Pada Senin (04/01), ketersediaan tahu dan tempe sudah kembali ada di pasaran. Namun harga jual tahu dan tempe sudah mengalami kenaikan sebesar Rp7.000 dari harga normal sekitar Rp5.000 hingga Rp6.000. Isu kenaikan harga tahu dan tempe ditanggapi berbeda-beda oleh para pembeli. Seperti Sutinah yang mengaku keberatan dengan kenaikan harga tahu dan tempe. “Tahu dan tempe itu murah dan bisa diolah banyak menu, jadi saya bisa menghemat uang belanja,” ucap Tina sambil memilih sayuran sebagai gantinya untuk dibeli dan diolah.
Lain halnya dengan Kurniati, ia memaklumi aksi pemogokan para produsen tahu dan tempe karena mengetahui kenaikan harga kedelai dari berita televisi. “Ya gapapa harga naik, kan, bahan bakunya naik. Itu wajar saja kalau menurut saya,” ujar Kurniati.
Kenaikan harga tahu dan tempe diawali oleh pemogokan produsen dan pengrajin tahu tempe di DKI Jakarta tiga hari yang lalu, tepatnya pada 1 – 3 Januari. Para produsen dan pengrajin melakukan pemogokan produksi tahu dan tempe, mereka juga tidak melakukan penjualan ke pasar. Hal ini merupakan akibat dari kenaikan harga kedelai impor yang terus melonjak tinggi. Harga kedelai impor yang semula seharga Rp7.200 per kilogram, kini telah mencapai seharga Rp9.200 per kilogram. Kenaikan ini berdampak besar bagi para produsen tahu dan tempe, karena dinilai telah memberatkan mereka.
Roni, produsen tempe di daerah Kopti, Semanan, mengaku tidak bisa berbuat banyak dengan kenaikan harga kedelai ini. “Saya hanya bisa merenungi saja kenaikan harga kedelai ini,” ucap Roni saat ditemui di Dapur Umum Kopti. Sebelum ada seruan pemogokan, ia hanya melakukan produksi tempe secara terbatas saja. Meski harga kedelai melonjak tinggi, ia tetap memilih opsi untuk terus beroperasi daripada tidak ada kegiatan.
Roni mengatakan mengalami kerugian dan hanya untung sedikit saja dari penjualan tempe akibat harga kedali yang terus naik. “Belum beli bahan bakar, ragi, upah pekerja,” ujar Roni. Bahkan dampak akibat mogok produksi saja kerugian ditaksir bisa mencapai Rp300.000 per hari.
Semenjak 1997, Roni telah melakukan produksi tempe selama 13 tahun hingga kini. Ia menjual hasil produksi tempenya ini ke pasar Cengkareng. Walaupun ada himbauan untuk menaikkan harga sebesar 20% – 30% oleh Pusat Koperasi Tahu Tempe Indonesia (PUSKOPTI) DKI Jakarta untuk menghindari kerugian. Roni mengaku para konsumennya menolak kenaikan harga tempe yang ia jual. “Konsumen ga mau kalau harga naik,” kata Roni.
Sehingga Roni lebih memilih opsi untuk memperkecil ukuran tempe. Ia lebih memperbanyak jumlah potongan, dari 12 potong menjadi 14 potong untuk satu tempe panjang. Per hari Roni bisa menghasilkan hingga 11 kerai atau papan bilah bambu. Kini ia menjual per kerai yang terdiri dari dua buah tempe panjang seharga Rp120.000 dengan harga jual tempe potong seharga Rp6.000 per potong. Padahal sebelum kenaikan harga kedelai, per kerai hanya dijual Rp75.000 hingga Rp80.000 saja.
Penjualan tempe Roni terkadang tidak mendapatkan untung banyak. Ia pernah menjual satu potong tempe dengan harga Rp500. Hal ini dilakukannya untuk menghabiskan dagangan hari itu juga. “Tempe itu barang yang tidak awet, karena tidak pakai pengawet. Daripada harus dibawa pulang dan dijual besok, lebih baik dijual harga murah dan yang penting bisa balik modal,” jelas Roni.
Dampak kenaikan harga kedelai impor juga dirasakan oleh Syahroni. Kenaikan harga kedelai impor sangat menyulitkannya. “Seperti kembang kempis. Diteruskan berproduksi justru merugi, ga diteruskan malah ga punya pendapatan,” keluh Syahroni, produsen tempe di Kopti sejak 1993.
Syahroni merupakan salah satu pemasok kedelai di Kopti sejak 2014. Usaha Syahroni bertempat di Jalan Hm. Asnie No. 7, Semanan, dengan nama toko CV. Sedulur Rukun. Usaha kedelai ini dilakukan bersama dengan 11 orang lainnya.
Toko Syahroni menjual kedelai merek GCU merupakan kedelai impor yang menurutnya kualitas standar. “GCU itu terlalu bagus enggak, terlalu jelek juga enggak. Makanya merek ini menjadi pilihan standar untuk produsen tahu tempe,” kata Syahroni. Menurutnya, harga kedelai merek GCU kini bisa mencapai Rp920.000 per kuintal atau Rp9.200 per kilogram.
Mengenai opsi kenaikan harga tempe, Syahroni lebih memilih opsi untuk menaikkan harga tempenya dari harga awal Rp6.000 menjadi Rp7.000 per potong. “Daripada harus menperkecil ukuran, tapi harga sama, lebih baik saya menaikkan harga tapi ukuran sama,” ujar Syahroni saat ditemui di toko kedelainya.
Pemogokan produksi selama tiga hari juga dirasakan oleh Syahroni. Kerugian yang dialaminya bisa mencapai Rp200.000 per hari. Namun menurutnya, mogok produksi masih lebih baik. Ia beranggapan lebih baik berhenti, daripada dipaksakan berproduksi yang ada justru merugi.
Syahroni berharap aksi pemogokan produksi ini bisa menurunkan harga kedelai. Walaupun penurunan harga kedelai itu biasanya lama. “Bisa setengah bulan atau sebulan, tapi setidaknya turun harganya,” jelas Syahroni.
Dagangan tempe Syahroni biasa dijual dan mensuplai tempe untuk warung nasi, seperti warteg di sekitaran Kopti. Selama tiga hari tahu tempe tidak beredar di pasaran. Sehingga Syahroni berharap konsumen akan mengerti soal kenaikan harga tahu tempe. “Mudah-mudahan tidak ada komplain. Saling pengertiannya saja antara penjual dan pembeli,” kata Syahroni.
Pemogokan produksi tahu dan tempe selama tiga hari tak hanya dirasakan oleh para produsen dan pengrajin tahu dan tempe. Selama pengamatan Tim Didaktika, tahu dan tempe tidak beredar dan menghilang di pasaran. Seperti warung makan, pedagang gorengan, dan pedagang sayuran terkena imbasnya. Selama tiga hari, warteg Sida Berkah bahkan tidak bisa menjajakan menu andalan tahu dan tempe. “Banyak yang nanyain lauk tahu tempe, tapi ya dari penjualnya ga bisa ngirim karena ada mogok,” kata Abdul, pemilik warteg Sida Berkah di Jalan Balongan Baru V, Semanan.
Reporter: Imtitsal Nabibah
Editor: M. Rizky Suryana