Judul Buku : Pater Pancali
Penulis : Bibhutibhushan Banerji
Penerjemah : Koesalah Soebagyo Toer
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : Cetakan pertama, Mei 2016
Tebal : xxii+ 425 hlm. ISBN: 978-602-424-030-1
Pater Pancali merupakan sebuah karya terbesar dari sastrawan India Bibhutibhushan Banerji. Pater Pancali kali pertama terbit pada 1929. Di negerinya, novel ini merupakan salah satu novel yang sudah puluhan kali cetak ulang dan diterjemahkan ke beberapa bahasa. Ini menunjukkan antusiasme yang besar dari pembacanya.
Secara harfiah, Pater artinya Jalan. Pancali artinya sajak-sajak panjang yang dinyanyikan. Penamaan novel tersebut tentu saja menggambarkan jalannya cerita tersebut. Cerita tersebut memiliki empat tokoh utama. Pertama, Harihar, seorang Brahmana miskin dan hanya mengandalkan pendapatan dari memimpin upacara keagamaan. Meski demikian, Harihar adalah ayah yang pekerja keras. Kedua, Sharvajaya, seorang wanita yang memiliki kasta lebih rendah dari suaminya. Awalnya, ia seorang ibu yang tempramental. Namun, seiring berjalannya waktu ia menjadi seorang ibu yang sangat sabar.
Novel ini menceritakan bagaimana perjalanan hidup sebuah keluarga dari kasta Brahmana yang miskin. Feodalisme yang ketat, tentu menjadi hambatan dan tantangan keluarga ini untuk maju. Meski seorang Brahmana, tak lantas ia dianggap setara dengan Brahmana lainnya yang kehidupannya sangat mapan. Seluruh keluarga Harihar mesti bekerja keras demi memiliki kehidupan yang lebih baik di bawah feodalisme yang sangat ketat. Hingga mesti rela kehilangan anak perempuannya karena kelaparan dan malaria.
Namun, Harihar memiliki pemikiran yang berbeda dengan Brahmana lainnya. Harihar berpikiran agar anaknya yang bernama Apu, dapat kehidupan lebih layak melalui kecerdasan dan pengetahuan yang dimilikinya. Harihar selalu membelikan Apu buku dan surat kabar. Harihar juga tidak seperti kebanyakan Brahmana yang memanfaatkan kastanyanya untuk memperkaya diri. Baginya, yang paling penting untuk memperbaiki kehidupannya melalui pendidikan. “Kalian tak bisa mengharapkan anak-anak kalian seperti anakku. Kalian selamanya akan jadi pemburu rente. Kami miskin, tapi kami berpendidikan (hlm.187).”
Meski demikian, tokoh utama pada novel tersebut bukan kedua orang tua yang bersusah payah berjuang memenuhi kehidupan, melainkan kedua anak Brahmana miskin ini yang menjadi tokoh utama. Apu dan Durga, mereka tumbuh dan berkembang sebagai seorang anak yang bersahabat dengan alam. Jalan setapak, pepohonan, dan hutan rimba menjadi tempat bermainnya (hlm.163). Tak hanya itu, ketatnya feodalisme yang ada tak membatasi mereka untuk bergaul dengan siapa saja, bahkan dengan orang yang sebatang kara dan tak memiliki kasta (hlm.256).
Tokoh ketiga adalah Durga, anak pertama Harihar yang sangat aktif. Tak seperti kebanyakan anak perempuan India yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Durga merupakan seorang anak perempuan wanita yang senang berpetualang dan periang. Namun, Durga tidak diberikan pendidikan oleh orang tuanya. Seperti kebanyakan wanita hanya dipersiapkan untuk menjadi ibu dan istri yang baik dan tak perlu pendidikan. Anak perempuan tak banyak mendapat tempat dalam masyarakat. Musababnya, sistem patriarki sangat dominan dalam masyarakat India.
Tokoh keempat adalah Apu, anak laki-laki yang pintar. Ia tidak mampu bersekolah formal. Namun, ia rasa ingin tahunya sangat tinggi senang membaca, terutama sajak-sajak Ramayana dan ia membacanya layaknya bernyanyi. Dari hobi Apu inilah, Banerji menamakan novelnya Pater Pancali.
Banerji menciptakan alur maju-mundur. Hal ini membuat pembaca membutuhkan ketelitian dan kecermatan. Alur cerita ini terkadang tidak berkaitan antara bagian satu dengan bagian lainnya. Namun, tetap dalam satu kesatuan emosi. Kekuatan novel ini adalah Banerji berhasil menggambarkan situasi keadaan desa di India dengan apa adanya. Ia tidak menjelaskan rinci, tidak pula mengkritiknya.
Tidak seperti novel-novel Tagore, yang menggambarkan situasi desa di India yang diidealkan. Penggambaran tersebut disajikan melalui pikiran, mata, hati, dan mulut Apu dan Durga. Tak hanya itu, Banerji berhasil memahami dan menyatakan simpati kepada perilaku anak dan ia menulis tanpa ada kesan orang dewasa yang ramah terhadap anak.
Sebenarnya, cerita ini mirip dengan perjalanan hidup Banerji. Tak jarang ada yang menganggap novel ini adalah biografi Banerji. Namun, anggapan itu agak naif dan terkesan simplifikatif. Banerji secara implisit berhasil mengungkapkan buruknya feodalisme melalui kastanisasi dalam masyarakat dan sistem patriarki yang ada sangat tidak adil.
Novel ini sangat menarik untuk dibaca. Penggambaran desa yang permai, sangat bertolak belakang dengan kehidupan warga yang miskin, dan karakter tokoh-tokoh lain mewarnai setting cerita cukup menguras emosi pembaca. Dapat dikatakan, novel ini dapat mengikat perhatian sampai halaman terakhir. Apalagi nilai-nilai moral yang disampaikan Banerji adalah pelajaran berharga. Melalui tokoh utamanya, Apu yang polos dan tidak mudah menyerah dengan keadaan, Banerji menyiratkan pelajaran bahwa kehidupan dan takdir bukan sesuatu yang “given” dari Tuhan.
Virdika Rizky Utama