Pemilu 2019 yang telah berlalu merupakan pertarungan panas elit politik yang memperebutkan kursi jabatan. Kedua kubu politik gencar melakukan kampanye dari desa ke desa, kota ke kota, pengusaha ke pengusaha, dan pesantren ke pesantren. Semua dilakukan untuk merebut peta politik suara suatu daerah. Lalu mengapa pesantren termasuk dalam bagian kampanye? Sebab masyarakat Indonesia, masih memandang takzim orang yang alim dan mempunyai pengaruh. Itulah mengapa ulama tak mengherankan masih menjadi –bidikan politikus– untuk mendapatkan pengaruh suara di masyarakat.

Politik hitam pada pemilu yang dilancarkan oleh kubu politik pun menjadi catatan hitam di setiap ajang pemilu. Mulai dari isu PKI, antek asing, dan SARA masih menjadi langganan isu panggilan. Berbagai hoaks yang saling menjatuhkan kubu politik telah membuat masyarakat mengalami disintegrasi. Pada pemilu yang lalu, memang paling terasa hoaks yang digencarkan pada saat masa-masa kampanye. Dilansir dari voaindonesia.com, MAFINDO (Masyarakat Anti Fintah Indonesia) merilis laporan data bahwa pada 2018 terdata 997 buah dengan 488 hoaks bertema politik. Pada Januari 2019, jumlah hoaks mencapai 109 buah dengan 58 hoaks bertema politik.

Sistem pemungutan suara pada pemilu serentak 2019 pun dinilai pemerintah lebih efisien dalam segi waktu dan dana. Namun pada prakteknya, dana yang dikeluarkan untuk pemilu serentak sebesar 24,8 triliun, lebih besar 700 juta rupiah dari pemilu dan pilpres pada 2014 yang menghabiskan 24,1 triliun saja. Pemilu serentak 2019 pun meninggalkan tragedi kemanusian. KPU mencatat dari pemungutan suara 17 April hingga 23 April, sebanyak 91 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal. Mereka diduga kelelahan akibat beban kerja yang lebih berat dan menyita banyak waktu akibat pemilu serentak ini.

Berbicara kepelikan pemilu tak lengkap jika tak membicarakan sejarah mengenai pemilu pertama di Indonesia pada 1955. Membandingkan pemilu dari 1999 hingga 2019, pemilu 1955 selalu dinilai pemilu paling demokratis dalam sejarah politik Indonesia.

Herbert Feith, peneliti asal Australia yang dipekerjakan sebagai pegawai Kementrian Penerangan RI sejak pertengahan 1954. Ia menuliskan laporan penelitian pemilu 1955 dengan judul The Indonesian Elections of 1955 kemudian diterbitkan sebagai Interm Reports Series pada 1957 oleh Modern Indonesia Project, Shoutheast Asia Program, Cornell University.

 Menurutnya, pemilu 1955 yang dilaksanakan dua kali, 29 September untuk parlemen dan 15 Desember untuk Konstituante, dinilai paling demokratis karena berlangsung dengan aman, meski kondisi negara sedang tidak kondusif disebabkan adanya pemberontakan DI/TII oleh Kartosuwiryo di Jawa Barat. Juga pada pemilu 1955, berdasarkan Maklumat Wakil Presiden Moh. Hatta, 3 November 1945, masyarakat diperbolehkan mendirikan partai politik sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk memberikan pendidikan politik praktis. Sebanyak 172 partai terdaftar sebagai peserta pemilu 1955. Bahkan TNI dan polisi diperbolehkan memilih. Namun, antusias masyarakat berpartisipasi dalam pemilu pertama semenjak merdeka bukan hanya dilihat dari banyaknya partai politik, masyarakat juga antusias dalam menghadiri rapat umum partai dan pemungutan suara.

Iklan

Tarik Ulur Pelaksanaan Pemilu Nasional

Pemerintah sudah merencanakan pemilihan umum nasional pada 5 Oktober 1945, guna menjalankan demokratisasi suatu negara. Namun rencana untuk melaksanakan pemilu nasional itu terhambat sebab belum adanya undang-undang yang mengatur pelaksaannya. Baru pada kabinet Wilopo lah, rancangan undang-undang disahkan. Undang-undang tersebut memutuskan pemilihan yang dilakukan secara langsung dan dilakukan dalam dua pemilihan umum.

Namun kabinet Wilopo tidak dapat merealisasikan pelaksanaan pemilu yang telah disahkan undang-undangnya. Hal ini diakibatkan adanya mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia karena peristiwa Tanjung Morawa kepada kabinet Wilopo. Akhirnya kabinet Wilopo menyerahkan mandatnya kepada presiden pada 2 Juni 1953. Pemilu baru berhasil diselenggarakan pada kabinet Burhanuddin Harahap.

Politik Identitas Pemilu 1955

Pada waktu masa kampanye pemilu 1955 belum banyak undang-undang mengenai bentuk kampanye yang dilarang. Sehingga partai-partai besar seperti PNI, Masyumi, NU, dan PKI saling menjatuhkan dalam kampanyenya. Seperti menggaungkan politik identitas dan ideologi suatu partai.

