Sebutan Jakarta sebagai kota metropolitan untuk saat ini bisa dibilang tepat jika kita melihat pemandangan kota sepanjang Jalan Sudirman – Thamrin – Kuningan. Kota sudah mengalami pelebaran trotoar untuk memberi kenyamanan bagi para pejalan kaki. Ada subway atau disebut juga dengan Mass Rapid Transit (MRT) yang beriringan dengan Bus Rapid Transit (BRT, dikelola oleh PT. Transjakarta) dan Kereta Commuter Line untuk mengurangi kemacetan. Ada pula pemandangan gedung-gedung tinggi yang menemani megahnya patung-patung ikonik di Jakarta. Juga tentang jembatan penyeberangan orang disulap menjadi titik fotoyang social media-able.
Jika kita tarik lagi wilayah Jakarta secara luas, sampai ke daerah perbatasan, benarkah pemandangannya seperti yang diceritakan di atas?
Susan Blackburn, seorang dosen di Monash University, Australia ini mengulas secara lugas dan detail bagaimana kehidupan Jakarta selama 400 tahun lewat bukunya. Ia menyatakan bahwa untuk mempercantik kota, dibutuhkan biaya yang mahal dalam pelaksanaannya. Tak jarang, Pemerintah Kota Jakarta melakukan penggusuran terhadap wilayah warga yang dianggap kumuh. Bahkan dilakukan sampai hari ini, demi menjadikan Jakarta sebagai mercusuar dunia.
Sebenarnya penggusuran lahan warga sudah dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda di Jakarta. Tercatat, untuk mengusahakan daya tampung warga yang lebih luas, pemerintah membuka lahan permukiman baru di luar Weltevreden ke arah selatan dan tenggara pada dekade 1920-an. Daerah baru itu bernama Nieuw Gondangdia dan Menteng (hlm. 158).
Model permukiman tersebut sesuai dengan gaya Belanda: tanah-tanah kecil berisi rumah kecil dengan taman di bagian depan dan belakang, semuanya menghadap ke jalan beraspal, serta mendapat suplai listrik dan air. Pertanyaannya adalah, apakah permukiman seperti itu diperuntukkan kepada seluruh warga Jakarta? Jawabannya hanya orang-orang Eropa yang berhak menikmati perumahan seperti itu. Warga pribumi Menteng dan sekitarnya yang terdampak pembangunan permukiman ini makin tergusur ke selatan.
Abdul Muis, salah satu anggota Dewan Kotamengkritik secara keras kebijakan lembaganya tentang penggusuran lahan warga. Dalam kampanyenya terhadap orang-orang Indonesia, pada saat pemilihan Dewan Kota, Abdul Muis berkata seperti ini:
“Ingatlah ‘perubahan kampung menjadi permukiman Belanda’, dan bagaimana para pedagang diusir dari pinggir jalan karena di tempat tersebut tinggal banyak orang Belanda yang tidak mau melihat para pedagang kaki lima yang kotor itu!” (hlm. 170)
Blackburn mengatakan dalam bukunya bahwa pandangan Abdul Muis bukanlah pandangan sentimen terhadap kolonial saja. Lebih dari itu, Abdul Muis dan kawan-kawan nasionalis seperjuangannya di Dewan Kota melihat bagaimana kontradiksi Jakarta sebagai ibukota modern dengan populasi urban yang miskin. Terlihat pada bagaimana Dewan Kota mengabaikan kepentingan warga demi mempercantik kota.
Hal yang sama juga dilakukan pada era Sukarno dan era Orde Baru. Sukarno yang seorang lulusan arsitektur ingin menampilkan Jakarta sebagai mercusuar dunia. Blackburn mencatat bahwa dalam pembangunan permukiman pada era Sukarno, pada 1957 diperkirakan minimal 275.000 orang tinggal di rumah-rumah tidak sehat, dan 80.000 orang tinggal dalam kondisi yang sangat padat (hlm. 237). Tak jarang, kebakaran sering terjadi di Jakarta karena masalah kepadatan penduduk ini.
Era Orde Baru (Orba) juga demikian. Magnet Jakarta sebagai kota metropolitan membuat kota ini penuh sesak dengan migran dari berbagai daerah di Indonesia. Alhasil, kampung-kampung menjadi padat penduduk. Oleh karena itu, Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta periode 1966-1977 menata kota dengan Proyek Muhammad Husni Thamrin (MHT). Sejumlah 166 kampung yang berpenduduk hampir dua juta orang, diperbaiki dengan biaya sebesar Rp. 11.000,- per kepala (hlm. 304).
