Tidak ada yang memilih untuk lahir di sini. Keluarga ini, Kampung ini, Wilayah ini, maupun Negara ini. Tidak pernah terpikirkan tinggal di arena simulasi neraka ini. Jika terpikirkan hal ini aku jadi sering berandai-andai. Andai saja, Jika saja dan lainnya. Tapi itu hanya buang waktu, ketimbang memikirkan itu, lebih baik aku menyibukkan diri dengan memikirkan hal menyenangkan saja. Begitulah pilihan terbaiknya, barangkali karena problemnya tidak tunggal. Bukan hanya geografis, dimana aku lahir. Tapi banyak hal yang akhirnya membuatku tidak bahagia. Tidak perlu disebutkan apa saja. Ku bulatkan, segalanya yang ku temui membuatku muak.

***

Sepi memang masalah. Tapi kadang kita butuh itu. Karena keramaian pun banyak menimbulkan kerugian pula. Entahlah. Biasanya aku sendiri berandai-andai, berharap-harap, kemudian lelap dan bermimpi. Itu menyenangkan sekaligus menyedihkan. Sulit dijelaskan. Sendiri memberimu waktu untuk membaca diri. Kau bisa menjadi apapun. Menangisi diri, menertawakannya, dan hal lainnya yang lumrahnya di hadapan manusia secara umum dianggap tidak wajar bahkan gila.

Keadaan ku sangat rumit untuk dijelaskan. Yang jelas, bukan situasi yang membahagiakan. Agaknya tidak penting sama sekali menggali situasi kehidupanku. Akupun bukan siapa-siapa. Tidak perlu dipikirkan terlalu keras, itu membuang waktu. Lupakan saja.

Tapi ada hal yang perlu kalian tahu, sepi ini, kadang indah untuk dirindukan. Tidak jarang sebaliknya, andai aku boleh hiperbolis, sepi ini rasanya seperti membayangkan neraka. Begitu pula yang terjadi dengan keramaian.

***

Iklan

Matahari sudah menampakkan eksistensinya beberapa jam lalu. Kelopak mataku berat, sedikit kering dan terasa perih. Semalam mereka datang. Sayangnya dalam jelmaan neraka. Tetap saja, biar bagaimanapun aku tidak membenci mereka. Tapi, jelmaan neraka keramaian yang mereka bawa adalah masalahnya. Entahlah itu datang dari mereka atau aku saja yang sedang menikmati sepi ini.

Seperti biasa tiga orang itu, neraka keramaian yang sudah berkali-kali ku sebut itu, datang dengan tangan kosong, sedikit senyum menyungging, serta tatapan yang ingin disambut dengan balas senyuman. Mereka ini datang dengan rasa percaya diri. Sangat percaya diri bahwa yang dibawanya adalah kebahagiaan untuk semua orang, terutama untukku, orang yang ditujunya.

Meski begitu, aku hanya membalas mereka dengan tatapan datar, nanar, dan kosong. Layaknya menatap ruang hampa. Setelah itu, kami saling sapa. Mereka tetap mempertahankan percaya dirinya. Biasanya mereka datang dengan jumlah yang beragam. Kadang dua, tiga, sampai lima. Jumlah itu tidak begitu penting. Pada dasarnya, setiap datang ke sini mereka punya tujuan yang sama. Bercengkerama.

Ini sudah hari kelima secara berturut-turut mereka datang. Dalam waktu yang hampir sama dan dengan jumlah orang yang berbeda. Aku mengamati kegiatannya hampir sama. Begini; uang tidak lebih dari sepuluh ribu rupiah dikumpulkan dari masing-masing kami. Kemudian ada yang bertugas membeli kopi, rokok, dan makanan ringan andai uangnya masih tersisa. Setelah itu semua tersedia, dimulailah seremonial puncak. Bincang-bincang. Kadang berisi cemooh, gelak tawa, hingga rumitnya lepas dari belenggu kemiskinan dan lainnya.

