Apa yang membuat manusia saling terikat dari yang satu dengan yang lainnya? Apakah karena cinta? Jika, iya, lalu apakah cinta itu? Apa yang membuatnya istimewa? apa yang lebih baik, cinta yang aktif atau pasif? Apa yang lebih penting, mencintai atau dicintai? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mengantarkan Erick Fromm dalam menulis sebuah buku berjudul The Art of Loving.
Fromm berangkat dari sebuah pertanyaan mendasar, apa itu cinta? Dalam keseharian tentu kita sudah tidak asing dengan kata tersebut. Setiap hari kita merasakan cinta dari keluarga, teman dekat, guru, dan lain sebagainya. Seolah cinta tersebut muncul begitu saja sebagai bentuk respon perasaan terhadap stimulus rasa nyaman yang kita terima. Tapi, bagi Fromm hal tersebut bukanlah cinta, karena cinta tidak bisa dibentuk dengan sendirinya. Cinta adalah seni, artinya butuh upaya, pengetahuan, dan pemahaman untuk mencapainya.
Cinta dikatakan sebagai kekuatan aktif dalam diri, yaitu kekuatan yang dapat membuat manusia terhubung dengan satu sama lainnya sekaligus menyelematkan manusia dari rasa keterasingan. Cinta juga dikatakan memberi, bukan semata-mata menerima, artinya cinta itu aktif. Orang yang hanya menerima cinta dari orang lain, berarti ia gagal dalam memahami arti cinta yang sesungguhnya. Misalnya saja, seseorang yang menunggu kekasihnya untuk memberikan kejutan pada hari anniversary-nya. Ia sama sekali tidak berpikir untuk memberikan cintanya pada hari tersebut. Orang seperti ini memiliki kecenderungan untuk menuntut, bertindak pasif.
Judul : Seni Mencinta
Penulis : Erich Fromm
Penerjemah : Aquarina Kharisma Sari
Penerbit : BASABASI
Cetakan : Cetakan pertama, Januari 2018
Tebal Buku : 192 hlm
ISBN : 9786026651693
“Cinta adalah aktivitas, bukan afek pasif; cinta adalah keadaan ‘being in love’, bukan ‘falling in love’. Yang paling umum, karakter aktif cinta dapat digambarkan dalam pernyataan bahwa cinta itu memberi, bukan menerima.” -hlmn 33
Kebanyakan orang meyakini ketika dua insan bertemu dan saling mencintai tanpa perlu lagi memberikan cintanya pada orang selain pasangannya adalah bukti begitu dalamnya cinta mereka. Padahal, Fromm sendiri tidak mendefinisikan cinta semata-mata sebagai suatu hubungan dengan seseorang. Di sini, cinta digambarkan sebagai sikap yang menentukan Keterkaitan seseorang dengan dunia secara keseluruhan, bukan hanya sebatas pada satu objek.
Contoh yang disebutkan di atas tidak lain hanyalah kesalahan persepsi mengenai arti cinta di zaman modern ini. Ia menjadi definisi cinta yang umum dan sering kali dialami. Ditambah, cinta jenis ini adalah definisi cinta yang seringkali disebut sebagai “cinta luar biasa” dalam film dan novel. Sebut saja, film Ada Apa Dengan Cinta dan novel Geez dan Ann.
Dalam cinta seperti ini, seseorang seakan memberhalakan orang yang dicintai sebagai suatu sosok pembawa kegembiraan dan menjadikan orang tersebut sebagai satu-satunya yang dicintainya. Ia diseret, menyesatkan diri ke dalam orang yang dicintainya itu. Inilah sisi gelap “cinta sejati” yang seringkali ditunjukan dalam film dan novel. Cinta ini sebenarnya merupakan suatu bentuk dari cinta-semu, yaitu cinta pemberhalaan (idolastrous love).
Di zaman yang modern ini, cinta pemberhalaan seperti itu seolah sudah dianggap wajar dan merupakan definisi cinta secara universal pada sebagian besar orang. Nilai itu seakan berubah menjadi super-ego dan menetap dalam kepribadian manusia. Ia dianggap sebagai cinta yang sejati dan kuat. Tak heran, karena biasanya tidak akan ada yang sanggup memenuhi harapan seorang pemuja, kekecewaan pasti terjadi dan sebagai obat dicarilah berhala baru. Kadang, ini menjadi lingkaran yang tak berujung.
Ide besar dalam buku ini sebenarnya untuk menyelamatkan manusia dari lingkaran tak berujung tersebut, bahkan bisa dibilang lebih. Ia mengajarkan kita untuk menemukan definisi cinta yang tepat bagi setiap manusia. Fromm seakan memberikan mantra untuk sebuah kotak pandora agar kotak itu dapat ditutup kembali. Sebagaimana layaknya seni, ia tidak lupa mengajarkan bagaimana langkah-langkah untuk melakukan seni mencintai sebagaimana yang ia maksud.
Dalam seni mencintai, hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan mengatasi rasa narsisisme dalam diri. Sederhananya, narsisisme adalah kecenderungan dimana suatu individu memandang dirinya sangat bernilai sedangkan orang lain tidak. Objektivitas merupakan hal yang harus dimiliki untuk mengatasi narsisisme tersebut. Dengan berpikir objektif, ia harus berusaha melihat perbedaan gambaran yang ia tangkap tentang seseorang yang sebenarnya–menurut Formm–telah terdistorsi secara narsistik.
Berikutnya adalah keyakinan. Fromm membagi dua jenis keyakinan, yaitu rasional dan irasional. Keyakinan rasional adalah kepercayaan yang berakar dalam pengalaman pikiran dan perasaan seseorang, seperti hubungan kelekatan antara ibu dan anak. Sementara, keyakinan irasional adalah kepercayaan yang didasari ketundukan seseorang pada otoritas irasional, misalnya seorang pegawai yang selalu tunduk pada perintah atasannya tanpa perlu memperranyakan apa yang ia kerjakan. Kegagalan manusia dalam membedakan cinta dalam keyakinan rasional dan irasional tersebut akan menyeretnya pada authoritarianism (sadisitik dan masokis).
“Keyakinan rasional bukan sekedar meyakini sesuatu, tapi kualitas kepastian dan keteguhan yang dimiliki keyakinan kita. Keyakinan adalah ciri karakter yang meliputi seluruh kepribadian, alih-alih kepercayaan tertentu.” – Hlm 168
Menjadi yakin berarti kita siap untuk menyerahkan diri tanpa jaminan sebagai bentuk perwujudan cinta, dengan harapan bahwa cinta tersebut akan menimbulkan cinta dalam diri orang yang kita cintai. Ini adalah sikap yang terpenting dalam seni mencintai, yaitu tindakan.
Buku The Art of Loving benar-benar menyadarkan kita untuk tidak terlalu berlarut-larut dalam mencintai satu objek semata. Ia mengajarkan bagaimana sebenarnya definisi cinta itu ditarik secara humanis. Cinta adalah seni yang harus dimiliki oleh setiap individu. Apabila setiap individu ini menerapkan seni mencinta dengan baik, maka masyarakat ideal menurut Fromm akan tercipta, yaitu masyarakat sosialis komunitarian humanistik.
Penulis: Yoga Alfauzan
Editor: Sultan Bayu A.