Selain itu, Ali juga melanjutkan Rencana Induk yang sudah diterapkan sejak era Sukarno. Rencana induk ini berisi tentang daerah-daerah yang tidak boleh didirikan bangunan dan daerah yang akan dibebaskan untuk tujuan konstruksi khusus seperti kawasan industri (hlm. 309). Masalahnya, warga Jakarta tidak dilibatkan dalam Rencana Induk ini karena Ali tidak mempublikasikan rencana ini ke media massa. Kemudian, muncul pembebasan lahan yang dilakukan seperti operasi militer, dan pembebasan lahan bergaya Orba ini diterapkan sampai saat ini.
Pembebasan lahan ini menjadikan warga Jakarta yang tinggal di daerah kumuh sebagai hama yang harus diberantas. Blackburn, mengutip TEMPO (4/11/1972), menceritakan penggusuran di Kampung Rawasari Selatan. Sejumlah 600 rumah warga dihancurkan dan ketika delapan orang perwakilan kampung mengajukan keberatan kepada Walikota, mereka diinterogasi polisi dan dituduh terlibat dalam PKI (hlm. 320). Itu semua dilakukan untuk memuaskan hasrat borjuis untuk mendapatkan hunian yang mewah.
Blackburn mengomentari hal ini dalam bukunya. Menurutnya, tidak ada bedanya antara pembebasan lahan untuk kepentingan publik dan pembebasan lahan untuk keuntungan pribadi. Tak sedikit pembebasan lahan yang berujung kepada kegagalan Pemerintah Kota untuk membayar kompensasi kepada warga. Sebagai gantinya, Pemerintah Kota memberi alternatif dengan menyuruh warganya pindah ke rumah susun ataupun perumahan publik, yang biaya sewanya lebih mahal daripada rumah yang ditempati sebelumnya.
Menyambut Para Borjuasi
Salah satu hal menarik yang perlu dikomentari dalam buku ini adalah bagaimana pandangan pemimpin-pemimpin di Jakarta dalam membangun kota. Perlu dicatat, buku ini sempat dilarang peredarannya pada era Orba karena Blackburn memandang pembangunan di Jakarta begitu negatif dalam bukunya. Benarkah demikian?
Bonnie Setiawan, dalam tulisannya di IndoPROGRESS (9/11/2015) bertajuk “Kota Yang Melayani Modal Besar” membahas secara rinci tentang paradigma modernisasi kota. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh para gubernur di Jakarta sejak era VOC bisa diambil suatu kesimpulan: pembangunan kota untuk kepentingan borjuasi dan investor.
Kepentingan borjuasi ini seringkali bercokol di lembaga legislatif dan eksekutif kota. Borjuasi memegang perencanaan kota yang sering kali tidak melibatkan aspirasi warga. Misalnya, permukiman mewah yang sesuai dengan tata kota tentu tidak boleh diganggu-gugat.
Sebagai contoh kasus, warga Sunter menyesali pilihannya terhadap Gubernur saat ini, Anies Baswedan. Janji politik Anies yang katanya “bukan menggusur, melainkan menggeser” hanya bualan belaka. Penggusuran tetap terjadi di Sunter dan dilakukan untuk menormalisasi saluran air di daerah tersebut. Sosialisasi pembebasan lahan kepada warga juga minim dilakukan.
Paradigma pembangunan kapitalisme pinggiran di negara-negara dunia ketiga ini juga bersifat kolonial. Sudah terlihat sejak era Hindia Belanda, dimana permukiman dibagi berdasarkan etnis-etnis. Warga Eropa tentu mendapat privilige dalam penataan permukiman ini. Mereka ditempat di dalam benteng. Sementara warga pribumi menghuni kampung-kampung yang jauh dari jalur strategis di kota.
Hal ini diterapkan sampai sekarang, menggusur lahan warga yang dianggap tidak mendatangkan profit untuk menyambut perusahaan-perusahaan asing yang hadir di Jakarta. Seperti yang saya sebutkan dalam awal paragraf, modernitas Jakarta hanya terlihat di wilayah-wilayah sentra perdagangan internasional saja.
Blackburn berhasil membahas secara rinci tentang pembangunan Jakarta dalam buku ini. Sayangnya, ada sedikit celah yang ditemukan dalam buku ini. Blackburn tidak membahas begitu rinci soal siapa saja para borjuasi dalam perusahaan nasional maupun multinasional yang mengambil peran penting dalam perencanaan kota di Jakarta. Padahal, penggusuran atas nama pembangunan terdapat intervensi para borjuasi di dalamnya demi keuntungan pribadi.
======
DATA BUKU
Penulis: Susan Blackburn
Penerjemah: Gatot Triwira
Penerbit: Masup Jakarta
Tahun Terbit: 2012
Jumlah Halaman: 392 halaman
====
Penulis: M. Rizky Suryana
Editor: M. Muhtar