“Hujan selalu menepati janjinya, dia datang beriring dengan bulan. Mulai Juni hingga penghujung tahun, tak hentinya dia jatuh membasuh bumi dan jiwa-jiwa didalamnya. Biasanya dia membawa kesuburan dan kabar-kabar baik. Tapi mengapa kali ini kau berubah menurunkan pesan kesialan?”
Lima purnama telah berlalu begitu cepat memang, sambil membalik tanggalan yang kudapat dari sebuah toko kelontong. Kurenungi sejenak semua kejadian-kejadian lalu. Tidak ada perubahan ternyata dari kehidupan penuh kebosankan ini. Bangun, tidur, bekerja, paling banter buang air besar, dimana spesialnya?
Tapi sudahlah bulan baru telah datang, pertanda kantong bisa sedikit terisi tebal. Meski hanya mendapat gaji, diambang batas untuk makan saja. Apa yang diharap dari pekerjaan seorang kuli bangunan proyek. Mau mengangkat bersak-sak semen atau ribuan batu batu sehari, tetap saja tenaga tersebut dibayar murah.
Joko panggilan akrabku, berasal dari daerah di kaki perbukitan Jawa Tengah. Teman-temanku mengatakan daerahku adalah penghasil pekerja bangunan yang handal. Meski setelah kusadari, omongan tadi hanyalah bualan belaka. Sebab aslinya masyarakat desaku adalah petani besar dari tanah garapannya, tetapi semakin tahun lahan tersebut mengecil direbut orang-orang jauh. Hilanglah sudah pekerjaan, makanya pekerjaan dikota terasa menjanjikan memang.
Aku tinggal di sebuah kamar sempit di timur ibu kota yang cuma cukup menaruh sebuah lemari dan kasur. Kamar barusan kutinggali bersama temanku Ahmad, seorang pemuda berbadan tinggi dengan lingkar mata sedikit lebar. Walau sebenarnya tak layak untuk ditinggali berdua, mau tak mau harus dipaksakan. Biaya sewa begitu tinggi, bisa-bisa gaji bulanan habis untuk sekedar tempat tinggal.
Terdapat dua belas kamar di kos tersebut, aku tak mengenali semua penghuninya. Mungkin karena kebanyakan wajah-wajah mereka terus berganti setiap malam. Pernah suatu ketika, diriku sedang asyik nangkring menikmati sebatang rokok. Seorang pria mondar-mandir menunggu jemputan salah satu wanita penghuni kosku. Aku tak berkomentar banyak soal apa yang mereka lakukan, toh kami sama-sama butuh uang untuk menyambung hidup.
Pernah suatu ketika kosku didatangi beramai-ramai. Kulihat ada yang mengenakan sorban membawa kayu dan batu. Kemudian sepasukan orang berbaju krem dengan mobil berwarna abu-abu. Saat kutanya katanya tempat tinggalku adalah sarang pelacur dan menimbulkan keresahan di masyarakat. Makanya keduanya turun tangan melakukan penggerebakan, katanya sih untuk menertibkan.
Awalnya aku sedikit menaruh rasa hormat. Namun satu jam pasca penggerebakan saat rembulan pas diatas kepala, kebanyakan mereka bergantian masuk kamar. Beriringan dengan suara desahan bak berlomba mengisi malam. Sudahlah siapa yang dapat menolak kenikmatan duniawi celotehku pada Ahmad.
Bak hari-hari lalu, matahari kembali melukis semburat di timur. Sebuah pertanda atau ejekan buat diriku, memaksa untuk bangun dan bekerja. Diantara kami berdua, Ahmad paling rajin menyambut pagi. Saat bangun biasanya aku melihat dia sedang duduk bersila, melantunkan ayat-ayat Ilahi. Hal barusan juga membuatku sedikit malu, sebagai seorang yang mengaku memiliki agama. Akan tetapi, tak pernah sekalipun diriku sembahyang atau berkeluh kesah meminta sesuatu kepada tuhan.
Lain halnya hari ini, sebab dari malam sebelumnya aku sudah membayangkan mengantongi segepok uang dari pekerjaan bulan lalu. Maka dengan semangat, aku langsung bangun mengambil peralatan mandi bersiap berangkat ke tempat proyek. Temanku tak begitu kaget melihat kejadian barusan, sebab dia hafal betul awal bulan adalah kemenangan.
Setelah mandi Ahmad dan diriku duduk sebentar menyeruput segelas kopi dan menikmati sebatang kretek yang rasanya sudah sedikit apek ketika dihisap. “Tenang Mad, habis gajian kita beli rokok yang sedikit lebih enak dan jangan lupa kopi bermerek di dekat stasiun sana,” ucapku. Dia hanya mengangguk, mengiyakan perkataan barusan.
Sudah setengah tujuh Ahmad mengajakku bergegas, seketika dirinya sudah duduk di atas sebuah sepeda motor tua yang kadang ketika melaju sudah enggan. Kami berangkat menyusur jalan pinggiran ibukota, menuju daerah pusat bisnis dan perekonomian. Disanalah tempatku mengerjakan sebuah bangunan empat puluh lima lantai, yang kelak digunakan sebagai kantor sebuah perusahaan ekspor-impor.
