Evan Triborn membuat gurunya sangat khawatir. Pada sebuah tugas, Evan menggambar seseorang berdiri dengan memegang sebilah pisau, di antara orang-orang yang terkapar bersimbah darah. Sebuah hasil imajinasi yang mengerikan untuk anak berusia tujuh tahun.

Hal yang kemudian makin membingungkan adalah, Evan mengaku tak tahu mengapa ia bisa menggambar semua itu. Sayangnya, peristiwa Evan hilang kesadaran di tengah aktivitasnya kerap terjadi. Inilah yang membuat Sang Ibu membawa Evan ke psikiater.

Namun pemeriksaan terhadap syaraf-syaraf otak Evan tidak memberi hasil buruk. Ia sebagaimana anak pada umumnya. Gejala yang ditunjukan Evan, didiagnosis sebagai ekspresi dari tekanan yang diterimanya. Akan tetapi sang ibu menolak. Ia merasa Evan tak ada alasan untuk Evan mengalami stress. Lalu disarankanlah Evan untuk menulis buku harian guna menjaga memorinya.

Saat remaja, Evan memiliki tiga orang teman. Mereka sering menghabiskan waktu, melakukan kenakalan bersama. Sebab itu sang ibu memaksa Evan untuk pindah rumah. Hingga Evan harus berpisah dengan satu-satunya teman perempuan serta orang yang dicintainya.

Menginjak bangku perkuliahan, Evan tak lagi risau dengan fenomena hilang kesadaran seperti masa kecilnya dahulu. Ia bahkan merayakan diri sebab bertahun-tahun hidupnya berjalan normal.

Sampai suatu ketika Evan menemukan kembali buku hariannya. Ia tergerak untuk membaca. Bak sebuah kaset, memorinya berputar ke masa lalu. Hanya saja ada bagian yang tak diingatnya. Ialah bagian di mana ia kehilangan kesadaran. Hal ini sangat mengusik Evan.

Iklan

Evan mendatangi kota lamanya. Menemui sang perempuan terkasihnya dahulu yang kini bekerja sebagai seorang pelayan di restoran. Mulanya berjalan manis layaknya dua orang sahabat yang tak lama bertemu. Semua rusak kala Evan mencoba mengulik masa kecil mereka. Sang perempuan tersinggung, dan meninggalkan Evan yang masih tak mengetahui dengan jelas.

Keesokan harinya, Evan mendapat sebuah telepon yang mengatakan bahwa sang pujaannya telah mati bunuh diri.

Evan lagi-lagi membaca buku hariannya. Seolah tersedot lorong waktu, Evan pergi ke masa kecilnya, tepat pada bagian ia kehilangan memorinya. Sedikit-sedikit ia mulai mengetahui teka-teki yang selama ini belum terjawab.

Sebagaimana judulnya, film ini terinspirasi oleh teori The Butterfly Effect. Teori yang pertama kali diperkenalkan oleh Edward Norton ini mengatakan kepakan sayap kupu-kupu di Brazil dapat menyebabkan badai tornado di Amerika. Teori ini yang kemudian menjadi cikal bakal dari Chaos Theory.

Menonton film yang keluar pada 2004 ini, seolah membawa penonton pada pilihan akhir yang berbeda-beda. Setiap kali Evan kembali pada masa lalunya, lalu mengubah hal kecil, serta merta masa depannya turut berubah. Sang perempuan itu tak meninggal, justru menjadi kekasihnya. Akan tetapi Evan terpaksa membunuh Tom, kakak dari sang perempuan yang terus mengganggu hidupnya. Evanpun di penjara.

Evan pun menyadari kalau ia memiliki kemampuan untuk kembali ke masa lalu. Tak ingin terus berada di penjara, ia membaca lagi buku harian yang dibawakan oleh sang ibu.

Satu peristiwa yang sama, tapi dengan adegan yang berbeda, memberi pengaruh yang berbeda pula pada alur berikutnya. Begitu duo sutradara Eric Bress dan J. Mackye Gruber mengejawantahkan The Butterfly Effect.

Alur yang maju mundur seketika membuat saya mengira Evan hanyalah anak kecil yang memiliki indera keenam. Hanya saja alur yang maju mundur seketika membuat saya buyar, di masa manakan Evan benar-benar hidup?

Bisa jadi keinginan Evan untuk membuat masa depan yang bahagia bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya adalah hal utopis. Terlepas dari hal itu, melalui sosok Evan, saya teringat oleh bacaan tentang Nietzsche yang membagi mental manusia menjadi dua kategori. Mereka yang tidak melakukan apapun selain diperintah dan mereka yang berani memperjuangkan takdirnya.

Evan adalah representasi orang yang percaya kalau hidup bukanlah perulangan abadi. Maka itu ia terus saja mengubah takdirnya. Ia layaknya Ubermench atau manusia super yang meyakini bahwa dirinya memiliki kekuasaan terhadap takdirnya.

Iklan

Meski begitu, tak banyak bagian dalam film yang diperankan oleh Aston Kutcher sebagai Evan ini untuk dibedah oleh pemikiran Nietzsche. Sebab keyakinan Evan bukan lahir atas kesadarannya dari dogma agama sebagaimana kritik dari Nietzsche dalam literaturnya.

Bila ada film yang menyisakan banyak spekulasi setelah ditonton, The Butterfly Effect termasuk di dalamnya. (Latifah)