Gelombang demonstrasi gerakan rakyat, menolak pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja terus mengema. Setidaknya telah terjadi demonstrasi besar-besaran di 67 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Namun, bukannya pembatalan UU Cipta Kerja yang didapatkan, rakyat malah dihadapkan oleh ancaman dan pukulan dari aparat kepolisian.

Tindakan represif tersebut, tidak hanya terjadi di ibu kota, di daerah-daerah seperti Jambi, Makassar, Jawa Timur, Sumatera Utara, Yogyakarta, Ternate, dan Banjarmasin mengalami hal serupa. Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) yang terdiri atas gabungan organisasi buruh, tani, pemuda, mahasiswa, dan pelajar, merangkum setidaknya ada 6 bentuk ancaman dan penghalangan terhadap massa aksi.

Pertama, ialah melalui institusi, seperti ancaman tidak akan mengeluarkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) bagi pelajar yang mengikuti demonstrasi. Selain itu, ada pula larangan yang dilayangkan oleh institusi Pendidikan. Seperti yang terjadi di Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) yang melarang segala aktivitas konsolidasi di lingkungan kampus. Hal tersebut juga dikuatkan dengan turunnya polisi untuk mengintimidasi mahasiswa yang akan melakukan konsolidasi di kampus.

Kedua, penghalangan aksi massa, seperti ketika anggota polisi melakukan perburuan dan menangkap secara sewenang-wenang para massa aksi, dengan dalih “pengamanan”. Padahal menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak dikenal istilah pengamanan, yang ada ialah penangkapan.

Ketiga serangan digital, adanya penyerangan akun sosial media berupa peretasan. Hal tersebut terjadi di Surabaya, yakni adanya upaya pengambilalihan paksa nomor Hotline bantuan hukum yang dialami oleh tim advokasi penanganan kasus kekerasan pada massa aksi.

Keempat, serangan terhadap jurnalis. Beberapa jurnalis yang meliput juga mengalami tindak kekerasan dari aparat. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat setidaknya sebanyak 28 jurnalis mengalami intimidasi dan kekerasan berupa perampasan alat peliputan dan pemukulan saat meliput demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja.

Iklan

Kelima, penghalangan akses bantuan hukum dalam proses pendampingan tim advokasi pendampingan aksi-aksi di berbagai wilayah mulai dari Makassar, Ternate, Banjarmasin, Surabaya, Medan, hingga Jakarta menyampaikan temuan yang sama yakni, upaya penghalangan pendampingan pemberian bantuan hukum terhadap massa aksi yang ditangkap.

Terakhir, adanya pembatasan berserikat. Akibat masifnya aksi demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja yang meluas dan tersebar di seluruh wilayah, terjadi upaya pembungkaman berupa pembatasan berserikat dan berkumpul. Hal ini dialami oleh kelompok buruh di Malang yang sedang berupaya mendirikan serikat buruh, namun mengalami intimidasi dari pihak kepolisian daerah Jawa Timur.

Selain itu, Gebrak juga mencatat, terhitung sejak demostrasi penolakan UU Cipta Kerja pada 14 Agustus 2020 hingga 5 November 2020, setidaknya terdapat 7.045 massa aksi yang ditangkap.

Atas dasar kasus-kasus tersbut, Gebrak pada 6 November 2020 mengadakan aksi di depan Markas Besar Kepolisian RI untuk mengecam Tindakan represif kepolisian terhadap rakyat. Lukman Adbul Hakim, salah satu massa aksi menyampaikan, tiap kali rakyat melakukan sebuah penolakan terhadap kebijakan, yang terjadi adalah Tindakan represif dari kepolisian. Ia juga menambahkan hal tersebut terjadi karena negara Indonesia hanya berpihak kepada segelintir orang, yang akhirnya hanya dimanfaatkan untuk kesejahteraan segelintir orang. “Akibatnya ketimpangan dan kemiskinan terjadi dimana-mana,” ujar Lukman yang juga merupakan Ketua Front Perjuangan Pemuda Indonesia.

Terakhir ia menambahkan, agar masyarakat jangan takut untuk menyuarakan aspirasi dan hak konstitusinya.

Adapun, dalam aksi ini, Gebrak menuntut :

  1. Kepala kepolisian RI, Jenderal Polisi Idham Azis untuk segera menghentikan penggunaan kekuatan berlebihan dan menjalankan ketentuan-ketentuan penanganan aksi massa yang tidak melanggar HAM.
  2. Kapolri juga bertanggung jawab atas tindakan anggota kepolisian yang melakukan tindakan kekerasan terhadap massa aksi untuk itu harus segera memproses hukum para anggota tersebut sampai tuntas.
  3. Membebaskan seluruh demonstran yang saat ini masih ditahan oleh kepolisian di berbagai daerah

Menanggapi tuntutan tersebut, Hendra Suhartiyono, selaku Humas Polri, mengatakan jika ada kepolisian yang melakukan hal sewenang-wenang kepada massa aksi, masyarakat bisa langsung datang ke Profesi dan Bidang Pengamanan Kepolisisan (Propam). “Tentunya dengan membawa bukti-bukti dan nama polisi yang melakukan kesewenang-wenangan,” ujarnya.

Selain itu, ia menambahkan, untuk pembebasan massa aksi, pihak kepolisian tidak bisa mengintervensi, sebab menurutnya itu sudah sesuai prosedur dengan alat-alat bukti. “Nanti masalah pendampingan saja yang akan kami usulkan ke polda-polda setempat. Agar selalu ada pendampingan hukum,” tuturnya ketika audiensi bersama dengan Gebrak.

Juru bicara Gebrak, Ilhamsyah mengatakan, apa yang disampaikan, Hendra, selaku Humas Polri, sangat tidak memuaskan. Ia menjelaskan bahwa, seharusnya Mabes Polri dapat megoordinasikan semua tuntutan serta membuatkan rekomendasi kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia agar segara mengevaluasi dan menindak polisi yang melakukan tindakan represif.

Berangkat dari kekecewaan tersebut, menurut Ilham Gebrak akan mengumpulkan data-data yang lebih akurat mengenai tindakan represif kepolisian. Ia melanjutkan, setelah semua data terkumpul, tim advokasi Gebrak akan mengirimkan surat ke komisi III bidang hukum, HAM, dan keamanan DPR RI. “Kita meminta komisi III memanggil Idham Azis, selaku Kapolri, untuk segera melaksanakan ketiga tuntutan dari rakyat,” seru Ilham.

Iklan

Selain itu Ilham juga memaparkan, akan mendorong Komnas HAM untuk melakukan investigasi dan ikut bersuara terkait persoalan kekerasan yang dialami massa aksi. Terakhir ia menyampaikan, akan membuat kampanye internasional mengenai pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. “Pertama kita akan ke Amnesty Internasional dan selanjutnya mengkampanyekan kepada negara-negara yang mem-back up Polri selama ini dalam pendanaan,” pungkasnya.

Penulis/Reporter: Uly Mega Septiani

Editor: M. Muhtar