Hidup korban, Jangan diam. Aksi Kamisan yang ke-742 bertepatan dengan peringatan hari anti penghilangan paksa internasional mengingatkan kembali kelalaian negara menjamin HAM untuk rakyatnya.
Segerombolan pemuda-pemudi berdiri melingkar di depan halaman monumen nasional, Kamis (01/09/22). Dengan berpakaian dominan warna hitam mereka melaksanakan Aksi Kamisan sebari diawasi oleh beberapa anggota polisi.
Satu-satu maju ke tengah lingkaran lalu meneriakkan orasi mereka. Berteriak dan mengungkapkan aspirasi serta kekecewaan mereka terhadap negara. Sebab, hingga kini kasus-kasus pelanggaran HAM oleh negara tak mendapat perhatian sedikit pun dari pemangku kekuasaan. Malah kasus-kasus tersebut cenderung diabaikan. Mengingat Undang-Undang (UU) Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bab 2 ayat 4 pasal 5 menegaskan bahwa “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.” Maka wajar jika mereka tak mau diam.
Aksi ini telah telah berlangsung sekitar 15 tahun sejak pertama kali diadakan pada 18 Januari 2007. Diinisiasi oleh korban pelanggaran HAM, yang menuntut penuntasan kasus pelanggaran HAM berat seperti hilangnya anggota keluarga mereka tanpa ada klarifikasi apapun dari negara. Padahal landasan hukum untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat sudah diatur dan dijamin oleh UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. UU tersebut memberikan landasan hukum untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lampau, seperti apa yang Aksi Kamisan tuntut.
Selain sebagai pengingat tidak bertanggungjawabnya negara atas hilang misteriusnya beberapa orang di masa Orde baru. Aksi Kamisan ini juga sebagai tombol pembuka memori kita akan gelapnya bulan September dalam sejarah HAM di Indonesia. Banyak pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi pada bulan ini, beberapa di antaranya; Pembunuhan Munir Said Thalib – 7 September 2004, Tragedi Tanjung Priok – 12 September 1984, Tragedi Semanggi II — 24 September 1999, Reformasi Dikorupsi – 24 September 2019, Tragedi 1965 – 1966, dan lain-lain.
Maria Catarina Sumarsih, ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan) yang tewas saat Tragedi Semanggi, juga sebagai pelopor aksi ini mengungkapkan bahwa Aksi Kamisan ini merupakan aksi damai yang memiliki misi melawan impunitas dan misi mengungkap fakta, menolak lupa, dan mencari keadilan. “Melawan kekebalan hukum yang diberikan negara kepada penjahat, entah itu pejabat HAM, koruptor, atau apapun itu,” ungkap Sumarsih.
Adapun, Aksi Kamisan ini merupakan aksi damai yang telah diadakan 742 kali. Karena bagi Sumarsih rantai tindak kekerasan yang terus terjadi tidak bisa dihilangkan dengan menggunakan kekerasan.
Momen Aksi Kamisan kali ini pun bertepatan dengan Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional. Oleh sebab itu, Novridaniar Dinis salah satu anak dari mereka yang dihilangkan paksa berharap kasus bapaknya yang hilang sejak 14 Mei 1998 serta sederet kasus lainnya segera diusut dan dipertanggungjawabkan.
Ia berkata, sudah 24 tahun lebih semenjak kasus pelanggaran HAM yang menimpa bapaknya, dan belum ada regulasi atau upaya dari negara untuk mengusut kasus penghilangan paksa bapaknya. Padahal ketika itu bapaknya hanya sekadar melihat aksi dari tepi jalan. Namun, sampai sekarang ia tak kunjung pulang.
Selain itu, Dinis juga berharap ada regulasi untuk memberikan keamanan kepada masyarakat sipil sehingga tak ada lagi kasus orang hilang ketika menyuarakan kritik. “Kalau tak kunjung dibentuk, maka siapa saja bisa dicomot paksa ketika menyuarakan kritiknya,” Ucap Dinis.
Diakhir orasinya ia sangat berterimakasih kepada orang-orang yang telah hadir. Baginya kehadiran ini menjadi sebuah bentuk dukungan dan simpati yang berarti baginya dan bagi keluarga korban penghilangan lainnya.
Penulis: Asbabur Riyasy
Editor: Izam Komaruzaman