Malam itu, obrolan yang paling melekat adalah tentang wanita. Barangkali kalian sudah tahu lewat kalimat itu. Kami adalah kumpulan lelaki. Kukira sulit juga mengelompokkan kami berdasarkan usia. Bukan remaja, tapi tidak layak juga dibilang dewasa. Sudahlah, tidak penting bagian itu. Kembali pada topik obrolan semalam. Beberapa dari kami mulus dengan itu, hubungan spesial dengan wanita. Dia yang hubungannya mulus, banyak berbicara tentang pertengkaran yang kerap terjadi. Ada juga yang sedang ingin ganti pasangan walau hubungannya sedang baik-baiknya katanya. Aku tidak banyak bicara disana. Karena aku masuk golongan yang tidak mulus. Semakin banyak bicara, makin banyak mereka menemukan celah untuk membuat lelucon tentang itu. Walau kadang berlebihan, tapi aku tidak ambil pusing. Biarkan saja, mereka tidak bermaksud menyakiti. Akupun sering membalas hal serupa andai ada kesempatan. Itu memang hubungan unik, aneh dan sangat terbuka. Tidak ada masalah dalam hal itu. Lagipula itu bukan masalah.

Persoalannya aku jadi teringat saat-saat itu. Sekitar satu tahun lalu. Saat hubungan itu kandas. Mereka sudah mengingatkan bahwa hubungan seperti itu pasti akan kandas. Kemudian bertaruh karena aku merasa percaya diri bahwa mereka salah. Katanya, “untuk apa memilih Naoko yang jelas-jelas akan pergi?”

Ku bilang, “aku tak mau dengan Midori. Ini persoalan hati yang murni. Aku khawatir hanya karena Midori bermanfaat.”

“Nah, justru itu. Sambil menyelam minum air kan?” Temanku menimpali.

Aku tidak lanjut membalas. Pertama, karena dalam kelompok itu aku memang tidak banyak bicara. Tapi bahkan di mana pun aku tidak banyak bicara. Kedua, aku malas membahas itu berkepanjangan.

Naoko dan Midori adalah nama tokoh dalam cerita Murakami. Keduanya adalah tokoh rekaan. Karena dalam beberapa hal, kisahnya mirip denganku. Mereka melabelkan dua wanita itu dengan nama tokoh rekaan Murakami. Naoko, perempuan yang dicintai Kazuki tokoh utama. Dia sakit-sakitan meski begitu, Kazuki akan tetap mencintainya. Hingga akhirnya dia pergi Kazuki sangat terpukul.

Iklan

Harusnya, kupikir Kazuki tahu bahwa Naoko akan pergi. Bagaimana pun sakit yang dideritanya sangat parah. Midori merupakan teman kampusnya Kazuki. Dan dia hadir saat Naoko sedang sulit diprediksi. Midori selalu ada disaat Kazuki kesepian. Namun, Kazuki tetap mempertahankan perasaannya untuk Naoko. Satu hal yang ingin kukatakan pada Kazuki, “pria bodoh!”

***

Sudah sekitar satu setengah tahun aku berada dalam keadaan ini. Hampir setiap seminggu mereka datang dalam tiga, empat, sampai lima hari. Kadang menjelma neraka, kadang membawa kedamaian. Jujur aku tidak pernah benar-benar menganggap mereka sebagai masalah. Kadang saat keuanganku benar-benar menipis, mereka datang dan membawakan apa-apa yang kubutuhkan. Uang, rokok, dan sedikit makanan. Aku betul-betul terbantu. Terutama belakangan, saat kondisi keuanganku betul-betul krisis. Akhirnya menggantungkan hidup dalam subsidi mereka. Ketergantungan sama bermasalahnya dengan sepi atau ramai. Ketergantungan tidak lain adalah candu. Kita tahu itu bermasalah, tidak seharusnya hidup dalam buaian kenikmatan yang tidak nyata.

Aku begitu bimbang harus apa. Tidak bisa menolak kedatangan mereka. Jamuan yang mereka mau pun tidak muluk, cukup keberadaanku saja. Tidak ada alasan kuat untuk mengusir mereka. Aku sudah berkali-kali bilang. Tidak usah terlalu sering datang. Urus-urusan kalian masing-masing. Tapi mereka tidak mau peduli, katanya supaya aku tidak kesepian. Dan sudahlah. Berdebat tentang itu hanya buang waktu. Karena ketika aku sendiri kadang aku tidak melakukan apapun. Kegiatan yang harus ku lakukan, yang membuatku terus merasa diburu waktu, tidak ku lakukan. Sering mendadak sedih, murung dan sebagainya setiap kali aku mengulangi hal itu. Aku jadi sering merutuki diri sendiri. Mengapa aku tidak peduli dengan apapun. Andai saja sejak dulu aku tidak bermalas-malasan, andai saja aku punya ambisi aku akan hidup penuh dengan kemapanan.

