang, laut, terimalah aku kali ini. Aku tidak ingin hidup lagi. 

“Hei!” Seseorang kembali menahan tanganku, benar, aku benci. 

“Kenapa lagi?!” Lelaki itu memelukku dalam diam. 

“Maaf, karena aku tidak kembali dalam satu tahun, sesuai janjiku. Bisa berkenalan?” Lelaki itu masih memegang tangan sambil memelukku. 

“Jangan, terlibat lagi, aku sakit, kau bahkan tidak akan mengerti,” aku akhirnya memberanikan diri untuk menolaknya.

“Aku sudah lulus dan bisa praktik sebagai psikiater. Aku Chandra, maaf aku terlambat datang,” lagi-lagi lelaki itu takingin membalikkan badanku. 

“Aku Archella, biarkan aku pergi sekarang. Tolong, setidaknya kau manusia terakhir yang aku kenal di sini, jangan terlibat apa pun denganku!” Perintahku membuatnya mengeratkan pelukannya. 

Iklan

“Tidak, jangan pergi, belum waktunya, bertahan sekali lagi,” pekikan Chandra kini sangat keras di telinga. 

“Ayo bicara.” Lelaki itu takmelepaskan pelukannya, makin erat rasanya mencengkeram bahuku. 

Tak ada yang bisa aku lakukan di usia 25 ini, tidak ada pula yang mengharapkan aku. Lulusan terbaik tidak membuatku dipandang, di pekerjaan justru lebih aneh. Rasanya sungguh tidak mungkin bicara dengan lelaki yang baru saja aku kenal masalah ini meski dia psikiater. Duduk di sebuah warung otak-otak di atas laut, memang di sini akhirnya. 

“Archella, sudah berapa lama?” Dia, bahkan mengajakku bicara.

“Jangan terlibat terlalu jauh,” aku menjeda perkataanku.  

“Tidak ada yang mau aku hidup.” 

“Sepertinya kau salah, ada seseorang yang berusaha menjadi psikiater karena mu. Orang yang berusaha tiga kali bunuh diri selama delapan tahun.” Sembari menyesap teh manis, lelaki itupun bertutur manis.

“Oh, selamat kalau begitu. Setidaknya pernah sekali aku berharga dan sisanya tidak. Ya buat apa juga aku hidup, diasingkan di pekerjaan karena pekerjaan baik, diasingkan di perguruan tinggi karena lulusan terbaik, diasingkan keluarga karena dianggap beban perceraian. Aku tidak mau menikah karena ya … dunia ini terlalu busuk, bukan begitu?” Aku hanya mencoba kabur setelah ini, berharap ia benar-benar melepasku. 

“Aku ingin terlibat denganmu seumur hidupku kalau begitu jadikan aku tujuanmu. Jika kau diasingkan, pulanglah padaku.” Dia menyapu anak rambutku dengan halus. 

Apa ini yang aku rindukan? Sepertinya … tidak. Dunia berputar terbalik, mentari selalu terbit dari sebelah barat, tetapi aku tidak mati sampai hari ini. Bau anyir khas hasil laut menyapu indra penciumanku kali ini. Chandra namanya, lelaki yang sekali lagi menyelamatkan aku. Lelaki itu, bahkan selalu memperhatikanku. 

“Archella, makanlah yang banyak, selagi aku bersamamu. Bagaimana hari ini?” Lelaki itu masih lekat menatapku. 

“Biasa saja, hanya aku yang mau menyerah.”  

“Kalau dunia berakhir untukmu, aku juga kehilangan diriku. Ayo bertahan hidup bersama. Kau gadis yang bicara padaku saat semesta tak pernah mempercayaiku.” Senyum sore itu, rasanya tak ingin aku akhiri.

 

Penulis: Namira