Ahmad tak seperti diriku, dia tak pernah mengeluh dengan pekerjaan ini. Walau dibayar murah, baginya sudah cukup untuk menabung guna memenuhi mimpi sederhananya menikahi gadis pujaannya di desa. “Jok! Terpenting kulo bisa nabung buat kawin, syukur-syukur bisa beli tanah buat Bertani di desa. Biar tidak usah jauh-jauh kemari buat bekerja,” terang Ahmad ketika menjelaskan mimpinya.
Di tengah perjalanan hujan membasuh, membuat kami berteduh sejenak. Memang juni selalu jadi awal air-air turun. Bagiku hujan merupakan anugerah tersendiri dalam hidup, sebab dia selalu datang membawa kesyukuran. Di desa ketika hujan berarti bertanda tanah bertemu kesuburannya, sedang di kota bertanda dapat terlambat bekerja atau bahkan libur buatku.
Saat sedikit reda, kami melanjutkan perjalanan. Lepas lima belas menit pemandangan pinggiran kota sudah berganti gedung-gedung tinggi. Tandanya sudah tidak terlalu jauh dari tempat kerjaku. Kulihat sebuah gerbang putih dengan tulisan “Hati-hati sedang ada proyek” dikejauhan.
Setibanya kami berdua memakirkan motor, di sebuah tanah lapang pinggiran gedung. Setelahnya aku dan Ahmad langsung mengikuti apel dengan kepala proyek. Rutinitas membosankan di awal bekerja, mendengar omongan-omongan kosong. Biasanya bicara keselamatan, gaji cukup untuk pekerja teladan, serta janji manis lainnya. Kuhitung tak ada yang pernah terjadi, barang satupun.
Kami dan pekerja lainnya berbaris, seketika kepala proyek maju dan membuka omongannya. “Pertama saya ucapkan kata maaf sebesar-besarnya untuk kalian semua. Proyek ini harus dihentikan dan kalian semua terpaksa kami berhentikan. Namun jangan risau, gaji bulan kemarin akan tetap dibayarkan hari ini bersama uang pesangonnya. Sekali lagi dengan hati tulus saya mengucap kata maaf.”
Semuanya diam tak tahu lagi ingin berkata apa, bingung sudah pasti. Kami semua pekerja kebanyakan berasal dari kampung, tak punya pekerjaan lain. Bak disambar petir aku tersadar, bulan hujan kali ini ternyata membawa kabar buruk. Ada apa denganmu hujan tak biasanya kau membawa kesialan ini?
Baca Juga: Sirine [Akhir]
Dua juta rupiah gaji dan pesangonku keseluruhannya, uang yang kupikir sangat tidak pantas dengan tenagaku selama ini. Sedikit marah aku seketika berteriak dikerumunan orang-orang, “Apa kalian terima hanya diberi uang segini, sedangkan mereka masih bisa dapat uang lebih.” Kulihat teman-temanku hanya menunduk meratap nasib menerima saja semuanya dengan pasrah.
“Joko, tahan! Gak pantes sampeyan ngomong begitu kita kan sudah dibayar yang penting,” ucap Ahmad menenangkanku. Tetap saja kata-kata tadi tidak cukup menenagkanku, diriku sudah terlanjur kalap. Seketika aku berlari kedepan menghampiri lelaki berbutuh tambun “Si kepala Proyek”. Kuayunkan sebuah pukulan tepat dimukanya, saat itu juga dia langsung terjatuh sambil meringis kesakitan.
Dari belakang kudengar teriakan-teriakan dari teman-teman kerjaku sesama kuli. Mereka ikut tersulut api kemarahan. Meski kami hanya pekerja kasar tidak sepantasnya kami diperlakukan demikian. Dengan kekuatan yang ada, barang-barang proyek dihancurkan. Banter kami bisa meluapkan emosi sejenak dari pekerjaan-pekerjaan lalu.
Tidak lama berselang datang sepasukan polisi, menembakkan sebuah peluru ke udara. Kami semua terdiam tak berani bergerak. Tiba-tiba salah satu dari mereka mendatangi, sembari berteriak “Kamu provokatornya kan?” Aku terdiam polisi tadi langsung memasangkan sebuah borgol ketanganku.
Bersamaan hujan turun, aku dibawa melewati teman-temanku. Sambil membusungkan dada sebelum dimasukkan ke dalam mobil. Diriku berteriak, “Kita hanyalah hewan buat mereka, sekedar dihargai tenaganya dengan uang yang cukup untuk makan besok hari saja. Tak ada yang perduli jika kita mati disini. Seenaknya saja memecat dan memulangkan kita ke desa, sedangkan di sana mereka juga merampas tanah dan membangun seenaknya. Sudah saatnya kita berdiri melawan mereka!”
Hujan terus turun begitu deras semalaman, kini aku tertidur dalam sebuah sangkar besi. Mendengarkan hujan sambil ditemani temaram rembulan keenam. Dingin begitu terasa tapi tidak denganku, api kemarahan masih terus membara. Hujan kali ini tidak bisa membasuh itu, dia berkhianat bersama rembulan.