Ah, barangkali tidak begitu. Aku bisa saja gila. Aku tidak tahu akan kuat berambisi. Mungkin saja mental ku tidak sekuat orang lain. Kadang menyedihkan, melihat mereka yang lebih sulit dariku tidak mengeluh sebanyak ini.

Pengandaian lainnya, andaikan aku berambisi, maka aku menendang mereka kuota kemapanan untuk mereka yang ingin ada di puncak juga. Kalian harus dengar teori ketidakmungkinan. Jumlah kekayaan di dunia ini stabil. Kita harus bersaing jika ingin ada dalam kemapanan. Karena setengah kekayaan sudah dimonopoli hanya oleh satu persen manusia. Rasanya menyedihkan jika harus berambisi, dan hidup dalam kemapanan, tapi mereka yang tidak mendapatkan akses tidak dapat berbuat apapun untuk lepas dari kemiskinan. Sekuat apapun mereka berusaha. Aku pun bertanya-tanya, apakah aku ada dalam kelompok mereka yang tidak mendapatkan akses itu?

Ketika memikirkan itu, jadi menyedihkan lagi. Aku tidak bertindak apapun. Membantu diri sendiri saja tidak sanggup. Tapi keinginan terlalu muluk.

***

Aku memutuskan untuk pergi. Semakin lama ketergantungan, semakin memperburuk keadaan. Keadaan kamar yang kutinggali sudah sangat berantakan. Ungkapan kapal pecah untuk tempat tinggal yang berantakan tidak terlalu berlebehin. Sisa-sisa kopi berbulan-bulan lalu sudah berjamur di dalam gelas. Warnanya cantik, ada hijau, kuning, abu bahkan ungu. Biarkan saja dia menjadi karya seni alami. Piring-piring beberapa buah menumpuk dalam keadaan tidak terawat. Berceceran di sudut ruangan. Beberapa diantaranya pecah. Pakaian berhamburuan disana-sini. Semuanya belum dicuci. Bahkan yang melakat ditubuhku pun begitu, belum dicuci sejak tiga  hari lalu. Aku terlalu kacau.

Pikirku saat itu, aku akan hidup dijalanan untuk melebur bersama alam buatan ini barang satu atau dua hari. Tanpa mengabari siapapun. Aku pergi untuk mencari ketenangan.

***

Aku heran, mengapa belakangan orang-orang memandangiku sebegitunya. Padahal, biasanya mereka tidak peduli pada orang sekitar. Lama-lama aku yang biasa tidak peduli ini kesal juga.

Apa yang mereka perhatikan dariku? “Kau kira aku orang gila hah!?” teriakku pada orang-orang di sekitar. Tapi teriak itu justru memancing orang-orang memandangiku semakin dekat, dan jumlahnya bertambah banyak. Hanya sebentar itu terjadi. Lalu, aku lanjutkan berjalan. Tapi sepanjang perjalanan terus saja ada yang memandangiku seperti itu. Seolah ingin mengatakan jijik. Seolah, ingin “hueek!, cuih, husss pergi jangan mendekat!” dari mimik pandangan mereka. Tapi semakin aku marah dan memaki, mereka justru semakin asik memandangiku. Aku lelah menanggapi pandangan brengsek itu.

***

Kau tahu, jalanan ini sungguh tidak alami. Manusia belakangan memang sudah mengubah alam semaunya. Di kota maupun di desa, kondisinya tidak jauh berbeda. Kealamian sudah dikorupsi manusia. Jalanan, benar-benar tidak layak untuk dihidupi. Polusi udara sangat terasa. Sedikit pohon dimana-mana. Yang tumbuh adalah jamur-jamur perekonomian. Baik kelas atas maupun kelas bawah. Mall, kafe, hingga Pedagang Kaki Lima (PKL) sangat ramai di sini. Begitu hingar-bingar disini, siang, dan malam. Jalanan memang bukan tempat yang layak dihidupi. Tapi ah, bahkan rumah, kamar, dan di mana pun sekarang tidak layak untuk dihidupi.

