Judul Buku                 : Second Sex: Fakta dan Mitos

Penulis                        : Simone de Beauvoir

Penerbit                     : Narasi

Tahun Terbit             : 1989 (ed. bahasa Inggris); 2019 (ed. Bahasa Indonesia)

Jumlah Halaman      : xxxi + 391


Budaya patriarki yang selalu menjadi isu dan diacungkan berkali-kali oleh gerakan feminisme untuk mencapai equality, diam-diam masih tumbuh dengan baik. Di era 2000-an ini, meskipun banyak perempuan yang dapat bekerja atau berkarir, bukan berarti budaya patriarki telah lenyap.

Iklan

Dikutip dari CBNC Indonesia, “Memiliki perbedaan besar yang juga mengkonfirmasi yang lain yaitu perbedaan gaji antara wanita dan pria 23 persen. Perempuan menerima gaji 23 persen lebih rendah daripada laki-laki,” ujar Sri Mulyani yakni Menteri Keuangan dalam acara ABAC di Hotel Shangrila, Jakarta, Rabu (24/9/2019).

Namun, anehnya hal tersebut dianggap sebagai hal yang wajar di mata masyarakat. Kasus yang lebih sederhana yakni pernyataan yang seringkali kita dengar bahwa perempuan berkarir dipandang menelantarkan anak dan suami, sedangkan laki-laki berkarir dipandang sebagai suami idaman.

Banyak orang yang tidak menyadari, meskipun perempuan telah bekerja, ia masih dibeda-bedakan. Hal ini disebut oleh Simone de Beauvoir sebagai ‘Sosok yang Lain atau Liyan’. Simone menyatakan dalam bukunya, Second Sex: Fakta dan Mitos bahwa perempuan dinyatakan tercipta untuk keluarga, bukan untuk politik; untuk kehidupan rumah tangga bukan untuk fungsi publik. Didukung oleh Auguste Comte yang mengatakan bahwa dalam segi moralitas dan cinta, perempuan mungkin saja dianggap lebih superior. Tetapi laki-lakilah yang bertindak, sementara perempuan tetap terkurung di rumah tanpa hak-hak ekonomi maupun politik.

Baca Juga: Ngaji Soal Cinta, Kebohongan Cinta Sejati

Lantas, kesetaraan seperti apa yang sebenarnya diinginkan para perempuan?

Dikutip dari Second Sex: Fakta dan Mitos, “Perempuan yang sungguh-sungguh dimerdekakan ketika inferioritas jenis kelaminnya ditegaskan, ketika hak perempuan sebagai anak, istri, atau saudara tidak lagi dibatasi, itulah kesetaraannya dengan laki-laki.”

Namun pada kenyataannya, hal ini masih belum dapat diwujudkan. Budaya yang mengakar sulit untuk dicabut sekaligus sampai tuntas. Doktrin yang ditanamkan sejak kecil membuat hal-hal yang seharusnya tidak wajar, malah dianggap sebagai hal yang wajar. Seperti halnya anak perempuan yang selalu dipandang lemah, cengeng, dan harus dilindungi. Sedari awal, mereka diberi peran untuk dilindungi oleh yang lain sebab dirinya dianggap lemah. Jarang sekali anak perempuan diberikan arahan untuk melindungi dirinya sendiri atau bahkan melindungi orang lain.

Lemah atau kuatnya laki-laki dan perempuan yang dikaji dalam ilmu fisiologis, menurut Simone masih abstrak. Bagaimana bisa membandingkan seberapa kuat laki-laki menahan beban suatu benda dengan perempuan yang menahan rasa sakit saat menstruasi atau bahkan melahirkan? Walaupun keduanya berhubungan dengan fisik, tetapi pijakan untuk menilai siapa yang lebih kuat menjadi sangat ambigu.

Akhirnya, doktrin-doktrin inipun menciptakan toxic masculinity yang menyebabkan laki-laki merasa superior atau lebih baik daripada perempuan. Kemudian terbentuk pemikiran di masyarakat bahwa perempuan sudah sepantasnya dilindungi, bekerja di dalam rumah, dan hanya perlu mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan urusan rumah tangga. Sedangkan laki-laki yang bertugas untuk bekerja di luar rumah dan membiayai seluruh kebutuhan keluarga. Kemampuan para perempuan yang lain seolah dikubur dalam-dalam bersama dengan mimpi mereka.

“Semua kaum genius yang dilahirkan sebagai perempuan jauh dari kesejahteraan publik; sekali saja takdir memberi mereka sarana untuk membuat mereka terkenal, kau akan melihat bahwa sulit bagi mereka mencapai prestasi.”

(hlm. 341)

Menurut Simone, sosok betina dan justifikasi dari sifat-sifat hewan betina yaitu lamban, tak sabaran, rempong, licik, tolol, penuh nafsu, hina, dan emosional digambarkan ke dalam sosok perempuan oleh laki-laki. Seperti yang dikatakan Aristoteles, “Perempuan adalah perempuan dengan sifat khususnya yang kurang berkualitas.”

