“Omnibus law semakin menghancurkan buruh,” tegas Nining Elitos, Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dalam acara bertajuk “Mengusir Bala dari RUU Cilaka di Bara Futsal, Kebayoran Baru (15/2/2020). Serikat SINDIKASI menjadi tuan rumah dari acara tersebut. Selain Nining Elitos, turut juga menghadirkan Rahmat Maulana Sidik (Indonesia for Global Justice/IGJ) dan Nuraini (SINDIKASI) sebagai pembicara.
Omnibus law merupakan realisasi dari pidato kenegaraan (16/8/2019) bahwa akan ada transformasi ekonomi dan penyederhanaan regulasi. Maulana menuturkan bahwa rencana tersebut berangkat dari defisit dalam neraca perdagangan Indonesia. Defisit tersebut mencapai US$ 3,20 milyar sepanjang tahun 2019.
Maulana juga mengkritik bahwa penyusunan omnibus law pada hakikatnya memuluskan investasi. Masalah yang menghambat investasi, akan diatasi oleh pemerintah dengan diskon pajak korporasi dalam omnibus law. “Diskon ini membuat kita terus menuntut untuk ekspor bahan-bahan mentah, sehingga sumber daya alam kita terkuras,” tambah Maulana, yang juga sebagai Koordinator Riset di IGJ.
Nining mengatakan bahwa omnibus law tidak melibatkan partisipasi rakyat di dalamnya. “Mereka (pemerintah -red) tidak pernah membuka konsep penyusunannya kepada kami,” ucap Nining yang juga merupakan Juru bicara Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) ini.
Nining begitu kesal dengan tindakan pemerintah yang mencatut nama KASBI tanpa persetujuan ke dalam tim penyusun Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka), salah satu RUU yang masuk dalam mekanisme omnibus law. Karena hal itu, serikatnya memilih walk out dalam rapat bersama Kementerian Ketenagakerjaan (13/2/2020). Ia memberi alasan dengan mengatakan draf yang disusun tidak pernah melibatkan KASBI dan sikapnya tegas menolak RUU tersebut.
“Kita tidak pernah diminta pendapat tapi tiba-tiba drafnya sudah sampai di DPR. Penyusunannya dilakukan secara diam-diam. Tim yang kemarin rapat dengan kami sifatnya formalitas saja,” kesal Nining.
Masih terkait dengan RUU Cilaka, Nining menampik bahwa RUU Cilaka hanya membahas persoalan ketersediaan lapangan kerja saja. “Kalau melihat RUU Cilaka, pasal-pasalnya memastikan kepentingan pemodal untuk mengeksploitasi baik sumber daya alam maupun manusianya,” tegasnya.
Pasal-pasal ini semakin didukung oleh data yang dipaparkan oleh Nura. Kepala Advokasi SINDIKASI ini mengatakan bahwa ada beberapa pasal yang merugikan buruh. Salah satunya adalah Pasal 77A dalam RUU Cilaka yang memungkinkan buruh dipekerjakan tanpa batasan waktu yang jelas. Pasal ini menurutnya membuat kelebihan jam kerja bisa tidak dihitung lembur.
Hal ini juga didukung oleh temuan Nining soal Peraturan Pemerintah tentang Pemagangan No. 36/2016 yang salah satu isi pasalnya perusahaan menyediakan kontrak kerja yang sepihak kepada buruhnya. Menurutnya, kontrak kerja ini semakin membuat buruh penuh dengan keterancaman.
Ditambah dengan Pasal 154A yang memberi jalan bagi korporasi untuk melakukan PHK secara sepihak, serta Pasal 184 yang menghapuskan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak membayar pesangon kepada karyawannya. “Ini membuat buruh semakin menjadi budak korporat. Apalagi ada kontrak abadi yang dibuat oleh perusahaan,” keluhnya.
“Kontrak abadi” yang dimaksud oleh Nura adalah kontrak sepihak yang ditentukan oleh pengusaha kepada pekerja pada Pasal 59. Kontrak ini membuat buruh berpotensi menjadi tenaga kontrak seumur hidup. Nura mengkritik bahwa kontrak ini membuat perusahaan bisa dengan mudah memecat buruh.
Nining mengomentari soal fleksibilitas yang disebut dalam RUU Cilaka. Ia mengatakan bahwa fleksibilitas yang dimaksud adalah bagaimana perusahaan mencari calon pekerja yang bisa dibayar semurah-murahnya. “Dengan adanya RUU Cilaka ini, memuluskan praktik fleksibilitas tersebut. Pemerintah nantinya sudah lepas tangan akan urusan pekerja dan pemberi kerja,” katanya.
Penulis/Reporter: M. Rizky Suryana
Editor: Vamellia B. C.