Salah satu aplikasi yang masyhur diperbincangkan serta marak digunakan di internet saat ini adalah ChatGPT. Aplikasi ini jadi solusi bagi orang-orang untuk mencari jawaban yang detail atas segala hal. Misalkan Anda mengetik kata “Bagaimana nasib Indonesia setelah tak lagi menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20?” Lantas, ChatGPT akan menjawab dengan begitu detail soal nasib Indonesia serta potensi-potensi yang ada dalam satu rangkuman tulisan.
Bahasa yang digunakan oleh ChatGPT disusun dengan rapih melalui teknologi AI. Robot kecerdasan buatan ini diciptakan oleh sebuah perusahaan bernama OpenAI, yang didirikan oleh Sam Altman, Elon Musk, serta dapat support penuh dari Microsoft. Data yang dihasilkan juga dirangkum dari berbagai sumber di internet. Bahkan, ChatGPT bisa dengan mudah menghasilkan sebuah berita tanpa harus penggunanya keluar dari rumah untuk reportase lapangan.
Hal ini jadi ancaman bagi jurnalisme masa kini. Jurnalisme menuntut berita yang cover both side, disusun dengan memuat pro dan kontra dalam setiap badan tulisannya. Sialnya, ChatGPT bisa membuat itu semua dengan mudah.
Pertanyaannya adalah, bagaimana jurnalisme masa kini bertarung dengan aplikasi yang dikendalikan dengan robot kecerdasan buatan ini? Seberapa jauh para jurnalis bisa bertahan dalam gempuran informasi gamblang yang diciptakan oleh ChatGPT? Pertanyaan ini juga dirasakan oleh sang penulis yang saat ini bekerja di media online.
Lantas, penulis mencari celah dari AI yang mengendalikan ChatGPT ini. Memang, sang pembuat mengklaim data-data yang dihasilkan terbatas sampai tahun 2021. Namun, bukan tidak mungkin aplikasi ini akan melakukan update data demi memuaskan hasrat sang pengguna.
Baca Juga: Martin Suryajaya: Sastra dapat Beriringan dengan ChatGPT
Jurnalisme konvensional yang dituntut liputan lapangan serta menghasilkan berita yang berkualitas semakin berpotensi digusur oleh kelihaian ChatGPT memainkan kata per kata sesuai kaidah jurnalistik. Hal ini semakin jelas bila dikaitkan dengan salah satu buku popular Tom Nichols berjudul Matinya Kepakaran.
Dalam buku tersebut, Tom Nichols berkata sumber-sumber di internet dapat dicari dengan mudah. Namun, ada sebuah kelemahan di balik kemudahan tersebut. Tak ada verifikasi lanjutan terhadap sumber nantinya akan terserap menjadi sebuah fakta yang diyakini sebagian besar pengguna internet.
Penulis memasukkan profesi jurnalis sebagai pakar. Mereka hadir di lapangan, melakukan reportase, menulis di ruang kerja, serta berbincang dengan editor terkait apa yang perlu diperbaiki sebelum berita naik tayang di media massa. ChatGPT tak memiliki hal ini, namun kerja-kerja yang dihasilkan layaknya jurnalis di lapangan dengan tempo penulisan kurang dari satu menit saja!
Ada celah yang penulis yakini belum mampu diserap oleh ChatGPT, yaitu human interest dalam penulisan serta referensi sumber. Hal yang kurang dalam aplikasi ini adalah sumber yang didapat sering kali salah karena keterbatasannya. ChatGPT menulis referensi tidak begitu matang, malah asal menempatkan referensi palsu yang tidak ada ketika kita cari di internet.
Berkah dari kemampuan manusia saat menulis karya jurnalistik adalah human interest. Jurnalis langsung terjun ke lapangan dengan liputan, memilah informasi yang ia temui saat wawancara, lalu dihasilkan dengan bernas lewat produk tulisan lewat interaksi antar manusia. Semua ini menurut penulis tidak ditemukan dalam ChatGPT yang penulisannya masih terprogram berdasarkan temuan AI.
Namun, ancaman terbesar bagi jurnalisme saat ini bagi penulis adalah keinginan jurnalis-jurnalis yang ingin mudah dapat informasi tanpa harus bekerja keras mencari narasumber, demi kecepatan tayang berita di internet. Hal seperti inilah yang merusak kaidah jurnalistik sendiri.
Seharusnya, teknologi digunakan untuk mempermudah jurnalis mengembangkan tulisan, bukan membuat jurnalis dipermudah tanpa kreatif dalam menulis sebuah berita. Jurnalis memang dituntut untuk tepat memberi informasi kepada pembaca, namun bukan dengan cara yang instan seperti menggunakan ChatGPT.
Muhammad Rizky Suryana
Redaktur Online LPM Didaktika UNJ (2017-2021), saat ini bekerja di Pikiran Rakyat Bogor sebagai Redaktur Pelaksana