Iklan

Doktrin-doktrin ini membentuk ideologi di masyarakat yang mengharuskan perempuan cepat menikah, punya anak, dan berkorban untuk suaminya. Kemudian ideologi ini akan menjadikan perempuan sebagai objek daripada sebagai subjek transendensi atas kemauan sendiri.

Padahal, perempuan sebagai subjek bisa mencapai kemanusiaan dengan mengaktualisasikan dirinya sendiri sampai melampaui dirinya. Tetapi jika ia dipandang sebagai objek, mereka akan dibatasi oleh objektifikasi yang diberikan. Para perempuan bukan menginginkan sebuah kebahagian karena kebahagian merupakan sesuatu hal yang ambigu takarannya. Para perempuan hanya ingin menjadi sosok yang merdeka.

 

Bagaimana awal mula adanya patriarki ini?

Fredrich Engles dalam The Origin of the Family, Private Property and the State, mengenang sejarah perempuan yang secara esensial bergantung pada teknik. Pada Zaman Batu, ketika tanah tidak memilih hak milik dan sekop atau cangkul yang masih primitif mengakibatkan ketidakmungkinan adanya pertanian, sehingga kekuatan perempuan lebih cocok untuk berkebun. Dalam pembagian kerja secara primitif ini, kedua jenis kelamin tersebut membentuk dua kelas. Laki-laki yang selalu dilengkapi oleh senjata bertugas untuk berburu dan mencari ikan. Sedangkan perempuan, ia tetap di rumah dengan tugas-tugas rumah tangganya yang meliputi pula pekerjaan produktif yaitu membuat barang-barang dari tanah liat, menenun, berkebun, sehingga membuat perempuan dapat memainkan peran dalam ekonomi.

Namun pada saat penemuan tembaga, timah, perunggu, dan besi, serta adanya alat pembajak tanah, membuat cakupan pertanian menjadi lebih luas sehingga diperlukan pekerja untuk membersihkan hutan dan mengolah tanah menjadi lahan pertanian. Laki-laki selanjutnya membutuhkan tenaga laki-laki lainnya, sesuatu yang pelan-pelan berubah menjadi budak. Kepemilikan pribadi pun muncul: penguasa para budak dan penguasa bumi, laki-laki sekaligus menjadi pemilik perempuan. Inilah yang dikatakan oleh Simone sebagai “kekalahan bersejarah yang besar dari kaum perempuan”.

Penjelasan tersebut mendukung pernyataan bahwa fisiologis selalu menjadi prioritas yang dipertahankan. Sedangkan emosional, spiritual, mental menjadi hal-hal yang tidak diprioritaskan, padahal hal tersebut sangat penting. Karena hal-hal tersebutlah yang bisa menjadikan manusia sebagai pribadi manusia itu sendiri.

Pembatasan pada tugas kerumahtanggaan menjadi penyebab adanya dominasi oleh laki-laki. Oleh karenanya, tugas rumah tangga perempuan menjadi tidak berarti dan remeh apabila dibandingkan dengan kerja produktif yang dilakukan oleh laki-laki. Otoritas maternal yang kemudian menjadi paternal membawa budaya patriarkal seperti segala kepemilikan diwariskan ayah kepada anak laki-lakinya.

Selain itu, tidak mungkin secara sederhana menyamakan kehamilan dengan suatu kewajiban, seperti halnya tugas negara. Kehidupan perempuan lebih terganggu oleh tuntutan menghasilkan keturunan dibanding adanya peran atau pengaturan pekerjaan bagi penduduk. Padahal tak ada satupun negara yang mewajibkan bersetubuh.

Perempuan terus memiliki banyak hambatan dalam mengembangkan diri mereka. Dipermudahkannya pekerjaan-pekerjaan yang tidak mengharuskan memiliki tenaga yang besar merupakan peluang bagi perempuan untuk bisa memilih bekerja. Fisiologis yang selalu diprioritaskan sudah tidak berpengaruh untuk menghalangi perempuan mendapatkan perlakuan dan pekerjaan yang sama. Akan tetapi, sayangnya para perempuan ini masih banyak yang terjebak dalam budaya patriarki seperti dibedakan dalam upah gaji.

Begitu pula dengan ideologi yang mengakar pada masyarakat menguburkan kebenaran dalam konstruksi palsu pada saat ini, sehingga perempuan tidak bisa menemukan jati diri mereka. Selalu ada batasan-batasan yang digariskan untuk para perempuan dalam meraih eksistensi mereka. Seperti halnya di era ini, para perempuan memang diperbolehkan untuk mendapatkan pendidikan, namun ada batasan tertentu untuk perempuan seperti tidak sepantasnya memiliki gelar yang lebih tinggi daripada gelar yang dimiliki laki-laki. Terlahirlah stigma seksisme yang mengatakan bahwa perempuan yang memiliki gelar lebih tinggi akan kesulitan mendapatkan pasangan.

 

Penulis: Sonia Renata

Editor: Renisa A.