Kehadiran ChatGPT menjadi salah satu tantangan baru dalam dunia akademik. Tugas-tugas yang diberikan oleh dosen kini dirasa sangatlah mudah karena adanya bantuan instan dari ChatGPT. Mahasiswa pun tak perlu bersusah payah lagi ketika mengerjakan tugas-tugasnya. Cukup membuka ChatGPT dan mengetik pertanyaan di bot tersebut maka munculah jawaban yang diharapkan oleh para pengguna.
Namun dari penggunaan tersebut, muncul pula sebuah pola tak sehat. Mahasiswa sering melakukan plagiat dari jawaban yang dihasilkan oleh ChatGPT. Mereka hanya menerima tanpa mempertanyakan ulang jawaban tersebut hingga tidak adanya pengecekan ulang. Padahal jawaban yang dihasilkan oleh ChatGPT tidak selalu akurat. Sumber data yang diberikan juga terkadang tidak valid. Akan tetapi, mahasiswa seakan tidak peduli dengan hal tersebut. Mereka terlalu percaya dengan hasil dari mesin kecerdasan buatan itu dan seolah tidak ingin repot lagi hingga acuh pada benar atau tidaknya jawaban dari ChatGPT.
30 November 2022, OpenAI sebuah perusahaan yang bertempat di California, AS meluncurkan ChatGPT. Chatbot tersebut adalah sebuah mesin kecerdasan buatan (AI) yang mampu menjawab pertanyaan dan merespons suatu pertanyaan dalam bentuk teks. Akan tetapi, ChatGPT memiliki keterbatasan-keterbatasan yang perlu diperhatikan lagi. Misalnya, jawaban yang dihasilkan mesin tersebut terkadang tidak jelas dan cenderung ngawur.
Hal tersebut terjadi karena terbatasnya data yang dimiliki oleh ChatGPT, utamanya setelah tahun 2021. Selain itu, data yang salah juga dapat terjadi karena adanya fenomena halusinasi kecerdasan buatan. Fenomena itu menunjukkan adanya kesalahan data yang tidak mencukupi dalam sebuah mesin sehingga ChatGPT salah menginterpretasikan masukan dari pengguna.
Dalam hal menjawab pertanyaan, ChatGPT menggunakan teknik generatif. Ia dibentuk dari data-data internet yang nantinya diolah dalam deep learning. Maka, saat menjawab pertanyaan ChatGPT, hasil yang dimuat berasal dari karangan yang dihasilkan lewat stimulus kata yang diberikan.
Teknologi deep learning merupakan sebuah metode yang mengarahkan mesin untuk memproses data secara berurutan dan otomatis. Deep learning terinspirasi dari cara kerja otak manusia yang menginput suatu pengalaman menjadi data dalam memori kepala. Deep learning berperan penting dalam melatih perkembangan ChatGPT untuk mempelajari berbagai pola dan struktur bahasa pada data yang telah dilatih. Alhasil, ChatGPT akan lebih baik dan terstruktur dalam merespons pertanyaan dari si pengguna. .
Salah satu implementasi dari metode deep learning adalah aplikasi AlphaGo. Di tahun 2017, AlphaGo sempat menjadi perbincangan yang ramai sebab mesin tersebut sukses mengalahkan Lee Sedol, seorang juara dunia Go. AlphaGo dibentuk persis seperti cara kerja otak manusia dan mesin tersebut memiliki dua jaringan syaraf yang memudahkannya untuk mengambil dan memprediksi langkah-langkah permainan yang menuju kemenangan. AlphaGo dapat melatih dirinya melalui banyak permainan sehingga ia bisa mengalahkan lawan dengan mudah.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas mengenai keterbatasan ChatGPT, maka ketika seorang mahasiswa mengakses ChatGPT seharusnya ia tidak menerima begitu saja hasilnya. Perlu adanya kesadaran dalam diri mahasiswa, misalnya bersikap kritis dan skeptis dalam menggunakan ChatGPT. Sehingga penggunaan ChatGPT oleh mahasiswa tak sekedar copy paste, tapi mahasiswa harus melakukan pengecekan ulang jawaban yang diberikan oleh ChatGPT.
Baca Juga: Aplikasi ChatGPT, Sebuah Ancaman bagi Jurnalisme Kiwari
Tumbuhkan Sikap Kritis di Perguruan Tinggi
Lingkungan akademik seperti perguruan tinggi berperan besar untuk meningkatkan sikap kritis dalam diri mahasiswa. Perguruan tinggi sebagai ruang akademik harusnya dapat menjadi fasilitator dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar hal tersebut dapat berjalan baik, diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni, langkah yang dapat ditempuh adalah dengan menumbuhkan sikap kritis individu di dalamnya. Misalnya, dengan mengadakan ruang diskusi di lingkungan kampus. Sebab, bila kita telusuri lagi minimnya ruang diskusi menjadi salah satu faktor kurangnya sikap kritis dalam diri mahasiswa.
Selain itu, dosen juga harus menciptakan perkuliahan yang dialektis. Dosen tidak hanya sekedar menerangkan materi namun harus melibatkan mahasiswa secara aktif. Dosen dapat menjadi pemantik agar mahasiswa dapat berargumen, memberikan sanggahan dan tak percaya begitu saja.
Hubungan antara dosen dan mahasiswa juga perlu diperhatikan. Adanya kesenjangan dapat membuat mahasiswa menjadi takut atau segan untuk mengeluarkan argumennya. Hubungan yang terbangun dengan baik akan menghasilkan ruang kelas yang nyaman sehingga mahasiswa tidak ragu untuk bertanya ataupun berdiskusi dengan pengajar. Dosen harus memberikan ruang bagi mahasiswa untuk menjadi lebih kritis, dengan mengajak mahasiswa untuk berdiskusi di dalam kelas.
Dengan adanya sikap kritis mahasiswa, penggunaan ChatGPT tidak akan disalahgunakan. Sikap kritis menjadikan mahasiswa tak sekadar menerima hasil dari ChatGPT. Penting bagi mahasiswa untuk mengambil sikap bijak ketika menggunakan ChatGPT. Sehingga tidak hanya plagiat, namun menjadi alat bantu bagi para mahasiswa dalam mencari referensi, mengoreksi gaya bahasa, hingga menjadi kolaborator riset..
Penulis: Machika Salsabila
Editor: Izam Komaruzaman