“… semboyan PKI yang paling sederhana, yakni: “PNI partai priyayi, Masyumi dan NU partai santri, tetapi PKI partai rakyat,” hlm. 22.

Propaganda pamflet untuk menjatuhkan lawan partai politik dilakukan dengan begitu bebas. Karena sebagian besar undang-undang pemilu hanya mengatur secara teknis belaka. Inilah mengapa masing-masing partai dapat dengan mudah menjalankan propaganda dan serangan politik.

Ideologi partai pun tak luput dari serangan lawan politik. Masyumi menuduh PKI tidaklah beragama karena PKI menganut Komunis. PKI dan PNI menuduh Masyumi dan NU adalah partai yang tak nasionalis, sebab cita-citanya yang ingin menjadikan Indonesia khilafah. Masyumi dan NU menuduh PNI dan PKI telah mencela Islam. 

Walaupun serangan-serangan ideologi kepada lawan politik begitu sengit. Namun tidak mencederai pemilu dengan kerusahan pendukung partai. Dapat dilihat bahwa pada saat itu, partai sangat ideologis, tidak seperti pemilu setelahnya yang pragmatis saja. Meminjam kata-kata terkenal, bahwa tidak ada kawan dan lawan abadi, yang abadi hanyalah kepentingan. Begitulah politik yang setia hanya pada kepentingan saja.

Intimidasi Pemilu 1955

Iklan

Sebenarnya jika mengatakan pemilu 1955 adalah pemilu yang demokratis agaklah meragukan ketika membaca laporan yang ditulis oleh Herbeth ini. Karena pada pemilu yang belum mempunyai undang-undang tegas ini, membuat intimidasi lebih mudah dilakukan. Pada beberapa tempat pemungutan suara memang relatif aman, namun ada tempat pemungutan suara yang mengalami kericuhan hingga terjadi pembunuhan terhadap petugas KPPS dan tentara.

Memang ada institusi pemerintahan dan pejabat, bahkan petugas KPPS yang tidak netral menjadi oknum yang mengintimidasi saat pemilu 1955. Gubernuh, lurah, yang mayoritas memilih PNI, dapat dengan mudah mengintimidasi warga dengan kekuasaan di tangannya. Petugas KPPS yang memiliki akses di tempat pemungutan suara, mengintimidasi pemilih dengan masuk ke bilik suara.

“Di sejumlah desa Jawa, lurah mengancam pemilih dengan hukuman penjara dan denda uang besar jika tidak memilih PNI.” hlm. 69

Bahkan pada pemilu 1955, letak partai Masyumi di kertas suara berada di belakang tepat di tempat tandatangan ketua KPPS, sehingga akan ketahuan mana yang tidak memilih Masyumi dan tidak. Sehingga orang tersebut ditandai oleh petugas KPPS untuk dilaporkan ke partai atau pejabat untuk dihukum.

Meskipun demikian, masyarakat pada saat itu tetap antusias dalam mengikuti jalannya pesta demokrasi tersebut. Masyarakat menganggap berpatisipasi dalam pemilu pertama, berarti telah turut menjadi bagian dalam sejarah. Hal ini sesuai dengan data yang dimiliki oleh Herbeth, mengatakan bahwa sebanyak 91.54% pemilih yang memberikan suara, hanya 87.65% pemilih yang terdaftar memberikan hak suara dengan sah.

Berkaca Pada Pemilu 1955

Pemerintah telah berhasil membuat masyarakatnya melek politik. Padahal tantangan dalam melaksanakan pemilu 1955 adalah sebagian besar masyarakat masih buta huruf. Tantangan itu dijawab dengan terlaksananya pemilu di jadwal yang telah ditentukan.

Herbeth menulis, bahwa pemilu 1955 berlangsung dengan sukses karena 5 hal: perbedaan, kompetisi, sirkulasi kekuasaan, kemampuan mengolah konflik dan kompromi, serta kematangan dalam menyikapi haluan politik.

Pemilu serentak 2019 harusnya berefleksi dengan pemilu 1955. Kedewasaan partai politik dan pemilih pemilu 1955 dapat menjadi contoh. Pendewasaan politik berupa sindir-menyindir lawan partai namun tidak sampai mencederai pemilu.Perbedaan haluan politik juga umumnya dihormati di masyarakat. Partai politik yang kalah pun menerima hasil pemilu.

Situasi pada pemilu 2019 dan pemilu 1955 tidaklah jauh berbeda. Multi partai, media massa yang condong kepada salah satu partai. Namun, mentalitas siap menang dan siap kalah inilah yang membedakan pemilu 1955 dengan pemilu 2014 dan 2019. Elit politik 1955 memang sengit dalam mempropagandakan ideologinya dan sindir menyindir partai lain, namun di luar politik, elit politik masih dapat berkomunikasi dengan baik.

Efensiensi dana dalam pemilu serentak 2019 adalah hal yang semu. Sebab dana yang dikeluarkan pemerintah pada pemilu serentak 2019 lebih besar daripada pemilu 2014. Pemerintah haruslah berkaca pada pemilu 1955 yang memiliki dana terbatas dan tantangan buta huruf, namun sukses menjalankan pemilu.

Penulis: Imtitsal Nabibah