Judul : Sarinah
Penulis : Ir. Soekarno
Penerbit : Media Pressindo dan Yayasan Bung Karno
Tebal : viii + 336 halaman
Sarinah, adalah nama pengasuh Soekarno kecil. Namanya diangkat menjadi judul buku ini sebab––menurut Soekarno––budi beliau sangat besar. Sarinah dijadikan oleh Soekarno sebagai contoh yang patut diteladani oleh perempuan, khususnya di Indonesia.
Di masanya, Soekarno menyadari bahwa banyak kehidupan perempuan di Indonesia yang tak lepas dari pingitan, penindasan, dan pembodohan. Suatu hari, ia berkunjung ke rumah kenalannya. Si Tuan rumah “menyembunyikan” istrinya di dalam rumah. Alasan si Tuan rumah melakukan itu karena ia sangat cinta dan menjunjung tinggi istrinya agar tidak dihina orang. Perempuan ibarat dewi sekaligus bodoh. Seperti yang dikutip Soekarno dari perkataan Profesor Havelock Ellis bahwa kebanyakan laki-laki memandang perempuan sebagai suatu blasteran antara dewi dan seorang tolol. Mereka cantik dan mudah diperdaya.
Soal perempuan begitu penting karena menyangkut tentang masyarakat dan negara, seperti yang dikatakan Nabi Muhammad SAW bahwa, “perempuan itu tiang negeri. Manakala baik perempuan, baiklah negeri. Manakala rusak perempuan, rusaklah negeri.” Banyak ahli sejarah pula yang beranggapan bahwa peran perempuan memanglah penting dalam kemajuan peradaban. Charles Fourrier, seorang filsuf dari Perancis, berkata bahwa, “tinggi rendahnya tingkat kemajuan suatu masyarakat ditetapkan oleh tinggi-rendahnya kedudukan perempuan di dalam masyarakat itu”.
Faktanya, urusan perempuan di Indonesia masih terbelakang bahkan hingga sekarang. Seorang istri tidak dapat berkecimpung di dunia luar (bukan di rumah) akibat “dihargai” suami. Kebanyakan lelaki mengonsepsikan perempuan sebagai makhluk lemah yang tidak dapat diandalkan, kecuali di dapur dan mengurus anak.
Mengenai laki-laki dan perempuan, perbedaan keduanya hanya pada kodrat alam, perlaki-istrian dan peribuan saja, dan perbedaan psikis yakni perbedaan jiwa. Namun, pada kenyataannya, kesempatan keduanya dalam bekerja dan berkembang tidaklah sama. Jika ditelaah kembali tentang peranan lelaki dan perempuan di zaman purbakala, pastilah sangat jauh berbeda dengan kontekstual saat ini. Karena perannya di zaman purbakala, perempuan dianggap sebagai induk kultur; pembangun peradaban manusia yang pertama. Lalu, apa yang menyebabkan perempuan tidak ”bebas” di zaman setelahnya?
Hukum masyarakat yang membuat peranan perempuan tidak lagi seperti di zaman purbakala. Pada saat itu, hukum peribuan atau matriarchat berlaku atas dasar penghargaan perempuan. Kemudian matriarchat bergeser ke patriarchat (hukum perbapaan) sebab lelaki memikirkan hukum keturunan dan keinginan untuk mewariskan hartanya pada anaknya sendiri. Patriarchat kebalikan dari matriarchat. Kodrat alam menetapkan patriarchat lebih utama daripada matriarchat. Namun, patriarchat melewati batas karena kemerdekaan lelaki mengorbankan kemerdekaan perempuan dan laki-laki diktator terhadap kontra-revolusinya kaum perempuan.
Patriarchat yang kelewat batas itu sudah tertanam dengan dalam meskipun zaman sudah berkembang. Salah satu contoh di era modern ini, ialah adanya ridderisme yakni suatu paham yang menganggap perempuan adalah makhluk yang patut dihormati dan dilindungi. Gentlemen, begitu panggilan akrabnya. Tentunya, banyak perempuan yang terlena diperlakukan seperti itu. Pastilah perempuan mengindahkan ridderisme. Padahal esensi dari ridderisme-lah yang secara tidak sadar menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah; perempuan bukan makhluk mandiri sehingga patut dikasihani dan ditolong.
Sebelumnya, kesempatan lelaki-perempuan dalam bekerja dan berkembang tidaklah sama. Perempuan lebih cenderung bekerja di rumah. Setelah perempuan-perempuan berjuang menyusun kemerdekaan haknya––yang pertama kali dimulai Amerika––, kini perempuan sudah mulai diakui keeksistensiannya dalam dunia kerja, selain kerja rumahan. Sempat terjadi perbedaan tujuan dalam bagian internal kaum feminis yang didominasi perempuan kalangan atas: kebebasan berpolitik dan keinginan untuk bekerja. Maka dari itu, muncullah gerakan baru dari kaum perempuan kalangan bawah (proletar atau buruh), yakni sosialis. Bagaimana pun peliknya, pergerakkan yang telah terjadi membuahkan hasil. Perempuan dapat berkecimpung di dunia politik: menjadi presiden dan menjadi wakil rakyat. Contohnya, Megawati Sukarno Putri yang sempat menjabat sebagai presiden Indonesia kelima.
Pada hakikatnya, nasib perempuan ada di tangan mereka sendiri, begitupun di Indonesia. Perempuan harus sadar akan ketertinggalannya. Usaha perempuan tak lepas dari bantuan kaum lelaki dalam membela haknya. Keduanya harus saling melengkapi; saling membantu. Menurut Soekarno, perempuan dan laki-laki harus saling bahu-membahu dalam meraih cita-cita Indonesia. Meskipun ada perbedaan mencolok antara kaum feminis dan sosialis, dalam meraih tujuan yang satu haruslah bekerja sama. Jangan sampai menimbulkan perpecahan./Luthfia Harizuandini