Perlahan tapi pasti, pencemaran air sungai dan laut makin menyeret petambak kecil di pesisir Karawang pada krisis ekonomi.
Warno masih ingat persis tragedi empat tahun lalu. Tepatnya pada 2019, ketika daerah pesisir dari Kabupaten Bekasi hingga Desa Cilamaya di Kabupaten Karawang, terkena tumpahan minyak dan gelembung gas Pertamina di lokasi pengeboran lepas laut milik PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (ONWJ).
Peristiwa itu menjadi kiamat kecil bagi masyarakat pesisir utara, khususnya petambak ikan seperti dirinya. Warga Desa Muara, Kecamatan Cilamaya Wetan itu mengatakan 2 bulan lebih ia tak punya pemasukan dan selalu gagal panen.
“Sudah biasa,” ujarnya pada tim Didaktika sambil mengangkat bubu udang yang kosong, Senin (20/11).
Karena itu ia mesti mendengar lagi keluhan dari anak-anaknya. Sebab kedua anaknya yang kini duduk di bangku SD dan SMA, kerap merajuk jika tak diberi uang jajan untuk berangkat ke sekolah. “Nanti ga bisa beli es,” katanya menirukan eskpresi anak-anaknya.
Dulu, udang menjadi penunjang pendapatan hariannya, lelaki berusia 64 tahun itu bercerita kalau dirinya bisa mendapat sekitar Rp.100.000 dari 2-3 kg udang perhari. Namun semenjak 10 tahun terakhir, pemasukannya dari udang semakin berkurang, bahkan seringkali nihil.
Komoditas udang bago atau udang windu yang dulu sering ia dapatkan menjadi amat sulit. Kalau pun ia dapatkan, udang tersebut lebih cepat mati.
“Jarang ada yang bisa bertahan, entah airnya atau apa. Sekarang paling besar cuma segini (setengah jari kelingking), setelah itu mati,” katanya.
Di samping udang, Warno juga membudayakan mujair dan bandeng. Namun, dalam satu dekade terakhir jumlah panen dan pendapatannya terus merosot. Dulu, Warno dapat meraup paling sedikit Rp2 juta per dua atau tiga bulan dari budidaya ikan air payau tersebut.
Keadaan tersebut kini berbalik, lelaki yang telah membudidayakan ikan selama setengah abad itu hanya mendapat Rp1,8 juta per semester, itu pun tak jarang ia alami gagal panen. Warno melihat, masalahnya terletak pada kualitas air yang kini tak bisa mendukung perkembangan ikan di tambaknya.
“Sejak banyak limbah nanam bibit makin susah, apalagi bagi petambak penyewa, gimana bayarnnya?” ujarnya.
Limbah menjadi musuh utama para petambak selama ini, ia bisa datang dari manapun. Kebocoran minyak di tengah laut memang sebuah episode buruk bagi Warno dan yang lain. Namun masalahnya tidak hanya dari kebocoran, limbah dari hulu sungai Cilamaya yang makin parah tahun ke tahun menjadi penabur garam dari luka para petambak.
“Sebelum kejadian bocor itu, kami sebenarnya sudah engap-engapan,” tegasnya.
Sungai Cilamaya Riwayatmu Kini
Tambak yang digarap Warno terletak di antara dua aliran di pesisir Cilamaya Wetan, yaitu sungai Cilamaya dan Kalen Bawah. Dua aliran ini berasal dari Bendung Barugbug yang terletak di Desa Situdam, Jatisari, Karawang, bendungan yang jadi titik perpecahan aliran sungai Cilamaya. Wilayah yang dialiri aliran dan anak-anak dari sungai Cilamaya kemudian disebut Daerah Aliran Sungai (DAS) Cilamaya.
Sungai Cilamaya memiliki panjang sekitar 97 kilometer yang membelah tiga kabupaten yaitu kabupaten Karawang, Purwakarta dan Subang. Sungai ini bersumber di Curug Cilamaya, Desa Parakaneur, Kiarapedes, Purwakarta. Sedangkan luas cakupan DAS-nya sendiri, berdasarkan Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat, mencapai 60.993 Ha melingkupi 21 Kecamatan dan 118 Desa.
