Judul Buku: Aidit, Marxisme-Leninisme, dan Revolusi Indonesia

Penulis: Satriono Priyo Utomo

Penerbit: Indie Book Corner

Tahun Terbit: Cetakan I, April 2016

Tebal: 176 halaman, ISBN: 978-602-3092-3091-60-7

 

Iklan

 

Ada sebuah adagium menyatakan bahwa sejarah hanya untuk orang-orang yang menang. Artinya, sejarah ditulis oleh pihak yang berkuasa. Sementara, pihak yang kalah tak mendapat tempat dalam penulisan sejarah. Apabila mereka ditulis, tentu saja dianggap pesakitan atau pemberontak.

Hal inilah yang dialami oleh orang-orang kiri—penganut ajaran Marxisme-Leninisme. Sejak dianggap melakukan kudeta pada 1965. Pemerintah Soeharto kemudian melarang aktivitas yang dianggap kiri dan kemudian kiri dianggap berbahaya. Hingga saat ini pun, kita masih melihat pelarang-pelarangan kegiatan yang dianggap kiri. Tanpa kita memahami apa itu kiri dan apa yang diperjuangkan untuk Indonesia.

Dengan latar belakang tersebut, penulis coba membahas ide dan pemikiran Dipa Nusantara Aidit, pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI). Melalui film pengkhiantan G30S/PKI (1982) Aidit digambarkan sebagai seorang berbahaya, pembunuh, dan atheis. Tapi, siapa yang menyangka bahwa Aidit sewaktu kecil adalah seorang muazin dan sudah tamat membaca Al-Qur’an sebanyak tiga kali (hlm.35).

Buku yang terdiri dari enam bab ini coba menjelaskan perbedaan pemikiran Aidit tentang Marxisme-Leninisme dengan Marxisme-Leninisme yang berkembang di dunia. Perbedaan pertama  tentang gerak sejarah perkembangan struktur masyarakat Indonesia atau dapat dikatakan matrealisme historis.

Menurut Marx dalam German Ideology (1846), matrealisme historis adalah eksistensi manusia dimulai saat mereka bisa memproduksi alat-alat hidup, suatu ruang hidup yang dikondisikan oleh organisasi fisik mereka. Dengan memproduksi alat produksi, manusia secara tak langsung memproduksi kehidupan materialnya. Intinya, cara produksi suatu masyarakat akan merepresentasikan cara hidupnya.

Marx membagi sejarah pekembangan struktur masyarakat terdiri atas tahapan masyarakat komunal, masyarakat perbudakan, masyarakat feodal, masyarakat kapital, masyarakat sosialis, dan masyarakat komunis. Kemudian, Marx membagi manusia menjadi dua kelas yakni kelas borjuis dan kelas proletar (buruh).

Marx melanjutkan dalam Manifesto Komunis (1848) bahwa yang terjadi saat itu adalah ketidakadilan dalam masyarakat. Musababnya, penguasaan alat produksi oleh Kaum Borjuis dan menghisap nilai lebih dari hasil kerja buruh. Oleh sebab itu, buruh harus merebut alat produksi dari kaum Borjuis. Marx menjadikan buruh sebagai basis utama untuk melawan kapitalisme.

Sedangkan, Aidit membagi sejarah perkembangan struktur masyarakat Indonesia menjadi masyarakat komunal primitif, masyarakat perbudakan, masyarakat feodal, masyarakat feodal dan kolonial, masyarakat kolonial dan setengah feodal, masyarakat merdeka dan setengah feodal, dan masyarakat setengah kolonial dan setengah feodal (hlm.57).

Menurut Aidit, realitas masyarakat Indonesia tidak sejalan dengan gagasan Marxisme-Leninisme di Eropa. Sebab, Indonesia mengalami dua ketertindasan. Pertama feodalisme, sistem penguasaan tanah oleh raja ini yang sangat menindas rakyat Indonesia terutama kaum tani. Kedua kapitalisme, pada masyarakat Eropa terutama revolusi Prancis, kapitalisme dapat menumbangkan feodalisme.

Iklan

Sedangkan, di Indonesia, kapitalisme justru memanfaatkan struktur feodalisme untuk bersama-sama menindas rakyat. Dan, oleh sebab itu, menurut Aidit basis tenaga revolusi Indonesia bukan buruh, melainkan petani (hlm.64). Praksisnya, PKI mendukung adanya Land Reform untuk petani dan berhasil mewujudkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA 1960). Ini yang dinamakan Aidit, Marxisme-Leninisme yang di-Indonesia-kan.