Bahkan dunia ini kupikir sudah tidak layak untuk dihidupi. Semuanya sudah berjalan dalam fase ketidaknormalan. Orang-orang sudah tidak peduli lagi dengan sekitarnya. Sibuk pada dirinya sendiri. Prinsipnya makan atau dimakan. Saling sikut dan sebagainya. Mencurigai satu sama lain adalah normal. Gila. Tapi bahkan begitu, setidaknya ada tempat lain yang lebih baik dari ini. Misalnya tempat dimana kau banyak dapat jaminan kehidupan. Pendidikan layak yang memungkinkan dijangkau semua orang. Lebih dari itu, akses kesehatan, jaminan tempat tinggal layak, juga jaminan sosial yang memadai. Aku ingin ke sana. Barangkali andainya bisa ke tempat itu. Sayangnya itu tidak mungkin. Kemustahilan yang ku pasrahkan.

***

Lama-kelamaan, aku mulai beradaptasi. Asap kendaraan, debu jalanan, kegersangan serta polusinya Menyatu dengan tubuhku. Aku menjadi bagian dari alam buatan ini. Lebih dari itu, kini aku beradaptasi dengan pandangan memuakkan orang-orang yang ku lewati. “Haha…” itu lucu pikirku. Mereka pikir hanya mereka yang bisa merasa jijik. Aku pun bisa.

Teriakku tiba-tiba pecah,”aku kasihan dengan kalian semua! Bisa-bisanya bangga bertahan hidup mengikuti dunia yang sudah tidak waras ini. Aku menantang kalian semua! Kita buktikan siapa yang saat ini masih waras! Siapa yang paling waras!”

Akibat keramaian itu, sosok wajah yang tidak asing mendatangiku. Meneriakan namaku. Kemudian menarik tangan ku dan menangis.

“Kok kamu bisa begini, ada di sini?” Katanya dengan air mata berurai.

Aku heran, siapa dia aku tidak ingat. Ingatanku tentangnya saat itu samar. Bahkan tentang diriku pun ikut samar. Tapi aku masih ingat apa yang dia katakan. Katanya sudah beberapa bulan aku tidak ada kabar. Katanya lagi, dia rindu patungan untuk rokok dan kopi kemudian berbincang sampai pagi di kamar itu barsama yang lainnya. Setelah itu dia menarik tanganku membawaku entah kemana.

***

Senin pagi, seingatku aku ada jadwal. Ya, harusnya ini jadwal kuliahku. Tapi kenapa aku di sini? Sekujur tubuh rasanya sakit. Aku tidak akan berangkat kuliah hari ini. Tapi bagaimana? Bagaimana seandainya aku tidak bisa lulus. Sementara keluarga di rumah sudah berharap banyak. Aku tidak mau terlalu lama membebani keluargaku yang ekonominya seadanya itu. Enam tahun saja cukup. Terpikirkan hal itu membuatku kacau.  Aku harus bangkit. Tapi apa ini? Sekarang apa lagi? Ada tali melingkar dikaki ku dengan ikatan yang sangat kuat. Apa lagi ini? Aku harus pergi! Tolonglah!

Tanpa sadar aku memukul-mukul tiang di depanku dengan sangat keras. Aku menyerah berusaha membuka ikatan yang kuat ini. Frustasi rasanya. Sambil terus-menerus memukul tiang itu, terlontar suara-suara ganjil dari mulutku dengan cukup nyaring.

Kemudian, seorang datang. Wajahnya tidak asing, tapi rasanya lama tidak memandangnya. Dia perempuan dengan paras paruh baya, memanggilku dengan sebutan “Nak”. Dengan mata berkaca, memelukku dan memberiku obat.

***

Rasanya sudah lama aku di sini, hari-hariku sama saja. Setiap malam aku terpikirkan tentang ratapan kehidupan. Kemudian teringat sekumpulan orang-orang yang datang dengan senyum menyungging. Juga tatapan jijik orang-orang di jalan. Pagi hari, aku ingat tentang senin dan kuliah. Aku masih sangat bingung. Sendirian. Hanya perempuan itu yang sesekali datang memberi makan dan obat-obatan. Tapi hari ini berbeda, perempuan itu datang tidak sendirian. Dia bersama beberapa orang yang wajahnya juga tidak asing. Mereka terlihat tegang. Satu diantaranya aku sangat kenal. Kemudian teringat, dia yang membawaku kemari!

Penulis: Muhamad Muhtar