‘’Waktu yang tersisa hanya beberapa bulan, sakit ini sudah tidak dapat disembuhkan.’’ Itulah kesan pertamaku di rumah sakit ini, tak sengaja mendegar percakapan ponsel seorang pria dewasa. Aku yang sedang duduk di trotar parkiran bisa memastikan ia bukan pria tua, terlihat dari perawakan tubuhnya yang gagah, kemeja hitam garis-garis berserta rambut hitamnya.
Aku yang sedang menghisap rokok, mulai menghisap lebih dalam, karena tidak pernah terbayang akan mendengar perkataan itu. Mungkin aku pernah mendengar dalam sebuah Film, tapi kali ini aku benar-benar mendengarnya langsung. Entah apa yang aku pikirkan, aku menatapnya terlalu lama, hingga ia akhirnya sadar bahwa aku memperhatikan dia.
‘’Sudah dulu ya, mau bagaimanapun ini sudah ketetapan tuhan, Ayah tidak bisa melakukan apa-apa. Nanti mari kita semua menghabiskan waktu lebih lama. Ayah mau menyetir dulu.’’ Ucapannya terdengar jelas, karena memang ia mendekatiku.
‘’Hai Nak! Bukannkah tidak sopan menguping pembicaraan orang lain?’’ kata pria itu.
‘’Maaf, bukan maksud saya menguping, tetapi saya hanya terkejut soal tadi. Sesuatu yang anda katakan.’’ Aku menjawab dengan tenang.
Aku melihat senyuman tipis hadir setelah aku menyampaikan kata-kata itu.
‘’Benar, mungkin kau akan terkejut. Karena memang orang yang ada disebelahmu ini akan mati sebentar lagi.’’
Aku tidak menimpali perkataannya, hanya menganggukan kepala, sembari menghisap batang rokok itu lagi.
‘’Apa urusan anak semuda anda di rumah sakit ini?’’
‘’Dokter bedah, saya memilki urusannya jadwal operasi, dia harus mengeluarkan sesuatu yang tidak perlu dari tubuh saya.’’ Aku menjawab sembari melihat wajahnya.
‘’Oh, liat disana! Ada pertengkaran antar keluarga, dulu saya juga sempat ada pada masa saat saya bertengkar dengan istri saya. Tidak jauh penyebabnya dari penyakit yang saya derita ini. Tidak sama seperti mereka yang hanya berargumen saja. Saya dulu sampai memecahkan kaca rumah.’’
Sebenarnya aku tidak tertarik dengan perkataannya, hanya membuang waktuku. Saat ini, pikiranku hanya fokus untuk cepat keluar dari rumah sakit ini. Lalu, kembali bekerja seperti biasa.
‘’Sepertinya kamu sangat kaku, wahai anak muda,’’ katanya sambil melihatku, matanya juga mengerut seketika.
Baca Juga:
‘’Bagaimana rasanya, mengetahui sisa umur bapak?’’ tanyaku masih penasaran.
‘’Wuah, wuah, wuah. Anda ini terlalu terburu-buru, obrolan tidak bisa dibuka seperti itu.’’ Perkataan yang santai, berbeda dari sisa umurnya.
Setelahnya, ia mulai membicarakan sedikit tentangnya. Anak muda, saya lahir di daerah pegunungan Jawa Barat. Memustuskan lanjut kuliah, ini adalah yang saya syukuri. Waktu saya muda, perkuliahan itu mahal. Maka berutunglah saya bisa berkuliah. Itu juga jadi awal saya bertemu istri saya. Umur saya sudah 42 tahun. Bukan umur yang tua, malah ini adalah puncak dari produktifitas manusia. Ia bercanda denganku. Apakah aku memilki perempuan? Tapi aku tidak menjawabnya.
‘’Jadi bagaimana?’’ balasku kembali ke pertanyaan awal.
‘’Kau benar-benar penasaran, coba sebelum itu, anda membayangkan posisi saya. Tahu bahwa kematian yang tidak bisa dihindari akan datang.’’ Lagi-lagi berkata dengan santai.
Akupun terdiam, melihat batang rokok habis tak terisap. Lalu, membakar satu batang yang baru. Dalam hati aku tidak bisa merasakan apa yang bapak itu rasakan. Hidupku sedari dulu hanya melakukan apa yang seharunya dilakukan. Tumbuh, melewati masa sekolah, masa perkuliahan, hingga saat aku bekerja sekarang. Terkadang aku sadar bahwa kematian akan datang, tapi aku tidak pernah khawatir.
‘’Hayo, bagaimana?” tanya bapak itu.
Aku masih diam. Hanya melihat matanya, banyak kesedihan, aku juga melihat satu air matanya keluar. Kenaifan soal berumur panjang, terbentur dengan realita kematiannya. Tak lama, aku lihat menangis. Ia buru-buru menyeka matanya. Dan kembali tersenyum. Ia menatapku dengan tatapan yang sangat tajam. Seumur hidupku, aku tidak pernah melihat mata seperti itu. Tapi aku tahu itu adalah tatapan penuh penyesalan.
‘’Sepertinya banyak penyesalan di Mata Bapak? Saya melihatnya, merasakannya. Satu hal yang hingga saat ini saya pahami dalam hidup. Bahwa saya hidup bukan untuk penyesalan,’’ jawabku dengan tegas.
