“Karikatur terkait isu Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang diunggah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Limas Universitas Sriwijaya (UNSRI), di salah satu akun sosial medianya, mendapatkan respon negatif dari pihak dekanat dan mengarah pada ancaman kebebasan berpendapat. Hal ini menambah daftar catatan hitam tindakan represif, yang menimpa punggawa pers mahasiswa.”
Rabu (4/8/2021), LPM Limas mengunggah sebuah Instastory berbentuk karikatur. Postingan tersebut menggambarkan seseorang sedang berendam di dalam bak mandi yang bertuliskan “UKT FULL” dengan tumpukan uang, serta seorang pria menanyakan “UKT Enak Toh?”
Gambar barusan dimaksudkan untuk mengangkat isu terkait UKT, yang menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa, sehubung dengan banyaknya fasilitas kampus tidak terpakai. Sebab, hampir seluruh kegiatan perkuliahan dijalankan secara daring. Namun dalam pelaksanaannya turut menuai polemik, karena dinilai kurang efektif.
Keesokan harinya, Pimpinan Umum LPM Limas mendapat panggilan untuk bertemu dengan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNSRI. Hal tersebut disampaikan melalui Gubernur Mahasiswa, serta rencananya akan diadakan pertemuan pada Jumat (6/8/2021). Dalam pertemuan yang dilangsungkan secara daring itu, pihak dekanat meminta penjelasan dari unggahan sebelumnya.
Namun sore harinya, pihak LPM Limas kembali dihubungi, guna melaksanakan pertemuan kembali di hari yang sama. Dalam agenda itu, turut membahas postingan lain yang dikatakan oleh pihak dekanat sebagai karya jurnalistik LPM Limas. Unggahan tersebut berisi gambar rektor UNSRI, dengan muka tercoret tanda silang dan bertuliskan kata “wanted.” Pihak LPM Limas membantah tuduhan itu, sebab semua postingannya terdapat logo identitas lembaganya.
Pertemuan hari itu menghasilkan beberapa poin penting. Pihak dekanat mengatakan tindakan membuat karikatur adalah salah. Kemudian, LPM Limas diminta untuk mengklarifikasi postingan “wanted” yang dituduhkan sebelumnya. Serta terdapat ancaman berupa sanksi akademik, dari skorsing hingga drop out (DO) kepada punggawa media tersebut.
LPM Limas kemudian melakukan mekanisme hak jawab dan hak koreksi dari pihak yang tidak setuju dengan postingannya. Hal ini sesuai dengan aturan di dalam Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Dalam press release-nya LPM Limas menyayangkan respon yang didapatkan dari pihak kampus, apalagi adanya ancaman terkait sanksi akademik kepada punggawanya. Karena karikatur tersebut merupakan karya jurnalistik dan menjadi pertanggung jawaban media tersebut, pihak kampus seharusnya tidak meminta pertanggung jawaban kepada individu di dalamnya.
Saat dihubungi tim Didaktika via telepon seluler, Shintia selaku Pimpinan Umum LPM Limas mengatakan tindakan pihak dekanat telah melanggar etika akademik soal kebebasan berekspresi dan berpendapat di kampus. Dirinya turut menyampaikan, saat ini pihak dekanat telah sedikit melunak akibat tersebarnya berita tersebut dan bantuan kawan-kawan persma lainnya.
“Ada perubahan sikap dari pihak dekanat. Sekarang, kami diminta untuk meminta maaf kepada rektor dengan membawa orang tua. Namun kebijakan itu juga kurang tepat, kenapa orang tua harus terlibat padahal ini kan urusan akademik sehingga perlu dikaji ulang. Kami juga minta difasilitasi untuk bertatap muka dengan rektor,” Ungkap Shintia dalam wawancara tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) wilayah Palembang, turut mengecam tindakan represif dari pihak dekanat FISIP UNSRI. Dalam pernyataan sikapnya terdapat beberapa poin, antara lain; mengecam tindakan represif yang dilakukan pihak UNSRI, dalam hal ini dekanat FISIP UNSRI kepada pengurus LPM LIMAS FISIP UNSRI.
Kemudian, mendesak pihak dekanat mencabut sanksi kepada pengurus LPM Limas. Serta pihak kampus seharusnya menghormati kerja-kerja jurnalistik dan tidak menghalanginya. Terakhir, alih-alih sibuk membungkam kebebasan pers dan berekspresi mahasiswa, UNSRI lebih baik fokus menyelesaikan permasalahan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Prawira Maulana, ketua AJI Palembang mengatakan ikut membantu kampanye dan advokasi kasus tersebut. “Kita bantu di tahapan kampanyenya dan pendampingan tahapan advokasinya. Tapi, perkembangan terbaru sudah ada mediasi dan pihak dekanat mulai melunak,” ucapnya.
Menanggapi terkait maraknya tindak represif kepada pers mahasiswa, Ketua AJI Indonesia, Sasmito Madrim, mengungkapkan bahwa persma seharusnya mendapatkan perlindungan yang sama dengan pekerja media professional, seperti termaktub dalam undang-undang pers.
Lebih lanjut, dirinya menyampaikan penyelasaian masalah jangan dilakukan secara sepihak oleh pihak kampus. “Tidak boleh ada kejadian seperti barusan lagi harusnya. Jika masalahnya benar-benar serius, bisa melakukan mediasi lewat Dewan Pers. Serta, kawan-kawan persma tidak usah lagi membingungkan soal payung hukum pendirian pers mahasiswa. Cukup dengan adanya keputusan dari universitas. Sebab pasca Orde Baru, tidak ada lagi Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP),” terang Sasmito.
Penulis: Abdul
Editor: Ihsan Dwirahman