Pagi. Perkampungan masih lenggang. Orang-orang masih mengorok. Ternak-ternak pun diam tak ada yang berani berkokok. Jelang matahari terbenam, orang-orang keluar dari rumahnya. Pergi ke sudut-sudut kampung, cari manusia perempuan yang menjajakan selangkangan.
Di tangan laki-laki, sebungkus nasi berlauk taburan garam dan daun singkong dibungkus rapi-rapi, kadang dengan kantong plastik bekas dedak ternak ayam, atau dengan kantung plastik bekas apa pun. Jika tidak punya kantung plastik, mereka akan membungkusnya dengan daun-daunan yang ada di kebun. Sesekali daun pisang, sesekali daun jati, atau daun apa pun yang ada. Yang penting bisa membungkus nasi itu untuk diberikan pada manusia perempuan yang mau disetubuhinya. Jika sudah sampai di sudut kampung, mereka akan meraba-raba selangkangan itu, melihat-lihat lubang senggama itu, jika dirasa pas mereka akan memberikan bungkus nasi pada manusia perempuan setelah melampiaskan birahinya.
Inilah tempat tinggalku, sebuah desa yang kaya dengan banyak orang laki didalam-Nya. Kalau ada matahari mereka tidur, kalau gelap mereka bergumul diatas kasur, kalau haus mereka menenggak tuak, kalau lapar mereka makan keringat manusia rendahan. Satu rumah dihuni satu orang lelaki. Satu rumah dihuni dua orang wanita. Satu kandang dihuni sebelas manusia perempuan. Satu kandang dihuni dua puluh manusia rendahan. Satu kandang dihuni lima puluh ekor ayam. Tidak ada anak-anak, hanya ada manusia kecil yang berjalan seperti kucing. Kadang mereka mengais makanan yang jatuh di tanah. Kadang mereka makan tanaman sisa panen. Kadang tidak ada penganan. Kadang makan bangkai teman. Apapun asal perut kenyang.
Tidak ada yang membangun rumah tangga. Manusia-manusia di sini lahir dan tumbuh secara liar, dari birahi orang-orang tiap malam. Kalau ada manusia perempuan hamil, jika mereka mau, mereka akan melahirkannya. Jika mereka enggan, mereka akan membunuhnya. Jika mereka mau merawatnya, mereka akan diusir dari kampung. Jika mereka masih ingin tinggal, mereka akan membiarkan bayi-bayinya hidup alamiah di alam.
Apakah semua orang berduka? Tidak, semua orang bersuka cita. Tinggal di kampung ini adalah sebuah kehormatan. Itu yang mereka yakini. Tapi tidak denganku. Hidup di kampung ini seperti berada di tengah kobaran api. Tiap pijakan, langkah kakiku melepuh. Seperti menginjak bara api. Tiap melihat manusia, mataku memanas, memancarkan air mata. Tiap kali makan, aku selalu merasa tengah menelan kerikil. Tiap kali menenggak air minum, tenggorokanku seperti terbakar. INI SEMUA KUTUKAN. SIAL!
Aku dibesarkan sebagai binatang peliharaan. Dipelihara dari kecil oleh seluruh penghuni kampung. Diberi makan, diberi minum, disusui, dimandikan, dan diajak berlari. Sesekali dilatih menggonggong. Kecil dulu ku kira aku istimewa, nyatanya aku cuma peliharaan. Tak lebih berharga daripada binatang ternak di kampung ini. Maka pada suatu hari, di bawah perasaan lara dan amarah yang berkobar di dalam diri, aku mengamuk di depan rumah “Yang Dipertuan-agungkan.” Orang-orang melihat ku jijik. Manusia rendahan memandangku iba. Yang lainnya hanya memasang muka datar, merasa seperti disuarakan tapi hanya bisa diam. Maka aku pun menggila, meminta kebebasan. Lalu “Yang Dipertuan-agungkan” pun datang, memberi janji dan meludah ketika aku pergi. Maka kupegang janji itu. Ia bilang aku akan diberi kebebasan saat waktunya datang, saat ia memiliki keagungan yang lebih tinggi dari dewa. Maka kuyakini janjinya hingga kini.
