Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang juga menjabat sebagai Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet dijemput paksa pada Kamis, dini hari (7/3) dari kediamanya di bilangan Depok untuk menjalani pemeriksaan di Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Robertus Robet ditetapkan menjadi tersangka atas tuduhan penghinaan institusi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan dijerat dalam pelanggaran UU ITE.
Penetapan itu berawal dari video orasinya yang viral setelah diunggah secara daring. Namun, video yang diunggah hanya penggalan lagu plesetan Mars ABRI yang kerap dinyanyikan para demonstran era reformasi.
Beberapa dosen yang tergabung dalam Aliansi Dosen UNJ menyatakan, bahwa nyanyian Robet bukanlah sebuah pelanggaran. Nyanyian tersebut dinilai lebih mengarah pada kritiknya terhadap pemerintah. Sebagai penolakan atas wacana pemerintah untuk membuka jalan bagi TNI, yang diproyeksikan akan ambil bagian pada wilayah sipil.
Merespon pelaporan Robertus Robet atas tuduhan ujaran kebencian tersebut, Solidaritas UNJ untuk Demokrasi mengadakan Aksi Solidaritas pada Jumat, (8/3).
Aksi ini diisi dengan penampilan teatrikal, pembacaan puisi, dan orasi. Beberapa poster dan banner juga terlihat memenuhi dinding plaza UNJ dengan berbagai tagline bertemakan darurat demokrasi.
Fajar Subhi, koordinator lapangan aksi tersebut menjelaskan bahwa penangkapan Robertus Robet adalah suatu hal yang miris untuk demokrasi di Republik ini. Menurutnya, apa yang dilakukan Robet adalah suatu bentuk kebebasan berekspresi. Ia juga menyatakan bahwa orasi Robet merupakan orasi ilmiah.
“Jika kita tarik garis waktu ke belakang dengan mempelajari sejarah, secara intelektual, kita akan sepakat tentang apa yang disampaikan Pak Robet. Apalagi beliau pernah merasakan (dwifungsi ABRI) pada zamannya,” ujar mahasiswa Prodi Sosiologi tersebut.
Ubedilah Badrun, salah satu dosen yang ikut dalam aksi tersebut mengingatkan bahwa negara demokrasi memiliki indikator penting, salah satunya yaitu adanya kebebasan menyatakan pendapat.
Sejalan dengan Fajar Subhi, Ubedilah Badrun menegaskan, orasi yang dikemukakan Robertus Robet adalah suatu bentuk kebebasan menyatakan pendapat melalui kritik. “Jika dicermati melalui pendekatan saintifik, secara detail, orasi Robet tidak mengindikasikan sebuah pelanggaran,” pungkasnya. Ia menambahkan, kalimat yang dimuat dalam orasi temannya tersebut sudah memiliki argumen yang lengkap dan kokoh.
Ubedilah Badrun menyatakan, kasus penangkapan Robet justru melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Menurutnya, perspektif substansi demokrasi salah satunya mensyaratkan adanya supremasi sipil. “Beliau (dalam orasinya), memberikan contoh lagu di masa lalu, mengenai betapa kekuasaan militer begitu kuat mengintervensi wilayah sipil. Maka dari itu, kami mengkritik dan menolak kebijakan dwifungsi TNI,” tuturnya.
Di sisi lain, dosen yang akrab dipanggil Ubed ini mengapresiasi upaya TNI selama 20 tahun belakangan yang sudah melakukan reformasi internal dengan baik. Di antaranya adalah menyepakati bahwa tentara tidak lagi mendapatkan 100 kursi gratis di DPR. Selain itu, tentara juga tidak lagi aktif menjadi Menteri, Dirjen, Gubernur, Bupati/Walikota, dan jabatan sipil lainnya.
Aksi yang dilakukan oleh Solidaritas UNJ untuk Demokrasi ini diakhiri dengan pembacaan beberapa pernyataan. Pertama, menuntut pemerintah untuk segera menghapus status tersangka Robertus Robet. Kedua, menolak dwifungsi TNI. Ketiga, mendesak pencabutan peraturan hukum yang dapat membungkam kritik terhadap pemerintah, karena dapat menciderai semangat reformasi 1998. Serta, terakhir menjunjung tinggi demokrasi dan kebebasan berekspresi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penulis/Reporter: Bimo Andrianto
Editor: Annisa Nurul H.S.