Perbedaan kedua yakni Aidit mendorong terciptanya, borjuasi nasional. Menurut Aidit, borjuasi nasional merupakan kelas yang juga tertindas oleh kapitalisme asing dan dikekang perkembangannya oleh foedalisme (hlm.67). Kapitalisme yang berkembang adalah adanya perusahaan multinasional milik asing yang beroperasi di Indonseia.

Hal ini tentu saja menegaskan bahwa Indonesia belum independen secara ekonomi. Munculnya borjuasi nasional dianggap penting sebagai tahap awal mewujudkan ekonomi. Oleh sebab itu, cara untuk meweujudkannya adalah dengan menasionalisasikan seluruh perusahaan asing (hlm.73).

Perbedaan ketiga adalah tentang partai dan jalannya revolusi. Jika Marx menuliskan bahwa buruh harus merebut alat produksi, maka Lenin mengejewantahkannya dengan mendirikan sebuah partai komunis bernama Bolshevik yang dipimpin oleh kaum buruh. Caranya dengan menggulingkan kekuasaan yang ada. Partai revolusioner, menurut Lenin dalam The State and Revolution (1917), harus bisa membongkar sistem lama seperti hukum, pemerintahan, pendidikan dan kesejahteraan sosial dan harus menyusun ulang agar mencerminkan kebutuhan kaum buruh.

Aidit justru sangat berbeda, PKI yang ia pimpin menginginkan revolusi secara damai dan melalui jalur konstitusional. Tak hanya itu, strategi revolusi PKI pun menjunjung adanya persatuan nasional untuk melawan kapitalisme-imperealisme. Ini kemudian yang membuat kedekatan antara PKI dan Soekarno untuk tetap menjalankan revolusi Indonesia (hlm.109).

Sementara itu, mengenai jalannya revolusi. Aidit mewacanakan revolusi Indonesia berlangsung secara dua tahap yakni revolusi nasional kemudian revolusi sosial. Hal ini tentu saja sama dengan gagasan Soekarno, dalam buku Sarinah (1947). Soekarno menerangkan bahwa revolusi Indonesia terbagi atas dua tahap yakni Revolusi Nasional dan dilanjutkan dengan revolusi sosial. Revolusi Nasional melepas belenggu penjajahan, setelah itu menjalankan revolusi sosial dengan mengempaskan feodalisme dan kapitalisme.

Sebenarnya, buku mengenai Aidit sebelumnya sudah dituliskan oleh Peter Edman, Komunisme ala Aidit (2005). Bedanya, Edman hanya menjelaskan sepak terjang Aidit di dunia politik serta gagasannya dengan komunisme tanpa ada pembahasan mengenai kondisi masyarakat Indonesia. Tak hanya itu, Edman menyatakan tidak ada kesamaan visi serta misi antara Aidit dan Soekarno, yang tentu saja terbentahkan oleh buku yang ditulis oleh Satriono ini.

Sayangnya, buku ini hanya memaparkan kritik dari musuh politik Aidit seperti Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Masyumi. Kritik terhadap Aidit dari sesama anggota PKI semestinya juga dapat dimuat. Ini penting untuk menjelaskan bahwa saat itu sulit membedakan antara kebijakan Aidit dengan kebijakan PKI yang menjunjung tinggi kolektivitas partai. Sayangnya, penulis tidak menggunakan teks asli dari Marx, Engels, dan Lenin. Penulis lebih menggunakan terjemahan bahasa Indonesia dalam mengutip Marx, Engels, dan Lenin. Penggunaan teks asli tersebut penting untuk lebih mengetahui pemahaman utuh tentang pemikiran Marx, Engels, dan Lenin.

Kendati demikian, buku ini layak untuk dibaca dan menambah khazanah keilmuan pemikiran tokoh-tokoh penting Indonesia periode awal kemerdekaan. Sebab, selama ini penulisan sejarah pemikiran tokoh Indonesia masih didominasi oleh Soekarno, Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka. Pemikiran Aidit tentang petani dan kondisi perekonomian Indonesia yang tidak independen masih relevan hingga saat ini. Lihat bagaimana petani rembang terancam tidak bisa melanjutkan hidupnya dengan adanya korporasi yang akan menggusur dan merusak lahan pertaniannya.

Virdika Rizky Utama