Esok ada pertunjukkan Sirkus Malam, acara tahunan yang selalu dinantikan. Pada malam itu, semua orang akan mengenakan pakaian terbaiknya. Pada malam itu, semua perempuan akan telanjang dan menjajakan tubuhnya dengan harga seekor ayam. Pada malam itu, manusia rendahan akan makan nasi dan ayam goreng untuk sekali dalam setahunnya. Pada malam itu, binatang peliharaan diberi kebebasan untuk bicara. Pada malam itu untuk sekali dalam setahun, Aku merasakan menjadi manusia seutuhnya.
Maka saat sirkus malam tiba, Aku melepas tali pengikat di leherku. Berlari mengelilingi kampung, sambil meracau tentang betapa buruknya kehidupan di desa yang amat terkenal dengan acara Sirkus Malam-nya.
Aku berlari melawan arus manusia-manusia rendahan yang hendak pergi ke tengah kampung. Sesekali terjatuh karena tersandung batu, darah di telapak tangan dan lutut membuat kotor baju, aku membersihkannya dengan tanganku.
“Biar kubantu,” manusia rendahan bernama Lara membantuku. Mengusap darah dikulitku, membersihkan tanah yang menempel diwajahku, dan menyeka kotoran di bajuku. Lalu membantuku berdiri. Kutatap matanya yang mengandung iba, kulihat ada kemanusiaan di sana, di tengah lelahnya jadi manusia rendahan.
Aku berlari dan terus berlari, hingga kaki ku berhenti didepan rombongan perempuan penjaja selangkangan.
“Mau kemana kau binatang peliharaan? Jangan jauh-jauh pergi! Lekas kembali!” Perempuan penjaja selangkangan nomor 28 meneriakiku.
“Ayo ikut kami! Kita kembali ke tengah kampung. Upacara sebentar lagi akan dilaksanakan.” Perempuan penjaja selangkangan nomor 17 mengajakku, mengulurkan tangannya. Menarikku dalam dekapannya, mengelus punggungku lembut. Maka aku pun ikut bersamanya. Bukan main rasa gembiraku, berjalan dan bergandengan tangan dengan manusia.
Untuk seekor binatang seperti ku, perlakuan manusia penjaja selangkangan sungguhlah menyenangkan hati. Sangking gembiranya aku menari-nari di jalanan, diiringi tawa manusia-manusia perempuan itu.
Dengan tawa, jalanan kampung yang bagiku seperti alas berduri tak lagi terasa menyakitkan. Maka aku melepas genggaman perempuan penjaja selangkangan nomor 17. Memintanya menundukkan tubuhnya. Menatap mata coklatnya yang terlihat meneduhkan hati. Kudaratkan satu kecupan di dahinya, dan satu kecupan lain di tangannya.
Setelahnya, aku pergi menjauhi rombongan perempuan penjaja selangkangan. Masih dengan hati gembira dan perasaan lega, ku simpan baik-baik lembut tangan perempuan penjaja selangkangan No. 17 itu dalam hatiku. Ada kemanusiaan di sana, dan akan kusimpan itu dalam hati. Selama-lamanya.
Sirkus Malam telah ramai dengan orang-orang. Mereka sungguh menikmati malam itu dengan hidangan yang memabukkan. Sepuluh hingga lima belas piring berisi aneka ragam makanan tertata rapi diatas meja. Manusia-manusia rendahan mengambilnya dengan sendok emas, mendaratkan isinya di mulut orang lelaki dan orang perempuan, lalu mengambil remahan yang terjatuh di atas tanah untuk kemudian dimakannya.
Beberapa manusia rendahan yang lain sibuk membuat pertunjukkan. Beberapa di antaranya menggunakan pakaian rapi, berdasi, dan wangi. Beberapa di antaranya menggunakan pakaian lusuh. Beberapa di antaranya berlumuran lumpur. Beberapa di antaranya bermandikan keringat. Beberapa di antaranya berpakaian compang-camping. Beberapa di antaranya berlumuran darah. Beberapa di antaranya tak bernyawa. Mereka mengisi panggung dengan gelak tawa, mensyukuri diri sendiri karena bisa berpakaian tanpa mesti pusing memikirkan pekerjaan.