Muslim, Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (Fordas) Cilamaya Berbunga, mengatakan persebaran anak sungai ini sangat vital bagi kehidupan masyarakat di tiga Kabupaten itu. Dari mencuci pakaian, memasak, mandi, hingga jadi sumber mata pencarian. Sehingga dampak dari segala bentuk kerusakannya tidak main-main.
Dirinya juga menuturkan, seiring dengan munculnya pabrik-pabrik penghasil limbah sejak 1990-an, kualitas air sungai Cilamaya pun semakin buruk. Tahun 2000 menjadi waktu pertama DAS Cilamaya ditemukan tercemar, saat itu warnanya sudah menghitam.
Pada tahun 2021, terdapat 56 pabrik penghasil limbah di DAS Cilamaya. 51 di Purwakarta, 5 di Subang, dan 1 di Karawang. Lima di antaranya saat ini tak beroperasi. Kebanyakan dari mereka merupakan pabrik kertas dan tekstil yang membuang limbah langsung ke sungai tanpa IPAL dan proses pengolahan.
Muslim bilang sejak 2019, ada 11 perusahaan diberi sanksi administratif oleh Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat. Ia bercerita tahun itu menjadi salah satu episode buruk bagi DAS Cilamaya. Kondisi sungai sudah menghitam pekat dengan buih-buih kuning tebal yang dilengkapi dengan aroma tak sedap.
“Kalau waktu itu sudah separah itu, bisa jadi DAS Cilamaya sudah tercemar jauh sebelumnya,” tuturnya.
Dari catatan Muslim, 731 orang di 13 Desa di Karawang menjadi korbannya. Dari jumlah itu 13.3 persen mengalami gatal-gatal, 8.6 persen pusing, 7.1 persen mual, 2.2 persen dari kalangan petani mengalami gagal panen.
“Itu puncaknya, dari situ kami berpikir perlu ada upaya ekstra,” kenangnya.
Sejak itu Muslim mengaku gejalanya makin beragam. Di banyak tempat di DAS selalu terjadi banjir tiap tahunnya karena sedimentasi. Bahkan fenomena longsor pun tak terhindari lagi, sebab zat-zat pencemar yang mengalir di sepanjang sungai kerap mengikis tanggul-tanggul dan pohon-pohon di wilayah sepadan sungai.
“Di wilayah hilir, hampir semua air sungai masuk ke pertambakan,” katanya.
Terlilit Hutang, Terjebak Tengkulak
Atang adalah salah satu yang kena getahnya. Tambaknya berada sekitar 1.7 kilometer ke arah Barat dari tambak Warno, dekat muara sungai Cilamaya yang jadi perbatasan Kabupaten Karawang dan Subang.
Sudah satu bulan sejak ia mulai menanam bibit. Kali ini ia menanam 6.000 bibit bandeng untuk 2 hektar tambaknya, lebih banyak seperti biasanya yang hanya 5.000. Katanya ia merasa sedang berjudi. Sebab sejak 6 tahun terakhir ini pola pendapatannya berubah semakin tak menentu.
Ia mengatakan hari ini bibit yang ditanam belum tentu jadi hasil panen semua. Atang mengaku sering mendapati 5.000 bibitnya banyak yang mati dan menyisakan hanya sekitar 1-2 ribu bandeng, bahkan pernah tidak ada sama sekali. “Katanya sih karena hama, tapi hama seperti apa bisa habisin (ikan-ikan) ini?”
Dengan menanam 6.000 bibit, ia berharap setidaknya bisa menyisakan hasil panen yang lebih banyak. Dirinya menganggap 1000 bibitnya sebagai tumbal untuk alam. Meskipun Atang juga menyadari kalau dirinya tetap merugi bila limbah datang dari sungai Cilamaya. .
Berdasarkan pengalamannya, dalam setahun sungai Cilamaya mendatangkan limbah tiga sampai empat kali. Limbah mematikan tanaman air seperti eceng gondok hingga Ikan-ikan di sepanjang sungai.
Masalahnya bagi Atang, limbah yang datang tidak selalu terlihat, entah dari warna ataupun bau. Sehhingga para petambak kerap kecolongan karena tak sempat menutup saluran tambak dan memindahkan ikan.
“Udah nasib, mau nuntut juga ke mana? Ke siapa?” ungkapnya kepada Didaktika pada Rabu (23/11).