‘’Hahahahaha….’’ Tawa kerasnya membuat telingaku cukup sakit.
“Memang harusnya seperti itu, tapi izinkan saya sekarang anak muda. Untuk menyesal hanya disini, saat ini. Saya tidak ingin keluarga atau siapapun selain Anda, melihat wajah ini. Saya ingin meninggalkan semua dengan baik,” ucap bapak itu dengan segala perasaan gelisah.
‘’Kenapa harus saya? Anda juga menunjukannya kepada yang lain, menunjukan perasaan bukanlah sesuatu hal yang salah. Kalau seperti itu, bolehkan saya tahu penyesalan yang Bapak rasakan saat ini?”
‘’Firasat saya, bercerita pada Anda akan menyenangkan,’’ kata Bapak itu dengan wajah yang berbeda, keceriaan yang tadi hilang, muncul seketika.
Setelah itu dia melanjutkan perkataanya, ‘’Saya menyesalkan, kenapa dahulu saya tidak bisa bekerja lebih keras. Memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarga saya. Khususnya kepada istri saya, dia banyak mendapat susah saat bersama saya.’’
‘’Hanya itu? Materi saja? Soal uang?’’ tanyaku.
Ia berkata kepadaku bahwa uang adalah pondasi dalam berumah tangga. Banyak sekali masalah yang menimpa keluarga karena uang. Dahulu, saat ia sedang terpuruk, anak keduanya tumbuh dalam kandungan dengan gizi yang terbatas. Hingga saat ia mulai tumbuh, dia mudah sakit. Saat itu berhari-hari saya terpuruk dan menghabiskan waktu memancing. Tanpa sadar bahwa keputusan saya memilki anak kedua, tidak diiringi dengan tanggung jawab.
‘’Bukanlah saya melihat saat ini Bapak memiliki perekonomian yang membaik. Dari apa yang saya ketahui bahwa rumah sakit ini hanya menerima pasien berada,’’ kataku dengan menatap matanya dengan tajam.
‘’Itu benar, saat ini uang memang bisa mencukupi, bahkan berlebih, tetapi tetap tidak bisa membeli waktu. Waktu ialah apa yang saya sesalkan. Mengira bahwa masih ada waktu, tetapi sebenarnya saat ini tidak ada waktu, benar-benar tidak,’’ ucapnya dengan tenang.
Keheningan menimpa kami, sebatang rokok yang sudah aku bakar, hanya tinggal abu. Aku lupa untuk menghisapnya. Tak lama berselang aku merasakan jantungku berdebar, kembali menerima rasa sakit. Aku hanya menahannya, wajahku yang mengerut menahan segala sakit ini.
‘’Hei, anak muda, ada apa denganmu?’’
‘’Tidak apa, sesekali memang seperti ini,’’ ucapku dengan suara yang payau.
Ia kemudian masih menatapku. Aku bisa merasakan rasa khawatir yang bergejolak darinya.
‘’Bapak tau satu hal? Saya memiliki kelainan jantung, Ini bisa membuat aliran darah saya terhenti. Saya sedang menunggu donor. Menunggu orang baik yang memberikan jantungnya pada saya.’’
Sontak tidak lama ia berkata, “Bagaimana dengan jantungku?”
‘’Tidak usah, saya tidak butuh rasa kasian dari bapak,’’ jawabku dengan tegas.
Aku berdiri dari trotoar melihat langit, sangat indah. Dari ujung mataku yang lain, aku melihat bapak tersebut berlari untuk mencari pertolongan. Aku diam-diam mengikutinya dari belakang. Aku mendengar bahwa bapak itu menanyakan kondisiku. Wajahnya terkejut saat mendengar perkataan dokter, Aku sudah tidak bisa menerima donor Jantung. Dokter itu juga mengatakan bahwa tujuanku kemari untuk mencari second opinion (pendapat yang berbeda) dari dokter yang ada di Rumah sakit ini. Lagi-lagi dokter di sini juga mengatakan bahwa tubuhku sudah tidak kuat untuk masuk meja operasi. Terlambat, aku tidak beruntung.
‘’Sudah kubilang tidak usah,’’ kataku sembari perlahan mendekatinya.
‘’Kenapa kau tidak bilang?” tanya dengan tegas.
‘’Untuk apa? Saya tidak pernah menyesali hidup saya. Waktu yang saya diterima, bagi saya sudah cukup,’’ balasku.
Setelah obrolan itu, aku mengajak bapak itu makan. Kami bertukar nomor ponsel dan memutuskan untuk berteman. Saling memberi kabar, bahkan berkunjung beberapa kali. Hingga aku mendapat kabar dari istrinya, bahwa dia telah meninggal. Berbeda dari kebanyakan orang, aku tidak terkejut. Aku sudah mengetahuinya. Bergegas aku pergi ke rumahnya. Karena jarak yang cukup jauh. Aku hanya diberitahu istinya bahwa ia sudah dikuburkan.
Setelah itu istrinya berkata kepadaku, ‘’Bapak menyampaikan pesan bahwa terima kasih sudah menjadi temannya. Bapak pergi duluan.’’
Terdiam, aku hanya terdiam, lalu pergi ke kuburannya.
Penulis: Ihsan