Manusia rendahan lainnya sibuk mendengar pidato “Yang Dipertuan-agungkan.” Di atas mimbar yang diletakan tepat di tengah panggung Sirkus Malam, “Yang Dipertuan-agungkan” memberi kata-kata semanis gula, setinggi mimpi manusia, dan tak senyata keinginannya membuktikan ucapannya.
Tapi manusia-manusia rendahan itu tetap mendengarkan bualannya, meski mereka tahu semua yang dikatakan orang “Yang Dipertuan-agungkan” adalah kebohongan. Meski mereka tahu telah dikhianati mereka tetap tak bergeming, demi sebungkus nasi dan ayam yang diletakan di depan mata mereka, demi harapan akan kehidupan layak manusia yang selalu dijanjikan. Mereka tak akan bergeming, mereka akan tetap duduk di sana, mendengarkan bualan-bualan itu sambil membayangkan suatu saat mereka akan dapat meluruskan kakinya ketika tidur. Sambil membayangkan mereka akan dapat memakan apa yang mereka tanam, sambil membayangkan tidur di rumah yang telah mereka bangun.
“Saya janji, suatu hari nanti saya akan membangun rumah untuk kalian, rumah yang tidak akan membuat kalian gerah karena tinggal beramai-ramai. Saya janji akan membeli lebih banyak pakan dari luar, agar kita tak kekurangan makanan.” Pidato itu disambut riuh teriakan gembira.
“Maka berjanjilah pada saya, bahwa kalian akan lebih rajin bertani, bahwa kalian akan lebih giat mengurusi ternak, dan berjanjilah kalian akan terus melayani kami.” Pidatonya mendapat anggukan dari para pendengarnya.
Pidato dari “Yang Dipertuan-agungkan” diakhiri dengan ludahnya. Maka setelahnya Ia pergi, berkumpul kembali dengan kawan-kawannya, bersama gelak tawa yang memekakkan telinga. Maka aku pun menghampirinya, menagih janji yang pernah diberikannya padaku.
“Di mana kebebasan yang kau janjikan?” tagihku.
“Ia tak kemana-mana, kebebasan itu bukankah sudah kuberikan padamu malam ini?”
“Kau bohong.” Orang-orang dan manusia-manusia rendahan menyaksikan perdebatan kami. Musik dimatikan. Kini suaraku dan suara “Yang Dipertuan-agungkan” terdengar jelas.
“Aku tak pernah bohong, kau yang meminta lebih,” “Yang Dipertuan-agungkan” berdiri dari kursi singgasananya, berbicara sambil menunjuk-nunjuk wajahku.
“Aku hanya minta kebebasan, tapi tak pernah kau berikan.”
“Sudah kuberikan. Bukankah malam ini kau bebas? Kau hari ini boleh jadi manusia, malam ini kau boleh bicara. Malam ini, manusia-manusia di kampung ini juga kuberi kebebasan untuk tak bekerja. Apa lagi yang kau mau? Kau meminta lebih ketika Kau tak memberikan apa-apa.”
Aku terdiam, ia benar. Sebagai binatang aku memang tak melakukan apa-apa, aku tak bekerja seperti manusia-manusia rendahan, Aku tak menjajakan selangkangan seperti perempuan penjaja selangkangan, Aku tak membantu kerja-kerja perkampungan seperti orang-orang lelaki dan wanita.
“Tapi hidup ini milikku, harusnya tak kuminta kebebasan itu padamu karena kebebasan itu milikku, tapi kau merampasnya dari ku. Sekarang, kembalikan itu padaku.”
“Aku tak mencuri kebebasan itu darimu, kau yang memberikannya, suka rela, kau ikhlas.” Ia terus-terusan mengelak, sungguh membuatku muak.
Maka kuputuskan merebut kembali kebebasanku secara paksa. Aku pergi dan tak mau lagi kembali ke tempat yang mengurungku sebagai binatang peliharaan. Aku tak mau lagi dikurung dan disuruh bungkam. Aku tak mau lagi mengunjungi kampung itu. Sirkus malam di kampung itu sungguh tak menyenangkan.
Penulis : Nafisatul Ummah
Editor : Danu Dewa Brata