Kerusakan yang terjadi di Sungai Cilamaya telah membawa Cardam ke dalam lingkaran hutang. Pria dengan tiga anak itu mengaku, guna menunjang kehidupannya ia harus menghutang pada bank emok untuk kebutuhan sehari-hari. Sedangkan untuk modal tambaknya, ia mesti menyandarkan nasibnya pada tengkulak.
Musababnya, kegiatan tambaknya sekarang tidak bisa memberi hasil yang pasti lagi. Laki-laki berumur setengah abad tersebut bercerita kalau medio 80-an adalah masa kejayaan para petambak. Waktu itu, dengan luas tambak hanya satu hektar, dirinya bisa mendapat 10-20 kilogram udang dalam sehari. Udang menjadi sumber penghidupan hariannya selagi menunggu panen ikan.
“Dulu panen bisa tiga sampai empat kali setahun, sekarang dua kali saja belum tentu,” ujarnnya.
Cardam menggarap enam setengah hektar. Dua setengah hektar adalah milliknya sendiri, sedangkan sisanya ia sewa dari orang lain. Hal ini ia lakukan guna meningkatkan produktivitasnya, namun kini dirinya sadar kalau upayanya sia-sia.
Pertahun paling tidak ia harus membayar sewa tambak sebesar Rp10 juta. Hal itu belum termasuk pembelian modal lain, seperti bibit, pakan, dan obat yang jumlahnya Rp500 ribu hingga Rp1 juta. Hal ini membuatnya harus berhutang ke tengkulak untuk bibit dan pakan. Mau tidak mau, saat musim panen dirinya harus menjual hasilnya pada tengkulak tersebut dengan harga berapapun.
Penghasilan yang tidak menentu membuat hutangnya makin menumpuk. Untuk menutupnya, ia mesti mencari pekerjaan lain, seperti kuli sawah, kuli panggul, atau bahkan mencari pinjaman ke bank emok.“Penghasilan cuma 10rb pengeluaran sampai 100rb, mau ga mau harus pinjam ke mana-mana,” pungkasnya.
Menuntut Kehadiran Negara
Sejak 2019, Muslim dan kawan-kawan pemerhati lingkungan lain semakin gencar mengupayakan penanganan pencemaran sungai. Mulai dari kampanye hingga mendorong pembentukan satuan tugas dari Pemprov Jawa Barat.
Muslim mengatakan sepanjang 2019 hingga 2021, Fordas Cilamaya Berbunga telah mendatangi berbagai instansi. Jalurnya pun berbagai macam, dari melakukan audiensi dengan pihak terkait hingga demonstrasi. Baginya, sudah saatnya pemerintah untuk bangun menengok persoalan lingkungan, terutama DAS Cilamaya.
Muslim tidak pernah mau berurusan langsung dengan perusahaan, lewat jalur hukum misalnya. Sebab selain tak cukup memiliki kekuatan untuk melawan perusahaan besar, baginya hal itu hanya akan menjadi konflik horizontal di antara warga.
“Jangan sampai ketika warganya bentrok karena kepentingan masing-masing, negara malah absen,” ujarnya.
Kemenangan pertama ada di tahun 2022, ketika terbit Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 45 Tahun 2022 tentang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Cilamaya dan Derah Aliran Sungai Kali Bekasi. Pergub itu mengamanatkan pembentukan Satuan Tugas Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan DAS (Satgas PPK DAS).
Namun hingga kini peraturan turunan yang mengatur pembentukan dan pelaksanaannya belum juga terbit. Sehingga sampai saat ini pelaksanaan mengenai penanganan pencemaran DAS Cilamaya masih terhambat.
“Keputusan gubernur itu masih kita dorong sampai sekarang,” katanya.
Sampai saat ini, masih banyak titik pencemaran yang berasal dari berbagai pabrik. Muslim mengakui memang tidak mudah bagi para pemodal untuk insyaf, sebab biaya pengolahan limbah bisa menghabiskan miliaran pertahun. Namun baginya keserakahan pemodal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk merusak lingungan.
“Sungai Cilamaya merupakan sumber kehidupan, tapi sekarang justru malah jadi pembunuh,” pungkasnya.
Penulis/reporter: Ezra Hanif
Editor: Izam